MOJOK.CO – Hari Natal tiba, Guru Sakola Rimba ini mengingat kembali soal pengalamannya berjibaku dengan 4 biarawati hebat di Asmat, Papua, melawan kusta.
Hari Natal tiba untuk sahabat-sahabat Katolik dan Kristen di mana pun berada.
Situasi yang membuat ingatan saya kemudian kembali pada akhir 2014 sampai awal 2015. Hari-hari ketika saya melewatkan salah satu waktu Natal dan tahun baru terbaik saya karena tinggal di kampung yang mayoritas penghuninya beragama Katolik.
Di sana, saya menjadi satu dari sedikit orang beragama non-Katolik. Kurang dari 10 orang saja. Jika di Jawa saya mayoritas, maka di sana—saat itu—saya betul-betul jadi minoritas dalam arti yang sebenarnya.
Cuma beberapa saja yang muslim seperti saya, sisanya lain Kristen. Kampung tersebut bernama Mumugu Batas Batu, Kabupaten Asmat, Papua. Ketika itu saya tinggal menetap di sana karena bertugas sebagai sukarelawan guru di Sokola Asmat.
Selain seorang pastor yang bertugas memberikan pelayanan kepada jamaah di Mumugu Batas Batu (selanjutnya saya tulis MBB), ada empat orang biarawati bertugas di sana. Mereka bertugas di bawah pengawasan Keuskupan Agats, Paroki Sawaerma.
Wilayah Mumugu Batas Batu dan Mumugu Bawah masuk dalam Stasi Mumugu dalam struktur Keuskupan Agats. Keempat orang biarawati itu begitu memberi kesan mendalam kepada saya. Apalagi jika Hari Natal tiba seperti sekarang. Ingatan akan mereka selalu muncul.
Dalam laku keseharian mereka dan interaksi saya dengan mereka, mereka memberikan pelajaran berharga kepada saya perihal ketulusan, keikhlasan, saling mengasihi dan menyayangi. Terutama perihal praktik-praktik langsung toleransi yang bersahaja.
Keempat orang biarawati itu adalah Suster Angela, Suster Gabrielis, Suster Dorothea, dan Suster Merlyn.
Selanjutnya mari kita bahas satu per satu kiprah keempat biarawati yang mengabdi di MBB ini.
Yang pertama Suster Angela. Beliau adalah biarawati yang bertugas melayani pendidikan bagi umat di MBB. Jadi beliau banyak berinteraksi dengan saya dalam perkara yang lebih formal dan kaku karena mungkin, dia harus menjaga wibawa di hadapan murid-murid di Sokola Asmat.
Suster Angela cantik. Paling cantik dibanding biarawati lainnya di MBB. Tentu saja ini penilaian subjektif saja, tapi mana ada sih penilaian kecantikan seseorang yang tidak subjektif, pasti selalu subjektif lah.
Namun kecantikannya itu sedikit tertutupi oleh ketegasan dan sikap kerasnya dalam mendidik anak-anak di MBB. Suster Angela tak pernah takut berkonfrontasi dengan para orangtua di MBB jika itu berhubungan dengan pendidikan anak.
Bahkan saya pernah ditegur Suster Angela karena belum berada di sekolah saat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sejujurnya, saya tak pernah—dan tak mau—kaku dalam memberikan jadwal belajar bagi anak-anak di Sokola Asmat.
Mau datang jam berapa saja silakan, tak ada istilah terlambat datang sekolah, pun begitu dengan jadwal pulang. Siapa yang sudah lelah boleh pulang, yang masih kuat saya siap belajar bersama sampai bosan dan murid saya minta pulang.
Lain dengan Suster Angela. Dia begitu kaku dalam menetapkan jam belajar di sekolah. Mau tak mau, saat Suster Angela ikut membantu mengajar di Sokola Asmat, jam belajar mengikuti kemauannya, saya pun kadang keteteran dibuatnya.
Meski begitu, kedisiplinan dan ketegasan Suster Angela sangat membantu saya dalam mengelola warga belajar. Keributan-keributan yang kerap terjadi bisa sedikit berkurang. Sayangnya Suster Angela sebentar saja membantu di Sokola Asmat, saat program pengobatan kusta mulai berjalan, dan dia fokus di sana.
Dalam pergaulan keseharian, ketegasan dan sikap kerasnya berubah. Aura kecantikan kembali memancar dari dirinya. Kadang saya suka berpikir jahat agar Suster Angela tidak usah membantu proses belajar mengajar di sekolah. Karena di saat-saat seperti itu, aura kecantikannya memudar.
Selanjutnya ada Suster Gabrielis, biarawati paling senior di antara 4 biarawati di MBB. Karena paling senior, sifat keibuan terpancar jelas dari dirinya. Walaupun senior, dia tak mudah lelah, melayani umat sejak pagi hingga larut malam.
Pagi hari Suster Gabrielis ikut mengajar di sekolah, bermain bersama anak-anak usia TK. Siang hingga malam melayani umat yang datang ke asrama. Saat senggang dia menyempatkan diri berkebun, menanam beberapa jenis sayuran di halaman asrama biarawati.
Sifat keibuannya sudah saya rasakan sejak awal kedatangan saya di MBB, “Pak guru Fawaz, tidur pakai kelambu ya? Di sini nyamuk banyak, malarianya ganas pula, nanti biar saya bawakan kelambu ke rumah guru.” Begitu sekali waktu dia berpesan.
Di lain waktu, hampir setiap kami bertemu, Suster Gabrielis selalu mengingatkan saya untuk makan tepat waktu dan istirahat yang cukup. Dan kejutan terbesar darinya untuk kami para guru di MBB adalah, sebuah sepeda yang dia berikan pada kami, sepeda yang selalu kami gunakan untuk banyak keperluan, tentu saja sepeda ini banyak berguna bagi kami.
“Pak Guru, jangan lupa salatnya ya? Salatnya jangan sampai tertinggal. Kita boleh jauh dari rumah, tapi jangan jauh dari Tuhan.” Pesan ini hampir selalu diucapkan Suster Dorothea saat kami berjumpa.
Suster Dorothea merupakan suster yang paling baik yang pernah saya temui. Bukan hanya kepada saya, tapi kepada seluruh manusia di MBB. Selama masa penugasan saya di MBB, saya tak pernah melihatnya marah barang sekali. Selalu berlemah lembut kepada siapa saja yang dia temui. Benar-benar sudah menjiwai ajaran kasih yang dia yakini, melayani dengan sepenuh hati.
Tetapi, karena terlalu baik dan terlalu lembutnya beliau, saya lebih sering sungkan untuk bercengkerama dengan Suster Dorothea. Interaksi kami terbilang jarang. Pernah kami satu perahu dari Agats hingga Mumugu Bawah.
Perjalanan itu memakan waktu sembilan jam penuh, namun interaksi kami hanya ala kadarnya saja. Saat singgah di Mumugu Bawah untuk menurunkan beliau, saya tak boleh langsung melanjutkan perjalanan.
Ternyata Suster Dorothea memaksa saya untuk salat asar terlebih dahulu, sekalian dijamak dengan kewajiban zuhur saya. Ah, Suster Dorothea ini, saya semakin sungkan karena bahkan dia tahu sedikit-sedikit ilmu fikih di agama saya.
Dan yang terakhir adalah Suster Merlyn.
Seingat saya, dengan Suster Merlyn lah saya paling banyak berinteraksi. Tiap ke warung jika berpapasan dengannya, atau dia sedang berada di depan asrama, saya pasti singgah untuk berbincang dulu dengannya.
Jika Suster Angela yang paling cantik, Suster Gabrielis paling keibuan, Suster Dorothea yang paling baik, maka Suster Merlyn menjadi yang paling manis dan paling gaul, paling asyik. Suka memancing, hobi bermain catur dan kartu remi, seorang atlet basket, asyik jika berdiskusi, juga seru saat bergurau.
***
Pada paruh kedua penugasan saya di Sokola Asmat, interaksi saya dengan keempat suster ini jauh berkurang, sangat jauh berkurang.
Hal ini disebabkan program pelayanan pengobatan kusta yang mereka berikan kepada penderita kusta di Mumugu Batas Batu dan Mumugu Bawah. Setiap hari mereka harus memasak untuk para penderita kusta dan juga memberikan obat.
Setiap hari selama setahun penuh, tak boleh lalai barang sehari saja. Karena jika lalai, sang penderita kusta harus mengulang proses pengobatan dari awal, selama setahun penuh.
Sekitar 90 orang di MBB dan 110 orang di Mumugu Bawah, penderita kusta yang harus dilayani setiap harinya.
Dari sini saya bertambah kagum pada mereka, memilih hidup selibat untuk kemudian dengan senang hati melayani umat. Menjadi ibu bagi seluruh penghuni Mumugu Batas Batu dan Mumugu Bawah.
Proses pelayanan dan pengobatan kusta dimulai pada 1 Januari 2015, artinya jika proses ini harus berjalan setahun penuh, pada 2016 MBB dan Mumugu Bawah terbebas dari kusta. Padahal dua tahun sebelumnya keduanya dinobatkan oleh WHO sebagai wilayah dengan penderita kusta tertinggi di dunia.
Setahun penuh melayani dan mengobati penderita kusta sembari tetap memberikan pelayanan untuk keperluan umat yang lainnya, ah, luar biasa. Hormat saya untuk keempat suster hebat ini.
Selamat Hari Natal, suster-suster pejuang pembasmi penyakit kusta di bumi Asmat, Papua. Dari saya, seorang muslim yang mungkin bakal dikatain kaum munafiqun sebentar lagi karena ucapan natal ini. Meski—yah—saya nggak bakal begitu peduli.