MOJOK.CO – Kamu mau membunuh industri tembakau yang nyatanya menghidupi dan menjadi titian mewujudkan cita-cita para petani? Kamu bajingan sekali.
Saya lahir dan besar di Temanggung. Sebuah daerah penghasil tembakau di Jawa Tengah. Dan sejak kecil itu pula, saya merasakan serta melihat, dengan mata kepala sendiri, tembakau adalah sumber penghidupan masyarakat Temanggung. Ketika panen, sedang bagus, pasar akan ikut ramai.
Dulu, tembakau menjadi sumber penghidupan yang luar biasa. Konon, saat itu, banyak warga yang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu berguna dari hasil panen.
Misalnya, ada seorang warga yang secara sadar membeli kulkas untuk dia jadikan sebagai lemari pakaian. Ada juga orang yang menjadi sangat kaya dari tembakau. Lantaran bingung untuk apa uang sebanyak itu, dia lalu membeli helikopter. Ini kejadian nyata, lho, di Temanggung.
Bukan hanya itu, saya mengamati betul bahwa tembakau, bagi masyarakat Temanggung, adalah “penebusan atas ucapan yang dijanjikan”. Misalnya, janji orang tua kepada anak.
“Sesok nek mbakone payu tak tukoke sepatu.” Ada juga yang janji gini: “Sesok nek mbakone payu kontrakan dibayar.” Dua kalimat itu menggambarkan betapa tembakau menjadi sumber rezeki yang bisa mereka pakai untuk memenuhi banyak kebutuhan. Mulai dari membelikan hadiah untuk anak, membayar kontrakan, sampai menyekolahkan anak sampai bangku kuliah.
Tembakau yang menjadi rezeki untuk petani di Indonesia
Tembakau, ternyata tidak hanya menjadi sumber rezeki untuk banyak petani di Temanggung. Yang kita sebut “emas hijau” ini menjadi sumber harapan bagi jutaan petani di Indonesia.
Melihat fenomena ini, pada 2022, saya jadi tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang Industri Hasil Tembakau (IHT). Lalu, di 2025 ini, saya mendapat kesempatan luar biasa untuk keliling ke berbagai daerah di Pulau Jawa, di mana masyarakatnya berbahagia atas hasil dari bumi sendiri bernama tembakau.
Selain Temanggung, saya sempat menengok Boyolali, Klaten, Bantul, Jember, Paiton, dan Situbondo. Semua daerah di atas punya pola yang sama, yaitu tembakau yang menjadi gantungan hidup.
Berkat hasil dari industri tembakau, mereka bisa terus menyambung hidup. Mereka bisa memberikan pendidikan yang sangat layak bagi anak-anaknya dari TK sampai sarjana, membangun rumah, hingga pergi haji.
Ke depan, saya ingin menengok dan belajar di tempat-tempat baru. Mengingat masih banyak daerah di Indonesia di mana ribuan petaninya bergantung kepada tembakau. Di wishlist saya masih ada Madura dan Lombok.
Bumi Maluku Utara tanpa cengkeh sudah menjadi tambang
Bicara Industri Hasil Tembakau (IHT), sebetulnya tidak terbatas kepada “tembakau saja”. Kamu harus tahu bahwa cengkeh juga termasuk dalam rantai IHT. Industri Hasil Tembakau sendiri secara luas mencakup seluruh rantai pasokan produk yang mengandung tembakau, dan cengkeh menjadi bagian tak terpisahkan dari produk IHT kretek.
Ya, cengkeh termasuk dalam kategori Industri Hasil Tembakau (IHT). Ia merupakan bahan baku utama dalam pembuatan rokok kretek, yang merupakan produk IHT di Indonesia. Ketergantungan industri kretek terhadap cengkeh menjadikan cengkeh sebagai bagian integral.
Cengkeh sendiri menjadi sumber kehidupan yang luar biasa di banyak daerah. Misalnya, di Maluku, Maluku Utara, Bali, NTB, Sulawesi, dan lain sebagainya. Di banyak daerah di Indonesia Timur, cengkeh menjadi “penyelamat”.
Kita sama-sama tahu kalau Maluku Utara punya tambang emas-nikel yang besar. Eksploitasi tambang ini menghasilkan profit besar. Namun, profit itu tidak pernah dirasakan oleh warga setempat.
Saya mendapat kabar yang melegakan ketika cengkeh “menyelamatkan” bumi Maluku Utara. Selain cengkeh, ada juga pala, yang pernah menjadi komoditi besar dan bermanfaat langsung untuk warga.
Oleh sebab itu, warga mempertahankan dua komoditas ini. Mungkin hasil dari pala tidak sebesar dulu. Nah, untuk cengkeh, warga mempertahankan betul. Karena hasil dari Industri Hasil Tembakau (IHT) ini menjadi “perlawanan” terhadap korporasi besar yang merusak alam Maluku Utara.
Lebih dari 6 juta orang bisa hidup berkat Industri Hasil Tembakau (IHT)
Setelah mengikuti cerita di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) itu menghidupi jutaan orang. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia bahkan mengungkapkan bahwa ada sekitar 6 juta orang bisa hidup dari sana.
Tapi saya justru punya asumsi lain. Bukan hanya 6 juta orang, tapi lebih dari itu. Mengingat di antara 6 juta orang itu ada yang memiliki posisi sebagai kepala keluarga. Anggaplah 1 orang punya 2 anak, apa tidak dua kali lipatnya dari jumlah itu?
Data 6 juta orang dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia itu juga saya kira baru data menyebutkan petani tembakau, petani cengkeh, buruh linting, dan pekerja sektor lainnya.
Padahal, masih banyak pihak-pihak yang turut merasakan manfaat dari Industri Hasil Tembakau (IHT). Misalnya, pedagang yang turut menjual rokok dan jumlahnya pasti sangat besar. Sehingga, kalau menghitung secara jujur, saya sangat yakin ada belasan juta orang yang bisa hidup berkat Industri Hasil Tembakau (IHT).
Apa yang terjadi ketika sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) hancur?
Industri Hasil Tembakau (IHT) sedang terancam. Kebijakan Menteri Keuangan, Purbaya, untuk tidak menaikkan cukai di 2026 mendapat hantaman keras. Padahal, niat baik Purbaya adalah untuk menjaga industri padat karya ini tetap hidup.
Jika Industri Hasil Tembakau (IHT) mati, apakah ada yang bisa menyediakan lapangan kerja sebanyak industri rokok? Pemerintah bisa dan mau menjamin keberlangsungan hidup mereka?
Apakah pemerintah serius menciptakan lapangan pekerjaan? Toh bagi saya, janji 19 juta lapangan pekerjaan itu hanya omong kosong belaka.
Maka, bukankah sangat masuk akal apabila pemerintah menjaga sebuah industri yang bisa memberi nafkah untuk belasan juta orang? Tapi, gelagatnya, sejak puluhan tahun lalu, pemerintah itu sangat munafik. Mau makan duit rokok, mempersulit kehidupan jutaan rakyat kecil, tapi nggak berani menutup industri rokok jika memang terasa sangat mengganggu.
Baru Pak Purbaya ini yang berani untuk mengambil jalan yang benar. Dia ingin menjaga, tapi malah dapat jegalan dari kanan dan kiri.
Industri Hasil Tembakau (IHT) bertahan dari terpaan badai
Rakyat mendapatkan pekerjaan, negara mendapatkan ratusan triliun dari cukai. Sungguh tidak diragukan lagi kontribusi sektor ini.
Apalagi ketika Industri Hasil Tembakau (IHT) ini lebih khusus membahas industri kretek yang merupakan produk asli Nusantara. Saya pun jadi ingat tulisan Pak Roem Topatimasang yang ada di buku Kretek: Kajian Ekonomi & Budaya 4 Kota:
“Industri kretek telah membuktikan diri menjadi hanya sedikit, bahkan mungkin satu-satunya, dari industri nasional yang mampu bertahan dari berbagai terpaan badai pergolakan sosial dan politik, perang dan pemberontakan bersenjata, juga krisis perekonomian global maupun lokal.”
Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok bisa Industri kretek sekuat itu walau sudah dihajar sana-sini? Bahkan Industri Kretek harus berhadap-hadapan dengan pihak asing yang terus berusaha membunuhnya dengan berbagai cara.
Jawabannya adalah karena tembakau dan cengkehnya ditanam di negeri sendiri. Yang membuat ya orang negeri sendiri. Dan yang mengkonsumsi (kebanyakan) juga orang di negeri sendiri. Inilah wujud nyata dari rakyat, oleh, dan untuk rakyat.
Mampu bertahan dari terpaan “badai asing”, jadi korban kemunafikan pemerintah, dibenci kanan dan kiri, adalah bukti bahwa tembakau memang pusaka Nusantara. Ia memberi berkah untuk belasan juta orang. Inilah yang namanya kedaulatan perekonomian rakyat.
Kamu mau membunuh industri yang menghidupi dan menjadi titian mewujudkan cita-cita para petani? Kamu jahat sekali.
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Niat Mulia Purbaya Mencegah Kematian Industri Tembakau Malah Dihalangi, Sementara Aksi Premanisme Sri Mulyani Memeras Keringat Petani Dibela dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.











