ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Semua Akan PKI pada Waktunya

Dandhy Dwi Laksono oleh Dandhy Dwi Laksono
2 Oktober 2017
0
A A
170918 STATUS PKI DIGORENG

170918 STATUS PKI DIGORENG

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Seperti halnya “Genjer-Genjer” yang diciptakan M. Arief, lagu “Garuda Pancasila” juga diciptakan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ia bernama Sudharnoto.

Karena militer dan Orde Baru menganggap Lekra sama dengan PKI, Sudharnoto yang pernah bekerja di RRI Jakarta kemudian dikejar-kejar dan dibui. Setelah keluar penjara sekitar 1968—1969, ia bekerja sebagai penjual es dan sopir taksi. Nasibnya memang sedikit lebih beruntung daripada M. Arief yang hilang setelah peristiwa 30 September.

Di mata Orde Baru, kesalahan Arief sangat fatal: menciptakan “Genjer-Genjer” pada 1942 dengan konteks penderitaan rakyat menghadapi invasi Jepang dan lagu itu digemari Njoto (tokoh PKI) yang sedang singgah ke Banyuwangi. Lho, apa hubungannya dengan dia sebagai pencipta lagu? Tidak ada. Watak fasis tak perlu alasan yang masuk akal atas segala sesuatu.

LBH Jakarta dan YLBHI yang secara historis membela semua kelompok dan ideologi (termasuk kubu Islam garis keras) difitnah sebagai “sarang PKI” dan diserang. Patung Tani yang merupakan simbol mobilisasi umum untuk merebut Papua dari Belanda juga disebut simbol PKI.

Buku Das Kapital yang berisi dasar-dasar pemikiran Komunisme justru disebut “mengajari generasi muda menjadi kapitalis”.

Hanya karena sama-sama berjenggot, foto Mikhail Bakunin yang dicetak di kaos merah salah satu peserta yang datang ke LBH dikira foto Karl Marx dan dianggap sebagai bukti keberadaan komunis di acara itu. Padahal Bakunin penentang Komunisme (negara) seperti yang terjadi di Soviet yang dianggapnya sama menindasnya dengan Kapitalisme.

Kelompok fasis yang membalut identitasnya dengan agama bahkan ngotot menyebut Jokowi adalah komunis meski kebijakan dan proyek-proyek pembangunannya justru sangat kapitalistis dan menimbulkan konflik di mana-mana: reklamasi Teluk Jakarta, sawah sejuta hektare di Papua yang akan dikelola perusahaan (bukan rakyat), atau PLTU-PLTU dan bendungannya yang tidak mencerminkan keadilan ekologis.

Kelompok ini tidak mau tahu dan tidak peduli.

Jokowi dan Istana tetap disebut mendukung kebangkitan PKI. Padahal ia tidak merebut dan membagi-bagikan tanah kepada petani seperti BTI atau PKI. Ia hanya membagi-bagikan sertifikat yang secara jelas menguatkan konsep kepemilikian pribadi terhadap tanah. Jauh dari ide tanah sebagai faktor produksi yang harus dikuasai secara komunal.

Dengan sertifikasi, tanah yang milik pribadi lebih mudah dibeli dan dikuasai modal, seperti kasus komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Beda dengan tanah di Baduy Dalam atau Tenganan Pegringsingan di Karangasem yang tak dapat diperjualbelikan ke pemodal resort atau hotel karena milik adat.

Jokowi harus disebut PKI. Begitu juga PDIP yang dalam sejarahnya merupakan fusi partai nasional seperti PNI dan agama (non-Islam). Meski dalam sejarahnya PNI dan PKI sengit berkonflik (sesengit saling serang antara koran Suluh Indonesia milik PNI dan Harian Rakyat milik PKI). Tapi, gerombolan ahistoris ini tentu tak peduli.

PDIP dianggap sama dengan komunis. Padahal menjadi Marhaenis saja partai ini gagapnya setengah mati. Kader-kadernya seperti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah lebih sibuk membela pabrik semen daripada para petani seperti Pak Marhaen yang sedang mempertahankan sumber air untuk mengairi sawahnya sendiri yang sepetak dua petak.

Partai ini bahkan mendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang kebijakan pembangunannya menggusur, bahkan dengan melibatkan tentara. Ahok sendiri adalah pejabat yang dengan enteng menyebut warga bantaran Waduk Pluit sebagai “komunis” karena dianggap menduduki “tanah negara”.

Bagi kelompok sejenis “massa 299”, semua itu tak penting dan tak relevan. Mereka kawin-mawin dengan para jenderal dan pensiunan yang rindu masa-masa kejayaan Dwifungsi ABRI Orde Baru. Yang bisa memegang tongkat komando, tapi juga bisa duduk di pemerintahan sebagai pejabat yang mengatur APBN atau APBD. Yang bisa mengerahkan pasukan, tapi juga bisa duduk di DPR ikut membuat undang-undang. Yang tetap mempertahankan baret dan seragamnya, tapi juga bisa duduk di komisaris perusahaan negara, daerah, dan swasta.

Siapa yang tak rindu masa-masa itu? Dan jalan paling murah untuk mewujudkannya adalah menggalang sentimen anti-Komunisme dibalut agama. Karena itu, semua harus di-PKI-kan. Semua adalah PKI.

Padahal merekalah yang PKI: Penduduk Kurang Informasi.

Terakhir diperbarui pada 1 Oktober 2018 oleh

Tags: ahokganjar pranowojokowipdip
Iklan
Dandhy Dwi Laksono

Dandhy Dwi Laksono

Artikel Terkait

Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi.MOJOK.CO
Aktual

Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi

7 Maret 2025
3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini MOJOK.CO
Esai

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini

26 Februari 2025
Pakar UGM nilai, ikap Megawati atas retret: menjaga kewibawaan PDIP MOJOK.CO
Aktual

Ketundukan Kepala Daerah pada Megawati: Marwah PDIP hingga Efek Retret yang Belum Tampak Hasilnya

22 Februari 2025
Hasto Wardoyo pilih urus sampah di Kota Jogja di tengah ketidakpastian instruksi retret Megawati untuk kader PDIP MOJOK.CO
Aktual

Urus 1.600 Ton Sampah Kota Jogja di Tengah “Drama”

21 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Wisata di Bali anti ribet dengan eSIM MOJOK.CO

Liburan ke Bali Tanpa Drama: Cukup eSIM, Sinyal Aman, Kantong Tenang

10 Juni 2025
Setelah 6 Tahun Merantau ke Luar Jawa, Saya Jadi Takut untuk Kembali Kerja di Jakarta MOJOK.CO

Setelah 6 Tahun Merantau ke Luar Jawa, Saya Jadi Takut untuk Kembali Kerja di Jakarta

11 Juni 2025
Menyaksikan Kegilaan dari Dalam Bus Bagong dan Harapan Jaya MOJOK.CO

POV Member Bus Bagong dan Harapan Jaya yang Selalu Dianggap Biang Masalah Jalanan: Menyaksikan Kegilaan Sopir dengan Nyali Tebal

13 Juni 2025
Orang desa kuliah di kampus Jogja, merasa terintimidasi kalau ngopi di coffee shop karena nggak punya outfit skena MOJOK.CO

Derita Orang Kampung Kuliah di Jogja Utara: Kaget Ngopi di Coffee Shop, “Terhina” karena Tak Paham Menu dan Tak Punya Outfit Skena

10 Juni 2025
Upaya mahasiswa dapat beasiswa s2 dari dosen Unair. MOJOK.CO

Gelar Sarjana Akuntansi Tak Guna, Akhirnya Pilih Kuliah S2 dan Nekat Cari Beasiswa dari “Ordal” dengan Harapan Kerja di Perusahaan Besar

11 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.