MOJOK.CO – Apakah Jogja akan lebih baik jika transportasi umum sebagus Jakarta? Atau malah melahirkan masalah baru? Ini sebuah mimpi yang hampir mustahil.
“Coba bayangin kalau Jogja punya MRT,” ujar teman saya. Jujur, saya malas membayangkan. Karena melihat hari ini, kok memang mustahil. Mungkin cucu saya yang akan mengalami transportasi umum di Jogja sekelas Jakarta. Tapi menarik juga membayangkan skenario ini. Tentu sembari membayangkan kereta modern melintasi Jogja (Daerah Istimewa Yogyakarta), saya juga memikirkan dampaknya.
Apakah Jogja akan lebih baik jika transportasi umum sekelas Jakarta? Atau malah mengalami masalah baru? Bagaimana masyarakat merespons transportasi umum yang lebih maju ini? Dan yang pasti, siapa yang akan jadi korban? Saya menawarkan sebuah pandangan alternatif. Tidak hanya bicara yang enak-enak saja, tapi juga kemungkinan buruk yang terjadi.
Jujur saja, mimpi transportasi Jogja sebagus Jakarta itu hampir mustahil
Sebelum bermimpi, saya ingin menjawab keraguan tentang mimpi transportasi umum ini. Ada beberapa hal yang membuat Jogja akan sulit mengimbangi Jakarta dalam urusan transportasi umum. Selain masalah kultur masyarakat, situasi provinsi yang (katanya) istimewa ini jadi tantangan.
Tantangan pertama adalah perkara luas wilayah. Jogja punya wilayah 6 kali lebih besar daripada Jakarta. Yang artinya akan butuh dana lebih besar untuk menciptakan transportasi umum yang mampu menjangkau setiap area. Danais saja tidak cukup untuk menutup biaya pembangunan infrastruktur ini.
Kedua adalah perkara geografis. Jogja punya gunung, pantai, perbukitan, sampai hutan. Ada banyak area yang akan sulit ditembus transportasi umum seperti MRT dan LRT. Berbeda dengan Jakarta yang cenderung landai serta rata.
Terakhir adalah masalah tata kota. Sudah pasti seluruh transportasi umum ini akan bermuara di Kota Jogja. Sekarang kita lihat tata kota Jogja sendiri. Semrawut, kan? Sulit membayangkan Jogja berkalung rel MRT yang menggantung serta dilingkari jalanan besar dengan jalur khusus bus.
Tapi namanya juga membayangkan, ya bayangin aja dulu! Jika seluruh masalah di atas bisa diatasi, saya membayangkan kemungkinan-kemungkinan ini.
Pertumbuhan ekonomi Jogja
Pasti yang jadi sorotan ketika bicara transportasi umum adalah pertumbuhan ekonomi. Ketika Jogja punya transportasi umum sebaik Jakarta, ekonomi pasti ikut terdampak positif. Investor pasti akan lebih melirik. Makin besar pula kesempatan kerja, bahkan bagi masyarakat pinggiran. Syukur-syukur, upah minimum akan naik. Tapi apa ini saja dampaknya?
Patut diingat bahwa Jogja punya sektor ekonomi yang beragam. Dari pendidikan, pariwisata, agrikultur, sampai manufaktur serta UMKM. Tidak semua sektor itu akan terdampak positif oleh pembangunan transportasi umum sekelas Jakarta. Maka ini akan jadi tantangan tersendiri setelah skenario ini terjadi. Bagaimana mencegah eksklusivitas ekonomi malah terbentuk dengan transportasi massal yang lebih baik.
Pemerataan pendidikan yang belum tentu rata
Dengan hadirnya transportasi umum sekelas Jakarta, sektor pendidikan pasti ikut merasakan dampaknya. Paling sederhana sih para mahasiswa tidak lagi harus berjejalan di SCBD (Seturan, Condong Catur, Babarsari, dan Depok). Tapi lebih dari itu, masyarakat akan terbebas dari masalah jarak ketika ingin menempuh pendidikan. Bahkan perguruan tinggi baru akan tersebar di seantero Jogja.
Masalahnya, apakah masalah pendidikan hanya di urusan transportasi saja? Apakah tersebarnya perguruan tinggi akan mempermudah masyarakat Jogja mengakses pendidikan? Atau hanya membuat kos-kosan tumbuh di pelosok desa namun warga aslinya tetap sulit membayar UKT? Nah, masalah ini akan relevan dengan masalah berikutnya.
Permukiman baru, gentrifikasi, dan penggusuran
Ketika setiap daerah punya akses transportasi umum yang baik, maka permukiman tidak lagi terpusat pada satu area. Anda bisa tinggal di Srandakan dan kerja di kaki Gunung Merapi tanpa harus merasakan touring pakai motor. Maka akan muncul kantong-kantong pemukiman baru. Mau se-ndeso apapun daerahnya, akan jadi ramai ketika dilalui transportasi umum.
Nilai properti di seluruh Jogja akan meningkat. Pertumbuhan bisnis pendukung seperti kos-kosan sampai restoran akan menyentuh daerah yang dulu terpencil serta terisolir. Tapi ingat, ada ancaman dari hal positif ini: gentrifikasi. Area rural dan terpencil akan jadi incaran investor. Masalah yang dulu masih terpusat di titik-titik tertentu akan meluas.
Tapi sebelum gentrifikasi masif terjadi, sudah ada ancaman yang mengancam ketika pembangunan sektor transportasi masif terjadi. Tentu saja penggusuran. Mau dengan sistem ganti untung, akan ada masyarakat yang tergusur. Jogja sudah pernah melihat masalah ini, tepatnya di wilayah Temon.
Disrupsi budaya hingga gentrifikasi kultural
Urusan transportasi umum tidak hanya mempengaruhi perkara ekonomi dan mobilitas semata. Tetapi juga budaya dan kultur masyarakat. Mungkin disrupsi budaya belum terasa ketika Trans Jogja hadir. Tapi ketika transportasi umum yang lebih masif hadir, disrupsi budaya akan punya kemungkinan besar untuk terjadi.
Integrasi kultural akan terjadi sampai ke daerah-daerah pelosok. Secara positif, budaya lokal akan lebih mudah diakses sebagai potensi pariwisata. Tapi komersialisasi budaya akan muncul lebih masif dari sekadar sendratari atau jathilan. Gentrifikasi kultural juga berpotensi menekan nilai-nilai budaya lokal makin jauh ke sudut-sudut sempit Jogja.
Gentrifikasi kultural ini sebenarnya sudah terjadi lama di Jakarta, bahkan sebelum hadirnya transportasi umum yang masif. Namun Jogja akan lebih merasakan dampak gentrifikasi kultural. Karena salah satu nilai jual daerah istimewa ini adalah budaya. Pariwisata budaya yang berorientasi bisnis serta masuknya budaya urban ke pedesaan akan jadi hantaman keras. Bahkan lebih keras daripada yang terjadi pada masyarakat Betawi di Jakarta.
Apakan semua orang diuntungkan dengan transportasi Jogja sekelas Jakarta?
Setelah transportasi umum sekelas Jakarta hadir di Jogja, siapa saja yang diuntungkan? Tentu yang paling diuntungkan adalah para pekerja. Kedua adalah para mahasiswa. Turis juga akan merasakan dampak positif dari infrastruktur ini. Masyarakat ekonomi menengah ke atas juga bisa mencicip manisnya transportasi canggih dan masih terjangkau bagi mereka.
Bagaimana dengan masyarakat lain? Masyarakat rural yang didominasi lanjut usia tentu akan lebih sulit menikmati transportasi umum ini. Apalagi dengan digitalisasi akses transportasi umum. Masyarakat ekonomi bawah juga tidak serta merta terdampak.
Mereka tidak punya cukup alasan untuk menggunakan transportasi umum, tapi malah makin terdesak oleh masalah-masalah sebelumnya. Ini yang sering dilupakan ketika diskusi tentang transportasi umum di Jogja. MRT, LRT, sampai model busway hanya menguntungkan masyarakat produktif dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Potensi kesenjangan sosial akan terjadi mengiringi hadirnya transportasi umum yang masif. Memang tidak secara langsung, namun dari dampak negatif seperti yang sudah saya sampaikan. Maka yang jadi pertanyaan sekarang adalah apakah Jogja perlu punya transportasi umum sekelas Jakarta?
Orientasi pada masyarakat, bukan hanya bisnis
Menunda untuk memiliki transportasi umum yang baik dan inklusif jelas akan memperburuk Jogja. Namun, pembangunan transportasi umum yang masif tanpa mempertimbangkan situasi masyarakat adalah kebodohan. Jogja sudah butuh transportasi umum yang lebih baik, bahkan sekelas Jakarta. Tapi ada satu yang harus diingat, pembangunan ini harus berorientasi pada masyarakat.
Ini adalah tugas besar dan berat karena Jogja tidak homogen seperti Jakarta. Jogja juga punya budaya yang selain bisa “dijual” sebagai pariwisata, juga perlu dipelihara. Selain itu, isu kesenjangan sosial akan jadi bom waktu yang lebih besar dengan masifnya pergerakan manusia di dalamnya. Belum lagi juga tantangan geografis serta demografis yang saya paparkan di awal.
Namun saya percaya, Jogja bisa menjawab masalah transportasi umum ini. Bahkan bisa menghadirkan transportasi umum dengan cakupan seluruh provinsi tanpa menghasilkan dampak negatif yang kelewat besar.
Masalahnya, para pemangku jabatan ini mau atau tidak? Apakah mereka punya political will untuk menjadikan isu transportasi umum di Jogja sebagai prioritas?
Jangan tanya solusinya pada saya. Sekali lagi, saya tidak mau jadi rakyat rangkap jabatan. Sudah mikir bagaimana melibas puluhan kilometer untuk kerja, masak masih mikir solusi yang seharusnya dicanangkan pemerintah?
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ini yang Terjadi Ketika Upah Minimum Jogja Setara Jakarta dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.