Selepas salat subuh, ketika matahari belum juga muncul, saya melakukan wawancara imajiner dengan Presiden Jokowi melalui sambungan telepon. Inilah sebagian isi wawancara itu. Sebagian yang lain belum sempat saya transkripsi. Tetapi meskipun sudah, rasanya lebih baik saya simpan sendiri.
* * *
Selamat pagi, Pak Jokowi
Selamat pagi, Mas Rusdi. Sudah lama kita tak saling kontak, ya?
Iya, Pak, cukup lama.
Kapan kita terakhir kontak-kontakan?
Sebelum Pilpres, Pak?
Iya, ya. Sudah setahun lebih kayaknya. Terakhir kita sarapan bareng kalau tak salah.
Betul, Pak. Di rumah, di Menteng.
Iya, saya ingat. Kalau tidak salah, waktu itu Mas Rusdi mau menulis soal Solo.
Iya, Pak.
Pagi-pagi begini, Mas Rusdi mau tanya apa? Eh, sudah sarapan, toh?
Sudah, Pak. Ya… Mau tanya tentang Bapak.
Tentang saya sebagai presiden? Tapi jangan yang susah-susah tapi, ya. Monggo, mau tanya apa?
Bapak sudah setahun jadi presiden. Bagaimana rasanya?
Ya enaklah, Mas Rusdi. Masak jadi presiden tidak enak.
Bedanya dengan jadi gubernur atau walikota, Pak?
Kalau jadi gubernur dan walikota, ajudan saya ya hanya setingkat lulusan STPD. Anak muda. Sekarang presiden, ajudannya tentara dan polisi. Pangkat kolonel. Tak pikir-pikir, lucu juga, pangkat kolonel bawa-bawain map dan tas saya. Hehehe…
Hanya itu enaknya, Pak?
Ya masih banyak. Kalau naik mobil, vorijder-nya sudah bukan lagi pegawai Dishub yang naik sepeda motor, tapi tentara. PM. Ada banyak. Ada yang naik sepeda motor, mobil, ambulans. Selain itu saya juga dikawal oleh tentara dan polisi, bukan satpol PP lagi. Kalau ke luar kota atau ke luar negeri, pakai pesawat kepresidenan. Untung Pak SBY sudah beli. Kalau tidak, kita sewa terus.
Enak, Pak, naik pesawat kepresidenan?
Loh, Mas Rusdi belum pernah ikut rombongan saya ya? Nanti coba hubungi Mas Teten, biar Mas Rusdi diatur ikut beberapa kunjungan saya.
Enak, Pak?
Ya enaklah, Mas Rusdi. Nglencer ke mana-mana, naik pesawat ndak bayar, dikawal tentara dan polisi, masak ndak enak? Mas Rusdi ini kok nanya yang sudah bisa dijawab. Hehehe…
Pak Jokowi menikmati jadi presiden?
Mulai menikmati. Mulai paham. Mulai lancar.
Maksudnya, Pak?
Saya sudah mulai hapal seluk-beluk ruangan di Istana. Ada ruangan ini, ruangan itu. Dimana letak WC-nya, dimana kantor Pak Harto. Dimana kamar tidur Pak Karno. Mulai lancarlah. Istana itu luas sekali ternyata. Meja makan dan kursi-kursinya terbuat dari kayu jati tua. Bagus sekali. Mapan. Kualitas ekspor. Saya masih mencari tahu, perusahaan meubel mana yang membuat.
Bapak tidur di Istana?
Kadang-kadang. Kadang saya tidur di rumah saya pribadi di Jakarta, tapi ndak ada yang tahu. Saya ndak mau rumah saya jadi pusat kegiatan dan perhatian seperti Cikeas atau Cendana.
Teuku Umar atau Kebagusan ndak disebut, Pak?
Hehehe. Mas Rusdi, Mas Rusdi… Ya itu juga.
Bapak tampaknya agak segan ke Bu Mega?
Mas Rusdi mulai nyerempet-nyerempet. Tanya yang lain saja.
Selama setahun ini, Bapak puas dengan kinerja para menteri?
Namanya juga orang hidup, Mas Rusdi, tentu ndak ada yang seratus persen memuaskan. Kadang kita ingin makan sup buntut, yang disajikan malah sup kambing atau sup ayam. Bisa dimakan, tapi ndak pas selera. Apalagi kalau supnya dikasih vetsin.
Kalau sup kambingnya juga dari buntut, Pak?
Ya bisa juga. Tapi kan jarang ada sup buntut kambing, toh? Kalau sup buntut ayam, malah jelas ndak ada. Jadi sup buntut itu ya mesti terbuat dari buntut sapi.
Atau buntut sapinya mahal, Pak?
Kan ada anggaran toh, Mas? Masak saya harus ngajarin menteri, belanjanya berapa, belanja dimana? Ndak ada inisiatif.
Jadi tidak ada inisiatif ya, Pak?
Kurang. Maunya hanya ikut-ikutan. Saya ngomong basmi mafia, Menteri Tenaga Kerjanya malah lompat pagar. Saya bilang hidup sederhana, menterinya malah melarang mengundang orang banyak di resepsi. Lah, pas anak saya jadi pengantin, dia repot sendiri. Malu dia. Seperti itulah contohnya.
Mereka Bapak tegur?
Ya ndak perlu. Orang sudah sama-sama dewasa, masak harus ditegur? Saya hanya menegur anak dan istri saya.
Bapak yang mengangkat mereka, kan?
Oh iya, tapi masak harus ditegur-tegur? Biarin sajalah.
Atau Bapak takut sama mereka?
Hahaha…
Kok takut sih, Pak?
Saya kan tidak menjawab saya takut, toh?
Jadi Bapak ndak takut?
Ayo, Mas Rusdi, tolong dijawab dulu. Kalau saya tanya: apa presiden ndak boleh punya rasa takut, menurut Mas Rusdi gimana?
Ya boleh, Pak. Tapi kenapa Bapak takut?
Siapa bilang saya takut? Saya tanya!
Sama Puan, Bapak ndak takut?
Saya presiden, Mas Rusdi. Para menteri mestinya tunduk pada saya.
Kalau sama Bu Rini atau Pak Luhut, Pak?
Hubungan kami baik-baik saja. Ndak ada masalah.
Bapak ndak takut?
Mas Rusdi ini wartawan senior kok nanyanya muter-muter…
Soal kebakaran hutan, Pak. Benar mau menghukum perusahaan pembakar hutan?
Kan sudah saya jelaskan, Mas Rusdi. Ndak baca penjelasan saya, ya? Kementerian terkait akan menuntut perusahaan pembakar hutan. Kalau ndak salah tujuh triliun, atau berapa gitu.
Itu beneran akan dituntut?
Ya, bener. Masak kita main-main. Sikap kita jelas.
Kalau perusahaannya ndak mau bayar, Pak?
Itu urusan pengadilanlah. Masak saya harus ikut campur.
Mereka bisa menang dan bisa ndak bayar loh, Pak?
Kita serahkan ke pengadilan, Mas Rusdi. Kita tunggu. Serahkan pada hukum yang berlaku.
Baiklah.
Mau nanya apa lagi? Mas Rusdi ini mesti yang aneh-aneh kalau nanya.
Bapak mengusulkan revisi UU KPK?
KPK lagi, KPK lagi. Mbok sudah, ndak usah membahas KPK terus. Masak ndak bosen? Kan masih banyak urusan yang lebih penting.
Kenapa kita nambah utang ya, Pak?
Utang itu biasa, Mas Rusdi. Setiap negara punya utang.
Waktu kampanye, Bapak bilang…
Ya namanya juga kampanye, Mas Rusdi…
Jadi ndak bener dong, uangnya ada seperti kata Bapak?
Itu kampanye, Mas Rusdi. Siapapun boleh menyatakan apa dan berjanji. Yang penting ndak bohong-bohong amat.
Kalau ide bela negara itu dari siapa ya, Pak?
Kita semua. Bela negara itu bagus. Menunjukkan kita cinta tanah air.
Banyak aktivis yang menolak, Pak?
Ndak apa-apa. Mereka belum tahu ide dasarnya. Pelaksanaannya kayak apa, dan sebagainya. Kalau tahu, saya kira mereka akan mendukung.
Ada yang kuatir kita akan kembali ke era militerisme, Pak.
Siapa yang bilang? Kalau saya, memang pernah mengenakan baju militer. Loreng Kostrad. Mas Rusdi pernah lihat kan? Meski krempeng, lumayan gagah kan? Hehehe…
Teknisnya gimana nanti, Pak?
Biasa saja. Seperti yang sudah-sudah saya lakukan.
Seperti apa misalnya?
Mereka yang mendapat pelatihan bela negara akan mendapat kartu. Kartu Bela Negara.
Kartu itu bisa dipakai nyari kerja, Pak?
Ya ndak bisa, toh. Masak kartu untuk nyari kerja. Mas Rusdi ini memang selalu ngenyek.
Terus untuk apa dong, Pak?
Ya dimasukin ke dompet. Desainnya akan kita buat semenarik mungkin. Tidak malu-maluinlah kalau ditaruh di dompet. Hehehe…
Uang nyetak kartunya dari mana, Pak?
Itu urusan menteri keuanganlah. Bukan urusan saya.
Sekarang banyak pengangguran loh, Pak…
Kata siapa? Mana datanya? Saya sudah cek, ndak ada kok PHK-PHK itu.
Bapak ngecek ke mana?
Ke pabrik-pabrik. Ke pusat industri. Semua sudah saya datangi. Tidak ada PHK. Tidak ada yang menganggur.
Bener itu, Pak?
Loh, ya bener. Gimana sih Mas Rusdi ini? Pas saya datang, semua buruh bekerja kok. Ada yang jahit, ada yang ngecat, ada yang membungkus. Ndak ada yang menganggur. Ndak ada PHK.
Jadi tidak ada PHK ya, Pak?
Ya, dong. Jangan dipolitisir. Sebagai wartawan, Mas Rusdi harus bersikap jelas dan jujur. Gitu. Ndak boleh membuat informasi yang berat sebelah dan meresahkan. Mas Rusdi sekarang di media apa?
Freelance, Pak.
Loh masih freelance, toh? Mbok bilang dari tadi, kayak sama orang lain saja…
Bilang apa, Pak?
Ya, barangkali saya bisa membantu Mas Rusdi…
Terima kasih, Pak Jokowi.
Mas Rusdi mau jadi komisaris?
Kayak Fadjroel dong saya?
Iya, kasihan saja saya sama dia. Mas Rusdi mau juga jadi komisaris?
Waduh…
Masih ada loh posisi komisaris yang kosong.
Gimana ya, Pak…
Ndak usah terlalu banyak mikir. Kalau mau, minggu depan saya bikin SK-nya.
Terima kasih, Pak. Tapi saya ndak cocok saya jadi komisaris.
Siapa bilang? Mas Rusdi itu justru sangat cocok jadi komisaris.
Ah, Bapak becanda…
Lho, saya sangat serius ini.
Mau nawarin saya jadi komisaris apa memangnya, Pak?
Komisaris Bela Negara.