MOJOK.CO – Foto Sukarno yang sedang di lokasi proyek jalur kereta api di Banten memperlihatkan bahwa sang proklamator pernah menjadi mandor romusha.
Dalam foto dan film propaganda dari awal 1944 itu, Sukarno tampil bercelana pendek serta berkemeja lengan panjang yang lengannya digulung sampai sekitar siku.
Kepalanya bertudung sebuah topi berbahan kain lakan dengan brim melingkar lebar. Pinggiran bagian depan topi tadi ditekuk ke atas supaya jangkauan pandang mata tetap leluasa. Sebuah veldples alias botol minum lapangan tergantung menyelempangi badannya.
Pada kesempatan ini, penampilan pria kelahiran 1901 tersebut memang boleh dikata tidak serapi seperti penampilannya dalam aneka dokumentasi lainnya, baik itu yang berasal dari sebelum pecahnya Perang Dunia II, maupun dari tahun setelah Perang Dunia II.
Kalah necis dari penampilan Sukarno remaja semasa masih bersekolah HBS di Surabaya: berblangkon, berjarik batik, juga mengenakan setelan jas dan dasi kupu-kupu. Kalah pula dalam soal gagah dengan paduan busana ala seragam upacara militer yang sering dikenakannya nanti di sepanjang tahun-tahunnya menjabat Presiden Republik Indonesia.
Namun, tentang Sukarno yang bercelana pendek dan bertopi lakan lebar tadi, busana semacam tadi secara konteks waktunya ternyata bisa terbilang sangat mentereng. Pasalnya pada tengah masa Pendudukan Jepang di Indonesia itu terjadi krisis tekstil seantero Jawa dan Sumatera dan seantero eks Koloni Hindia Belanda lainnya.
Rakyat akan sangat beruntung jika masih bisa memiliki 1-2-3 stel pakaian layak pakai. Banyak orang sudah compang-camping karena memakai pakaian itu-itu saja, atau bahkan sampai mesti bergiliran setelan pakaian yang sama dengan sesama anggota keluarganya. Orang-orang termiskin malah sudah sampai melirik kain bekas karung dan goni untuk tetap dapat berpakaian dan menjadi telanjang.
Henk Schulte Nordholt dalam halaman 32 buku Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan menggambarkan kronisnya krisis tekstil pada masa Pendudukan Jepang di Indonesia dengan kata-kata “membuat para pria malu pergi ke masjid, sementara para perempuan tidak berani pergi ke pasar”. Dari situ dapat teraba betapa rakyat memang sungguh mengalami kekurangan sandang.
Pakaian Sukarno yang bercelana pendek, berkemeja digulung lengannya, juga masih dapat mengenakan kacamata hitam, tentu sangat dapat digolongkan mentereng manakala mengingat lokasi perekaman dokumentasi.
Foto dan film tentang Sukarno bercelana pendek dan berselempang veldples itu tercatat diambil di lokasi proyek pembangunan jalur kereta api di Bayah, Banten Selatan. Pengerjaan proyek itu jalur sepanjang 89 kilometer yang menghubungkan Saketi dengan Bayah itu menggunakan ribuan pekerja berstatus romusha yang melakukan kinrohoshi, yakni kerja bakti untuk proyek pihak tentara pendudukan.
Sukarno sendiri tercatat tinggal beberapa hari di Bayah. Bagaimana dia turut bekerja bersama para romusha proyek pembangunan jalur kereta Saketi-Bayah direkam secara foto dan video oleh tim propaganda Jepang. Ini mulai mencangkul, menyekop, mengangkut-angkut, makan bersama, sampai kepada berpidato menyemangati para romusha dengan tak ketinggalan mengutuki musuh-musuh Jepang seperti Amerika dan Inggris.
Dokumentasi kegiatan Sukarno di Bayah ini dipakai Jepang untuk meyakinkan lebih banyak rakyat untuk mau direkrut sebagai romusha, baik untuk mengerjakan proyek di pulau-pulau di Indonesia maupun dikirim ke Luar Negeri semacam ke Burma dan Thailand. Menurut Aiko Kurasawa dalam buku Masyarakat Perang Asia Timur Raya, perekrutan romusha di Pulau Jawa sampai bisa mengirimkan sekitar 300.000 orang ke luar pulau.
Foto dan video Sukarno selama di Bayah pada awal 1944 kemudian tercatat sering dipakai menyerang Sukarno. Berbahan foto dan video tadi, Sukarno dicap sebagai mandor romusha hingga penjual rakyat. Ini bukan akhir-akhir ini saja beredar di media-media sosial.
Tudingan semacam mandor romusha itu sudah diarahkan Sukarno sedari tahun-tahun terawalnya menjabat Presiden Indonesia. Tak pula benar-benar hilang pada sepanjang tahun-tahunnya menjabat sebagai Presiden, yang pernah pula sekaligus dilekati julukan penuh glorifikasi semacam Pemimpin Besar Revolusi.
Oh ya, tahu siapa dua pihak yang paling awal memakai ledekan mandor romusha untuk Sukarno? Pihak pertama tentu NICA serta tentara Belanda dan intelijen mereka. Kedua adalah pihak Pemberontak PKI yang dipimpin Moeso dan sempat menguasai sekitaran Madiun pada medio 1948.
Bagi mereka yang akhir-akhir ini suka meledek Sukarno sebagai mandor romusha, mestinya mengingat juga bahwa Sukarno bukan satu-satunya tokoh Indonesia yang bersedia bekerja untuk Jepang pada 1942-1945. Tokoh-tokoh lain yang juga kooperatif dengan pihak tentara pendudukan antara lain Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Kyai Haji Mas Mansur, dan Kyai Haji Wahid Hasyim.
Sukarno sendiri kepada penulis biografinya, Cindy Adams, mengakui keterlibatannya sebagai wajah “kehumasan” yang melancarkan perekrutan romusha bagi Jepang.
Sukarno yang tampil sebagai bintang iklan program propaganda perekrutan romusha mesti pula dilihat sebagai siasat untuk meraih kepercayaan pihak Jepang, bahwa dia dan para tokoh yang bersedia berkolaborasi ke sekutu terpercaya yang akan bermanfaat dalam melancarkan agenda-agenda Jepang di Indonesia.
Dari sini, Sukarno lantas diberi Jepang akses luas terhadap panggung, mikrofon, dan sorotan di event-event temu akbar dengan rakyat, siaran radio, juga pemberitaan koran.
Pidato-pidato Sukarno yang diselipi juga pesan-pesan nasionalisme turut hadir di antara siaran-siaran radio propaganda Jepang yang didengar rakyat sampai desa-desa. Itu melipatkan ketersohoran Sukarno dari tokoh pergerakan nasional sejak 1920-an ke level pemimpin bangsa yang dikenal luas di berbagai lapisan dan daerah-daerah.
Tanpa level ketokohan yang dimatangkan periode 1942-1945 semacam ini apa dipikir Sukarno dan Hatta bisa jadi dua sosok penting dan terbilang dominan dalam perumusan konstitusi pada medio 1945?
Tanpa akses luas terhadap panggung selama 3½ tahun itu, apa dipikir Proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Hatta akan langsung bisa disambut antusias oleh jutaan orang di berbagai daerah se-Indonesia?
Dan berandai-andai bahwa tokoh-tokoh Indonesia semacam Sukarno dan Hatta tidak bersedia berkolaborasi dengan Jepang pada 1942-1945, atau bahkan menyusun aksi non kooperatif hingga gerakan perlawan bersenjata, bisa jadi malah tidak memberi manfaat optimal bagi kelahiran negara Indonesia.
Soalnya, Sukarno dan Hatta bisa jadi malah kehilangan nyawanya di masa Pendudukan Jepang. Indonesia malah bisa juga mengalami krisis kepemimpinan ketika hendak merdeka karena tidak memiliki pemimpin yang cukup dikenal rakyat secara luas.
BACA JUGA Dongkolnya Soedirman ke Bung Karno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya dan tulisan Yosef Kelik lainnya.
Penulis: Yosef Kelik
Editor: Ahmad Khadafi