Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Remaja Bunuh Bocah 5 Tahun karena Pengin Aja dan Dilema Hukum Psikopat di Indonesia

Kardono Setyorakhmadi oleh Kardono Setyorakhmadi
9 Maret 2020
A A
Remaja Bunuh Bocah 5 Tahun karena Pengin Aja dan Dilema Hukum Psikopat di Indonesia

Remaja Bunuh Bocah 5 Tahun karena Pengin Aja dan Dilema Hukum Psikopat di Indonesia

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Di Indonesia pembunuhan yang dilakukan psikopat memang belum ditangani dengan proporsional. Dianggap kejahatan biasa aja gitu. Padahal kan….

Meski tetap tenang, pandangannya menunduk ketika masuk ruang penyidikan di Polres Surabaya Timur, 13 tahun lalu. Aura ruang kantor polisi yang seram, tak juga membuatnya takut. Bahkan, ia terkesan tak peduli. Ia juga tak mau menjawab apa-apa.

Perawakannya kecil. Pakai kacamata, kayak orang pintar. Selama tiga hari menjadi tersangka, tak banyak yang didapat penyidik. Ia hanya sebatas mengaku saja. Itu pun setelah kaki tangan pembunuhan yang disewanya tertangkap dan buka mulut.

Sebelum saya bertemu untuk wawancara dengannya, penyidik sudah mengeluhkan perempuan itu. “Atos, Mas, arek-e. Cuma jawab ya dan tidak,” kata penyidik itu.

Saya, yang saat itu masih jurnalis kriminal di lapangan, tertarik dengan kasus tersebut. Selain karena itu berita besar untuk ukuran Surabaya, saya merasa kasus ini agak berbeda dengan kasus-kasus pembunuhan sebelumnya.

Seorang pengusaha dibunuh oleh perempuan yang pernah ikut ngenger (numpang hidup) beberapa tahun lamanya—dengan sadis pula.

Menyewa dua orang pria untuk membantunya, perempuan itu dengan dingin membekap kepala pengusaha itu dengan bantal. Selama setengah jam lebih.

Detail pembunuhan memang terungkap. Tapi, motifnya belum. Tidak ada hubungan asmara (yang kerap jadi motif pembunuhan).

Hubungan antara pengusaha itu, istrinya, dan perempuan itu juga baik-baik saja. Tidak ada barang yang hilang. Tidak ada dendam. Perempuan itu keluar dari rumah pengusaha itu dengan baik-baik.

Lantas, ngapain membunuh kalau gitu?

Wawancara itu kemudian menjadi salah satu wawancara paling serius yang pernah saya lakukan selama jadi jurnalis.

Pada awalnya, seperti penyidik sebelumnya, ia bahkan menolak sama sekali berbicara. Ditanya diam saja. Selama setengah jam di depan, saya berusaha membuat dirinya nyaman. Mengurangi blocking pikirannya.

Setelah hampir dua jam berbincang, saya akhirnya mendapat pengakuannya. Bahwa ia membunuh karena “ingin” saja. Tiba-tiba merasa tak suka dengan pengusaha itu, dan berniat membunuhnya. Tidak ada penyesalan, hanya kelegaan.

Cerita selanjutnya, perempuan itu lalu diproses seperti kasus biasa. Meski penyidik tahu bahwa ada kemungkinan pelakunya ini psikopat, tak pernah ada pemeriksaan psikologi secara menyeluruh. Bergulir begitu saja.

Iklan

Sependek pengetahuan saya, perempuan itu akhirnya divonis sekitar 15 tahun penjara.

Saya sempat bertemu penyidiknya di kemudan hari, dan menanyakan hal itu. Si penyidik mengakui bahwa perempuan itu memang “sakit”. Namun, dirinya juga dilematis.

Mau memeriksakan psikologi secara menyeluruh, selain prosesnya rumit, lama, dan membutuhkan biaya, juga nanti berisiko kasusnya gugur.

“Kalau dinyatakan gendheng, lak ucul, Bos,” katanya.

Kalau akhirnya dilepas dengan catatan harus diterapi, siapa yang bertanggung jawab untuk itu? Siapa yang membiayainya?

“Juga berisiko berbahaya bagi masyarakat. Wis ngene ae, paling nggak selama belasan tahun kemudian dipenjara, masyarakat aman. Metu-metu wis tuwek, wis nggak iso opo-opo,” katanya.

***

Pembunuhan yang dilakukan psikopat memang jarang mendapat perlakuan yang “proporsional” di Indonesia.

Kita cenderung ngeri-ngeri aja ngelihat atau membaca beritanya, tapi tanpa sadar melihat kasus model begitu bak kasus pembunuhan biasa. Penyidik pun cenderung memperlakukannya seperti kasus kriminal pada umumnya.

Seperti kasus remaja perempuan 15 tahun yang membunuh bocah berusia 5 tahun di Sawah Besar, Jakarta, baru-baru ini. Dari sejumlah berita, terlihat kecenderungan seperti itu. Penyidik, dan juga jurnalisnya, mencari gampangnya saja.

Ini muncul ketika Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus tanya ke pelaku pembunuhan ini, “Saya tanyakan lagi, ‘Pernah nggak kamu punya perasaan membunuh sebelumnya?’ Dia bilang, ‘ya pernah, tapi saya bisa tahan.’”

Sayangnya, ketika hari pembunuhan itu tiba pelaku ini mengaku sudah tak bisa tahan lagi buat ngebunuh orang. “Hari itu saya nggak bisa tahan (kepinginan membunuh orang),” kata si pelaku ditirukan oleh polisi.

Melihat pengakuannya yang ngeri begitu, belum dengan diary, dan status medsosnya yang sangar-sangar, tak perlu menjadi jenius psikolog untuk tahu ada yang salah dengan kejiwaan remaja 15 tahun tersebut.

Apalagi, muncul informasi-informasi “pelengkap” lainnya. Seperti, ayahnya galak, suka film-film sadis, suka menggambar adegan penyiksaan, suka menyiksa binatang pakai garpu, dan sebagainya.

Penjelasan gampang-gampangan ini kemudian ya kita ketahui akhirnya memunculkan reaksi yang tidak pernah menyentuh substansinya.

Dari perbaikan di sektor sensor, “Inilah pengaruh film yang buruk. Harus ada sensor yang lebih ketat,” atau perbaikan di pendidikan moral agama, “Kurangnya pendidikan agama,” dan hal-hal normatif lainnya yang belum tentu benar-benar menjawab problem tersebut.

Karena, pertanyaan pentingnya adalah harus diapakan remaja gadis ini? Celakanya, menelusuri jawaban dari pertanyaan itu tidak pernah mudah. Lah piye? Hawong, rumusan masalahnya saja sudah bermasalah.

Jika mau membaca sedikit saja, kita tahu bahwa remaja pembunuh bocah ini memang sakit secara kejiwaan. Seperti orang kena kanker, kena diabetes, tapi ini yang kena adalah pikirannya.

Dengan “penyakit” seperti ini, saya yakin betul kalau remaja pembunuh bocah ini ditangani pengacara andal, dia bakalan bisa lolos dari peradilan. Sebab, pasal KUHP jelas mengatur bahwa orang sakit jiwa atau masuk kategori gila tidak bisa dihukum begitu saja.

Di sisi lain, tentu saja perempuan muda ini berbahaya bagi masyarakat sekitarnya. Jika memang benar dia psikopat, maka membunuh baginya tidak ada masalah sama sekali.

Ada sejumlah ciri psikopat yang pernah saya baca. Seperti membunuh baginya adalah sebuah kewajaran. Sama seperti orang lain yang ketika lapar, lalu makan. Baginya, jika ada seseorang yang bisa dijadikan sarana, atau yang menghalangi jalannya, maka ya tinggal bunuh saja. Sesederhana seperti minum ketika haus. Gitu aja.

Namun, ketika kita kemudian meminta agar aparat menindak tegas, seperti menghukum mati, atau memenjarakannya di sel isolasi sampai remaja itu tua, maka itu akan bertabrakan dengan nurani sendiri.

Ya iya dong, bagaimana Anda bisa merekomendasikan hukuman mati bagi orang yang sakit? Saya percaya, tiap pikiran yang bertentangan dengan hati nurani akan membuat diri kita juga menjadi sakit.

***

Di sinilah, sistem hukum positif di Indonesia tidak punya alternatif untuk kasus-kasus nyeleneh begini.

Dalam dilema antara bertindak kejam (dan karenanya melindungi masyarakat) atau bersikap welas asih (tapi berpotensi membahayakan masyarakat), biasanya penyidik memilih untuk yaaa wis diserahkan ke hakim saja.

Pada gilirannya, hakim paling juga memutuskan untuk dipenjara dalam waktu yang lama. Karena memang tidak ada alternatifnya.

Indonesia belum punya fasilitas khusus untuk para psikopat. Seperti yang saya bayangkan di Arkham Asylum Gotham City dalam cerita Batman. Berharap, di dalam penjara, si pelakunya akan sembuh sendiri. Atau dipenjara dalam waktu yang lama, sehingga ketika keluar sudah tua renta dan tak bisa berbuat apa-apa lagi yang membahayakan.

Ini tentu saja bukan alternatif solusi yang baik pula. Tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi di penjara ketika psikopat campur dengan penjahat lainnya.

Mungkin saja sembuh. Tapi, mungkin saja penyakitnya juga makin bertambah buruk. Si pelaku mungkin akan lebih sadis, dan lebih membenci masyarakat di luaran yang mengurungnya.

Belum lagi kemungkinan dia bisa menularkan pemikiran psikopatnya ke yang lain. Sehingga, lahir psikopat-psikopat baru, yang siap menebar ancaman begitu keluar dari penjara.

Sebenarnya hampir semua dari kita yang mempunyai gangguan jiwanya sendiri-sendiri. Meski dengan tingkat yang berbeda-beda. Bapak psikologi modern, Sigmund Freud sendiri juga mengakui bahwa dia punya neurotis.

Tiap orang punya psikopatologinya sendiri-sendiri. Dan kerap muncul sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari.

Selip lidah, mimpi yang terasa tidak jelas, tiba-tiba galau sendiri, adalah tanda-tanda seperti itu. Meski memang, pada remaja berusia 15 tahun si pembunuh bocah itu, tingkat dan jenisnya sudah sangat ekstrem. Sampai-sampai membuatnya terobsesi untuk jadi karakter “blur” di komik Conan dan Kindaichi.

Sungguh, untuk kasus-kasus seperti ini, saya tidak pernah tahu solusi yang baik seperti apa. Tapi, mencari gampangnya dengan menyebut ini karena pengaruh tontonan, dan memperlakukan kasus ini seperti kasus biasa, maka itu sama saja menutup kemungkinan perbaikan sistem hukum di Indonesia.

Perbaikan sistem hukum ini rasanya sangat dibutuhkan. Sehingga, kita punya sistem hukum yang bisa menangani psikopat dengan baik, sekaligus di sisi lain juga bisa melindungi masyarakatnya.

Saya sih berharap banyak, dengan munculnya kasus semacam ini diskusi publik soal penderita psikopat dan cara penanganannya bisa muncul. Bukan cuma jadi obrolan “pemakluman” di warung kopi aja.

“Idih, pembunuhnya kejam banget ya? Bocah baru 5 tahun lho dibunuh.”

“Hm, psikopat ya?”

“Iya, psikopat.”

“Oalah, piskopat ya?”

“Hm, wajar sih. Psikopat kok ya?”

….

Wajar?

BACA JUGA Mengapa Orang Memutuskan Bunuh Diri? atau tulisan Cak Kardono Setyarokhmadi lainnya.

Terakhir diperbarui pada 9 Maret 2020 oleh

Tags: Kriminalpembunuhpembunuh bocah 5 tahunpsikopat
Kardono Setyorakhmadi

Kardono Setyorakhmadi

Jurnalis spesialis aksi terorisme. Tinggal di Surabaya.

Artikel Terkait

Mayat Anak 7 Tahun di Temanggung Rupanya Korban Ritual Usir Genderuwo. Unpri. mojok.co
Aktual

Penemuan 5 Mayat di Unpri Medan, Awalnya Informasi dari Mahasiswa Kedokteran

13 Desember 2023
Lurah Maguwoharjo Tersangkut Kasus Mafia Tanah, Kini jadi Tahanan Kota MOJOK.CO
Kilas

Lurah Maguwoharjo Tersangkut Kasus Mafia Tanah, Kini Jadi Tahanan Kota

3 November 2023
Benarkah Agama Bisa Mencegah Bunuh Diri.MOJOK.CO
Kilas

Kasus Bunuh Diri Mahasiswa di Jogja, Pakar UGM Singgung Generasi Stroberi

10 Oktober 2023
Seorang Pemuda di Sleman Aniaya 5 Anak di Bawah Umur dengan Alat Kelamin Sapi MOJOK.CO
Hukum

Gara-gara Futsal, Seorang Pemuda di Sleman Aniaya 5 Anak di Bawah Umur dengan Alat Kelamin Sapi

11 September 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.