MOJOK.CO – Di antara terjangan fluktuasi harga rokok dan cukai yang berlomba panjat, rokok seperti Halim mendapatkan tempatnya di dalam hati para pelaku zuhud dan sufisme. Subhanallah!
Bagi para pemuda masa kini, suka ngopi, suka nongkrong, suka merokok, itu niscaya. Soal kemampuan beli, juga niscaya. Niscaya relatif.
Karakteristik itu bukan hanya mencerminkan suasana kekinian, melainkan juga kefanaan. Atau tepatnya, kefakiran. Kefakiran yang sempurna.
Eits, tenang dulu. Jika Anda karib dengan wacana tasawuf, Anda pasti mafhum bahwa “kefakiran yang sempurna” bukanlah sebutan yang bermasalah. Ia menunjuk pada ketiadaan atau peniadaan diri di hadapan segala kemegahan duniawi. Di antaranya adalah rokok.
Nongkrong dan ngopi sebagai gaya hidup masa kini jelas kurang kafah tanpa kebul rokok. Bersama rokok, pesona ngopi dan nongkrong menjadi paripurna untuk melahirkan kreasi-kreasi produktif khas anak muda. Mulai dari perteorian hingga perencanaan. Pada aspek ini, kaum muda jelas berlimpah ruah kekayaannya.
Soal eksekusi? Ya fakir lagi.
Mau bagaimana lagi, anak muda tetaplah anak muda: kaya teori, rencana, dan fakir eksekusi. Iya sih, ini alamiah. Anak muda memang janganlah keburu mapan, kaya, dan kondang. Ba-ha-ya.
Ihwal rokok sebagai bagian dari gaya hidup anak muda masa kini yang eksis siang malam di kafe-kafe ternyata cukup dipahami oleh PT Halim Wonowidjojo. Perusahaan rokok dari Kediri, Jawa Timur ini paham betul suasana rohani anak-anak muda yang begitu kaya teori tapi fakir eksekusi. Paham akan urgensi kebutuhan mereka pada asap-asap rokok. Dengan demikian, terbitlah yang namanya rokok Halim.
Halim dalam bahasa Arab berarti ‘penyantun’. Dengan demikian, ashabul halim selain berarti ‘sahabat (rokok) Halim’, juga bisa berarti ‘para penyantun’. Dan nyatanya, laku diri para sahabat Halim memang mewakili karakter seorang penyantun.
Bagi Anda yang kurang familier dengan rokok Halim, cermatilah kelebihan-kelebihan rokok dan perokok Halim ini.
1. Harga
Saat Marlboro mematok harga 25 ribu, Halim istikamah dengan harga kurang dari separuhnya. Cukup dengan 11 ribu, Halim sebungkus sudah dalam genggaman. Ini belum dengan dibumbui bribik-bribik lamis nan melas kepada penjualnya, yang mana harga pasar potensial anjlok dikit jadi cuma 10 ribu.
Kita ngerti, dalam tradisi asketis, ada banyak ahli zuhud yang tak punya harta justru karena hatinya tak terbelenggu sama sekali oleh harta. Harta adalah godaan dunia yang harus ditaklukkan. Hal yang demikian mulianya diajarkan khusus oleh rokok Halim kepada pemuda-pemuda kere.
Usman bin Affan hingga Abdurrahman bin ‘Auf adalah dua sahabat Nabi Saw yang ke-wara’-an dan kezuhudannya tak tertandingi di tengah kelimpahan harta mereka. Harta yang mereka miliki dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat.
Oleh sebab itu, jika menilik harga Halim yang ngunu-kuwi-lah, relevan sekali bahwa para ashabul Halim tengah mengamalkan sikap wara’ dan zuhud di hadapan megahnya harga Marlboro.
Uaplos meriah buat mereka yang ittiba’ pada kezuhudan….
2. Imaji
Branding Marlboro salah satunya mencoba membuat pengisapnya merasa keren di pergaulan masa kini. Tapi, branding-branding high end dan sebagainya jelas hanya godaan duniawi yang bagi batin para Ashabul Halim, tidak pantas diacuhkan. Buat apa? Nggak penting.
Itu hanya label, kulit, lipstik. Toh selalu dan selalu yang substansial dan ontologis ialah rohani, batin, dan kebersinambungan dengan kemahakuasaan Allah dan kedaifan manusia sebagai hamba-Nya.
Maka, branding Halim-lah yang menjadi medium bagi ashabul Halim untuk mendekatkan diri kepada Allah di antara kepungan hawa nafsu branding yang rawan memantik rasa sombong dan kufur nikmat di dalam hati.
Imaji sejati ialah ketersambungan diri pada wujud Allah dalam keadaan apa pun. Tidak ada yang lain. Yok, keplok lagu dulu buat ashabul Halim.
3. Ukhuwah
Persaudaraan dan kebersamaan. Tegaknya prinsip ini selalu bertumpu pada peniadaan ego diri untuk merasa lebih mulia dibanding orang lain. Semua sama belaka di mata Allah, kecuali derajat takwanya.
Halim yang ekonomis lagi berlimpah ruah isinya jelas memenuhi kebutuhan nongkrong bersama dalam jumlah besar sekalipun. Jika pada suatu malam Anda ngafe bareng lima kawan, sebungkus Halim bisa menemani kalian sampai nyaris Subuh tanpa cemas menguras kantong atau tak kebagian. Halim sangat berlimpah persaudaraan dan kebersamaan.
4. Rasa
Jika Anda belum pernah menjajal rokok Halim, saya kasih tahu rasanya. Bayangkan Anda pesen nasi goreng di kafe dengan ucapan begini: “Saya minta nasi goreng. Ya nasi digoreng. Tidak usah tambahin apa-apa lagi. Sama sekali.”
Begitulah rasa ngudud Halim. Nir-rasa. Tiada sergapan rasa apa pun. Tentu, kecuali asap yang tak kalah dengan rokok-rokok lain.
Tiadanya rasa apa pun pada Halim ini nisbatnya pas banget dengan riyadhah para penempuh tasawuf untuk tidak larut pada rasa-rasa apa pun di hati dan pikiran. Mau datang hal yang menyenangkan, menyedihkan, mengundang tawa dan air mata, semua sama-sama bertujuan satu, menjadi jalan menuju-Nya.
Ingat misal satu pekik Maulana Rumi: Luka adalah pintu gerbang bagi masuknya Cahaya. Itu artinya tiada rasa di hadapan apa pun. Nah, Halim jagoan sejati untuk orientasi ini.
5. Dzikrul maut
Walaupun beredar rumor bahwa sebagian besar tembakau Halim adalah rumput kering, para Ashabul Halim tak pernah goyah. Ngudud ya Halim.
Membayangkan rumput kering yang mengebulkan asap diisap, medis mengatakan sangat bahaya bagi kesehatan. Risiko minimalnya radang tenggorokan, demikian kata Bang Fadli dan Deski (pengurus harian Ashabul Halim cabang Jogja). Risiko besarnya ya bisa diterka.
Nah, justru tepat di titik inilah Halim menjadi medium final bagi dzikrul maut, ingat mati.
Ingat akan kematian, kita tahu, selalu menjadi pengerem mumpuni bagi kesombongan, keserakahan, dan kelalaian pada ilahi. Dengan mengisap Halim siang malam, bayang-bayang maut sebegitu dekatnya di mulut, hidung, dan wajah. Orientasi paling dasar ini jelas tergambar di setiap tarikan, isapan, dan embusan asap-asap Halim.
Subhanallah sekali bukan lelaku fana yang diarungi para ashabul Halim ini?