MOJOK.CO – Seharusnya, peran umat Kristen Palestina semestinya diingat, dirayakan, dan diberi ruang yang lebih luas untuk melawan penjajahan Israel.
Shireen Abu Aqla, jurnalis yang dibunuh Israel saat meliput penjajahan atas Palestina akan dimakamkan di Yerusalem pada Jumat, 12 Mei 2022. Jenazah Shireen Abu Aqla juga disemayamkan di gereja Kota Tua. Kematian Shireen menjadi tragedi, karena meski telah mengidentifikasi diri sebagai wartawan, dia dieksekusi penjajah Israel melalui tembakan di kepala.
Gugurnya Shireen melahirkan percakapan penting di media sosial. Sebagian besar membahas kekejaman penjajah Israel terhadap orang Palestina. Jika selama ini isu penjajahan Palestina berkutat pada sentimen penderitaan muslim Gaza, kematian Shireen malah menjadi bahan umat kristen Palestina menyerukan persatuan melawan misinformasi terhadap perjuangan mereka.
Umat kristen Palestina meminta agar dunia tak diam atau menganggap gugurnya Shireen sebagai hal yang biasa. Tak banyak orang yang peduli atau ingat bahwa Palestina adalah rumah bagi ajaran Yesus Kristus. Di negara itu, Yesus dilahirkan dan disalibkan. Kita harus menyadari bahwa perjuangan pembebasan Palestina adalah perjuangan kelas melawan kolonialisme dan imperialisme, perjuangan bersama seluruh umat yang ada.
Elias Jahshan, penulis keturunan Lebanon, Palestina, menyebut bahwa perjuangan kristen Palestina kerap dijauhkan dari media arus utama. Identitas umat kristen Palestina kerap dihapus dan dianggap tidak ada, apalagi di negara-negara mayoritas muslim. Kampanye perjuangan kemerdekaan Palestina direduksi hanya sekadar penindasan Yahudi terhadap satu umat beragama.
Percakapan tentang identitas umat kristen Palestina semestinya dilibatkan saat kita bicara soal kemerdekaan negara itu. Mulai dari sosok George Habash pendiri organisasi Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) yang bersayap kiri. Wadie Haddad anggota PFLP yang menjadi otak dibalik pembajakan pesawat untuk pembebasan Palestina. Hingga Chris Bandak, pejuang Kristen dan pemimpin dari Al-Aqsa Martyrs’ Brigades.
Sebenarnya, tidak susah mencari tahu tentang kiprah umat kristen Palestina di internet. Cukup ketik nama George Habash, kamu akan menemukan biodatanya. Sosoknya merupakan raksasa yang menjadi inspirasi perjuangan Palestina. Namun, anehnya, peran Habash sebagai Kristen Ortodok berdarah Arab, seperti tak terdengar di Indonesia.
Semangat pemberontakan Habash terhadap penjajah Israel lahir dari tragedi. Saat Hari Nakba (Kehancuran), sebanyak 426 rakyat Palestina dibantai oleh pasukan Israel yang dibantu oleh Haganah, milisi Zionis yang menjadi cikal bakal Pasukan Pertahanan Israel, termasuk 176 orang yang mencari perlindungan di Masjid Dahmash, saudara perempuan Habash menjadi salah satu korban tewas dalam peristiwa itu.
Jika Habash adalah sosok pemimpin karismatik, Wadie Haddad adalah ahli strategi yang ulung. Di PFLP, perannya menjadi penting karena melakukan tindakan pembajakan dan menarik percakapan dunia agar peduli terhadap Palestina. Hidupnya seperti agen rahasia yang merekrut mata-mata, membuat jebakan, hingga pada akhirnya gugur karena diracun Mossad. Tapi, adakah percakapan di Indonesia tentang sosok Haddad?
Kisah-kisah solidaritas umat Kristen Palestina terhadap umat muslim juga banyak beredar. Misalnya, saat Pastor Manuel Musallam dari Gereja Latin Palestina menawarkan gerejanya digunakan untuk beribadah kaum muslim di Gaza, Palestina. Tawaran ini diberikan sehari setelah penjajah Israel membom Gaza dan membunuh ratusan orang termasuk di antaranya warga Kristen Palestina.
Atau kita juga masih ingat bagaimana solidaritas sebagian gereja di Kota Nazaret mengumandangkan azan sebagai bentuk protes terhadap rancangan Undang-Undang Pelarangan Penggunaan Pengeras Suara di masjid yang disetujui parlemen Israel. Uskup Gereja Katolik di Nablus, Yousef Sa’ada, juga mengutuk upaya Israel untuk melarang seruan azan.
Menurut Yousef, pelarangan seruan beribadah ini menandakan pendudukan Israel “yang sedang mengalami kejatuhan etika, moral, dan politik. “Pengikut Palestina dari semua agama bersatu menolak RUU yang digagas Israel. Ini bukti bahwa keruntuhan sedang dialami oleh Israel,” kata Yousef.
Di bawah jajahan Israel, umat muslim dan Kristen sama-sama menderita dan mengalami diskriminasi. Tapi, mengapa kita hanya bicara narasi keagamaan saat membela Palestina?
Apakah penderitaan umat Kristen ini tidak layak dibahas? Ataukah ada agenda lain yang memaksa kita untuk menyingkirkan umat Kristen Palestina dalam upaya kemerdekaan negara itu?
Cerita tentang bagaimana umat Kristen Palestina mengalami pelecehan seperti diludahi, dihina, dan diserang oleh penjajah Israel banyak sekali terjadi. Bahkan gereja-gereja tua warisan peradaban awal kristiani juga tak selamat dari grafiti dan perusakan penjajah Israel. Ini yang membuat umat Kristen dan muslim Palestina bersatu melawan.
Seabad lalu, diperkirakan ada 73.000 umat Kristen Palestina yang mewakili 10 persen populasi negara itu. Namun, pada 2019, hanya tersisa dua persen saja dan 2.000 orang di antaranya ada di kota tua Yerusalem. Upaya sistematik penjajah Israel membuat umat kristen Palestina tak bisa memiliki rumah dan terpaksa membuat mereka migrasi ke negara lain.
Peran umat Kristen Palestina semestinya diingat, dirayakan, dan diberi ruang yang lebih luas. Sehingga percakapan tentang Palestina tak melulu soal satu agama, bahwa penjajahan Palestina bukan soal penindasan satu agama belaka, tapi satu bangsa di bawah imperialisme religio fasis Israel.
BACA JUGA Panduan Sederhana Memahami Palestina dan Bisakah Indonesia Ngalahin Israel? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno