Kunjungan kedua
Sekitar 2007, saya ke Sarkem Jogja untuk kali kedua karena ajakan teman. Dia punya langganan penjual miras di bagian belakang, yang dekat dengan gang tembusan Jalan Sosrowijayan.
Namanya Mas Agung. Beliau termasuk senior. Jadi, tiap masuk, kami tidak pernah ditarik retribusi. Seingat saya, harganya Rp2.500 per orang.
Mas Agung bukan sekadar minum. Kalau ada yang cocok, dia akan segera menuju bilik. Saya juga begitu, setelah 4 sampai 5 gelas, saya berkeliling. Kami melewati gang Sarkem Jogja yang gelap sempit, kumuh berbau pesing, untuk mencari wanita idaman.
Sayang, di kesempatan itu, saya tidak menemukan wanita yang saya cari. Makanya, saya kembali duduk bersama Mas Agung. Dia menepuk pundak saya sambil berkata, “Kita duduk setengah jam lagi di sini sampai sekitar jam 2 atau setengah 3. Kalau nggak dapat ya lain kali saja.”
Subuh menjelang. Kami berlima jalan sempoyongan, memutar sebentar ke bagian depan Sarkem Jogja hingga melewati sebuah sekolah kecil, menuju arah Jalan Sosrowijayan.
Tiba-tiba muncul dari sebuah rumah seorang wanita. Mungkin usianya sekitar 40 tahun. Dia mengenakan baju u can see celana ketat hitam memperhatikan kami yang berjalan lemas. Secara spontan dia berkata;
“Loh, cah bagus, mau ke mana jam segini kok dah mau pulang?”
“Dah capek, Mbak,” jawab teman saya.
“Alah, emang udah berapa kali?”
“Udah sini, 5 orang sekalian, 25 aja seorang. Sekaligus tapi lo.” Dia melanjutkan perkatanyàanya sambil memperagakan kedua tangannya sedang memegang 2 kelamin di kiri dan kanan. Mulutnya menganga, pinggulnya sedikit diangkat, dan kakinya sedikit mengangkang.
Saya dan Firly yang belum menemukan incaran, saling bertatapan. Godaan kecil muncul, sekaligus kegelian membayangkan kami berlima tanpa pakaian.
“Wah, makasih, Mbak. Mau pulang aja. Ngantuk.”
“Yowis. Ditawari enak kok ra gelem sih. Selak aku turu dan tutup lawang. Wis tah, ngelarisi ngono lo.”
Kami sempat berhenti, saling pandang, bercampur geli, kami ngeloyor pergi.
Kunjungan ketiga dan pengalaman pertama di Bong Suwung
Beberapa bulan setelahnya, dengan niat mencari karaoke, miras, dan PSK yang merangkap LC, kami kembali ke Sarkem Jogja. Sekitar 3 jam di sana, kami berempat menghabiskan 6 botol anggur merah dan menyewa 3 LC.
Entah siapa yang mulai. Kami tiba-tiba berkeinginan mampir ke lokalisasi yang disebut Bong atau Bong Suwung, yang berdampingan persis dengan rel kereta api Stasiun Tugu.
Tanpa pikir panjang, kami tancap gas dan parkir di dekat tempat billiard. Kami masuk dari sebuah gang kecil yang lebih mirip pasar tradisional.
Betapa kagetnya kami bahwa Bong sedikit lebih ramai dari Sarkem Jogja walau dengan bangunan seadanya. Ada yang menggunakan plywood asal paku, seng bekas seperti mau roboh, atau rumah menyerupai gubuk. Setiap 15 menit, kereta melintas. Para wanita di sini, menurut saya, tidak seagresif Sarkem, jauh lebih “sopan”.
Kami berempat berpisah. Firly bersama Akbar. Saya bersama Syarief. Karena tempatnya tidak terlalu besar, 2 kali kami berpapasan dengan mimik muka tidak saling kenal.
Akhirnya, saya yang pertama menemukan yang cocok. Setelah nego, kami sepakat sekali main 100 ribu, tanpa ciuman basah, berlaku baik, dan menggunakan kondom. Tapi jangan bayangkan kasur-kasur di Bong Suwung seempuk Saritem, apartemen sekitar Seturan, atau bahkan Sarkem Jogja.
Setengah jam kemudian, saya sudah sudah sampai di titik kami janjian ketemu. Seorang penjual kopi keliling sedang melayani pelanggan. Tak berapa lama, Akbar dan Syarif datang dengan wajah semringah.
Saya bertanya, Firly belum selesai? Nggak tahu, kata mereka berdua. Tiba-tiba si penjual kopi menyahut.
“Oh, yang sipit agak gendut?”
“Iya, bener,” balas Akbar.
“Oh, tadi ke sini. Pas ada 2 mbak-mbak beli minuman, mereka malah nego. Sepertinya langsung bertiga, Bang.”
Asu. Sekali main normal masih mau nambah threesome. Hampir sejam kami menunggu. Karena bosan, kami mengirimkan pesan BBM kepada Firly.
Kami menunggu di angkringan. Setengah jam kemudian Firly muncul, menggerutu, sambil memesan es teh. Kami tertawa pelan sekaligus heran.
Sarkem Jogja yang legendaris, tapi Bong punya daya tarik tersendiri
Jadi, Firly langsung tertarik dan libidonya naik seketika ketika melihat 2 wanita tadi. Setelah menawar, keduanya langsung masuk kamar. Namun, sesampainya di kamar, Firly malah letoy. Bukan karena wanitanya, tapi karena merasa iba. Ternyata dia tidak tega meniduri 2 wanita sekaligus di Bong Suwung.
Firly juga punya alasan lainnya. Kamar yang dia dan 2 wanita dapat itu terlalu berisik. Temboknya tipis, hanya seng bekas yang membatasi. Sudah begitu, kasurnya tipis dan bau. Sarkem Jogja masih lebih lumayan, katanya. Paling parah adalah erangan PSK dan pelanggan di kamar samping terdengar dengan jelas.
Firly merasa rugi karena tetap harus membayar 200 ribu untuk 2 wanita tadi. Namun, bagi dirinya, Bong Suwung punya daya tarik tersendiri. Memang kudu jeli untuk menemukan “permata” di samping rel Stasiun Tugu. Apalagi, soal harga, masih lebih murah dibanding Sarkem Jogja.
Kalau saya, Sarkem Jogja memang legendaris, tapi Bong Suwung juga menarik. Namun, kalau harus memilih, terutama di masa sekarang, saya lebih nyaman menggunakan aplikasi MiChat. Nah, kalau soal lokalisasi, baru saya akan memilih Saritem di Bandung.
Iya, kalau lagi di Bandung, saya akan uninstall MiChat. Buat apa? Bermodalkan naik ojek online atau menginap di sekitar Paskal dan Kelenteng, lelah berjalan kaki akan terbayar puas di Saritem.
Penulis: Khoirul Farji Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kisah Bram, Takmir Musala di Tengah Lokalisasi Sarkem dan LC yang Melantunkan Ayat Al-Qur’an dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.