Grup WA dan bulan puasa kadang-kadang bukan pasangan ideal. Beberapa hari lalu seorang teman mengirim foto, yang diambil diam-diam, seorang bapak dengan songkok di kepala sedang asyik ngemil bakso di bawah terik matahari kota Surabaya. Kalimat yang menyertainya: “Apa gak malu sama yang dipakai di kepala, tuh?”
Komentar langsung berhamburan di grup WA saya itu. Tidak perlu jadi anggota MUI untuk tahu bahwa sebagian besarnya adalah olok-olok. Banyak yang galak, tidak sedikit juga yang kocak, sampai seorang teman yang lain menutupnya dengan ringkas: “Jangan sampai puasa kita cuma mendapat lapar dan hausnya saja ….”
Mak klakep.
Komentar-komentar tentang si bapak langsung berhenti. Sampai tulisan ini dibuat, bahkan belum ada pemberitahuan di hape saya kalau ada kiriman baru di grup WA itu.
Saya bukan Cak Rusdi dan ini bukan kisah tentang Cak Dlahom dan Mat Piti, tapi saya mengingat seorang artis baru di sebuah acara bincang-bincang yang tidak bertahan lama di televisi beberapa tahun lalu. Acara itu mengundang beberapa artis perempuan sekaligus untuk membahas satu tema. Saya lupa temanya tapi mengingat pertanyaan dari sang artis baru yang konon lama tinggal di Perancis: “HRD itu apa sih?”
Ria Irawan, kalau tidak salah ingat, yang duduk di hadapannya, menjawab setengah bercanda, “Security, keamanan.”
Sang artis baru mengejar, “Berarti satpam, kan? Terus apa urusannya satpam sama yang lagi kita bahas?”
Setelahnya, artis itu sering menghiasi layar kaca; dan yang paling menonjol, tentu saja, kemolekan tubuhnya. Lalu beberapa kontroversi mengikutinya, mulai dari perkelahiannya dengan sesama artis di sebuah film yang berujung dijebloskannya keduanya ke dalam penjara, album perdananya yang diselipi bonus kondom, sampai kisah cintanya yang naik-turun dengan seorang pesepakbola tetangga Lionel Messi.
Mungkin kehidupan artis memang seperti itu, banyak dramanya, sebagaimana kehidupan penulis yang banyak ceritanya.
Kemolekan tubuh sang artis kemudian juga jadi bahan olok-olok di media sosial. Sebuah meme menggambarkan genangan air dan sang artis yang berbaring, dengan caption: “Banjirnya sudah sedada orang dewasa.” Entah apa yang ingin dibahas di meme itu, banjirnya atau buah dada sang artis.
Saya ingat Dolly Parton, yang diingat orang karena ukuran buah dadanya, suatu kali pernah berkata, “Orang-orang sering membuat lelucon tentang dadaku, tapi kenapa mereka tidak pernah melihat hati di belakang sepasang buah dada ini?”
Artis yang saya bicarakan tidak lepas dari kontroversi dan tulisan ini tidak berusaha membuatnya suci, tapi beberapa temannya mengingat kerendahan hatinya. Pasca divonis mengidap kanker leher rahim, dia menunjukkan solidaritas kepada orang-orang yang senasib-sepenanggungan dengannya. Konon sumbangan dari orang-orang untuknya juga diberikan kepada penderita kanker yang lain.
Soal hubungannya dengan pemain sepakbola, jangan tanya Gaston Castano, tapi tanyalah Sergei Litvinov, pesepakbola asal Rusia yang terpaksa berjualan jus di Solo karena gajinya tidak kunjung cair. Adalah sang artis yang membiayai kepulangan si pesepakbola, korban brengseknya pengelolaan sistem persepakbolaan nasional itu.
Ingatan, kita tidak bisa memilih yang mana yang akan muncul di kepala, tapi kata-kata sepenuhnya di bawah kendali kita. Menghujat yang sudah pergi (saya tahu beberapa masih melakukannya media sosial) tidak akan membuat orang jadi lebih suci dari yang lain. Persis seperti teman-teman saya yang mengomentari bapak-bapak yang ngemil bakso di siang bolong di bulan puasa.
Puasa, kata teman saya tadi, jangan sampai cuma mendapat lapar dan hausnya saja. Hidup, saya rasa, juga jangan sampai cuma diisi meme dan komentar pedas saja.
Artis yang saya bicarakan itu sudah pergi. Hidupnya memang penuh drama, dicintai sebagian orang dan dibenci sebagian lain. Kepadanya saya tidak berhak memberikan penilaian apa-apa. Cuma ucapan:
“Selamat jalan, Mbak Julia Perez. Semoga tenang di tempat segalanya tidak dinilai dari ukuran buah dada, tapi dari hati yang berada di baliknya.”