MOJOK.CO – Dalam situasi work from home kaum bapak berguguran dalam pertarungan rebutan remot tipi. Nah, tulisan berikut ini saya dedikasikan untuk mereka.
Apa yang oleh kelas menengah sebut sebagai work from home ternyata tidak semanis yang dibayangkan.
Betul bahwa kamu harus punya kerjaan, punya rumah, dan tetap dibayar full sebagai syarat utama work from home. Namun ternyata, itu nggak cukup. Kamu harus siap menjalani semacam “pertarungan entitas” dengan anggota keluarga sendiri. Dengan medan tempur tiada lain tiada bukan adalah: remote dan saluran televisi.
Dalam survei kecil-kecilan, kaum bapak biasanya berguguran dalam pertarungan tersebut. Nah, tulisan berikut ini saya dedikasikan untuk mereka.
Begini. Sejak anak bangun sampai hendak tidur lagi, Upin-Ipin memenuhi layar kaca. Dari pagi, siangan dikit, sore, hingga petang. Rasanya Upin-Ipin mencaplok 4-5 jam sehari dari program MNC TV. Jujur, saya baru tahu karena gara-gara work from home.
Dalam kondisi seperti ini, bapak jelas kalah sama anak. Beberapa kali saya coba melakukan counter attack dengan menggantinya ke saluran berita. Tapi anak saya selalu punya jurus.
“Babah kok sukanya berita terus? Emang berita sayang sama Babah?”
Itu ucapan telak yang langsung mengantarkan saya kembali ke jurang kekalahan.
Agak petang, giliran rumah tangga artis yang disiarkan untuk dibahas secara nasional. Kawan saya, ahli ekonomi digital, mengenalkan istilah “Televisi RAfi Ahmad & Nagita Slavina” sebagai kepanjangan dari “TRANS” untuk TRANS TV. Wujud dari kekaguman sampai tahap muntab pada kebijakan stasiun tipi ini.
Sekaligus mengingatkan saya akan plesetan-plesetan lawas tentang tipi-tipi kita era 90-an. Sebut saja, RCTI: Rame-rame Cerita Tiba-tiba Iklan. TPI: Tayangan Penuh Iklan. Indosiar: Iklan Dominasi Siaran. TVRI: Tanpa Variasi, Rame-rame Iuran.
Efek dari work from home juga bikin saya punya dugaan bahwa program yang ngangkat rutinitas rumah tangga artis itu laku keras, pantas kalau akhirnya tiruannya banyak.
“Diary The Onsu”, misalnya, yang mengangkat rutinitas Ruben Onsu, istrinya, anak kandungnya, anak angkatnya, dan asisten-asistennya. Rumah tangga Ayu Ting Ting juga kadang diberi porsi di program lain. Membuat saya sadar bahwa oligarki ternyata merambah juga ke dunia entertain. Warbiyasah.
Dalam kondisi seperti itu, kaum bapak kalah oleh ibuk-ibuk. Kesempatan satu-satunya bapak-bapak untuk merebut ghanimah adalah jam 9 malam ke atas. Saat anggota keluarga lain sudah lelah dan mapan di ranjang. Biasanya saya punya kesempatan nyetel film-film Hollywood.
Oke. Sekarang kita bawa situasi ini ke hal yang lebih seirus. Bukan sekadar curhatan bapak-bapak yang kalah dengan anak dan istrinya. Gara-gara makin istikamah mentengin televisi karena work from home belakangan ini, saya jadi peduli soal frekuensi publik. Dan itu menggelisahkan bagi saya.
Begini. Siaran tipi, berdasar data tahun 2016, menjangkau 78% wilayah Indonesia. Meraup potensi 122 juta pasang mata sebagai penonton. Angka yang besar. Sebanyak 122 juta itulah pangsa pasar.
Jadi, meski mayoritas kita menyaksikan tipi secara gratis, sebenarnya tidak gratis-gratis amat. Pepatah Bantul menyebut: “Jika sesuatu bisa kamu nikmati gratis, maka kamulah dagangannya”.
Meski kita sadar itu bisnis, ya paling tidak bisnis harus beretika lah. Dikit.
Soalnya, coba bayangkan jika kamu membuat status FB tentang COVID-19 karena bosen sama work from home. Alih-alih mengomentari status yang kamu bikin, salah satu temanmu malah menawarkan Pay Tren, misalnya. Atau orang yang sama sekali tidak kita kenal, tanpa ba-bi-bu kirim sms tawaran pinjaman online. Ya itu bisnis, tidak haram, tapi juga tak beretika.
Daaan… itu jadi gambaran dari penggunaan frekuensi publik di televisi hampir satu dekade ini.
Frekuensi yang digunakan tipi sejatinya adalah milik publik. Kita semua berserikat dalam kepemilikan frekuensi tersebut. Jadi frekuensi itu adalah milik kita, lahan kita, pekarangan kita. Atau yang lebih pas, frekuensi ibarat tanah, air, dan udara kita. Stasiun tipi hanya mendapat ijin untuk berbisnis melalui frekuensi tersebut.
Sebab itu, kita berhak untuk meminta dan menuntut program yang sesuai standar komunal kita. Menjadi kewajiban televisi untuk membuat konten acara yang mengakomodir kepentingan publik. Begitu idealnya. Idealnya lho ya.
Dulu, publik sempat risih saat stasiun tipi seolah berubah menjadi milik pribadi dan golongan. Pertarungan Pilpres 2014 yang brutal telah memberi imbas pada program-program tipi.
Metro TV yang pro-Jokowi berhadap-hadapan dengan TV One yang pro-Prabowo. Semua pasti ingat, bahwa pertarungan tersebut tak hanya dalam bentuk iklan kampanye, tapi juga konten acara. Banyak yang menikmati, tapi saya yakin lebih banyak yang gerah.
Tahun 2016 tiba waktunya bagi televisi-televis swasta untuk perpanjang izin. Masyarakat menanti momen tersebut sebagai titik perbaikan siaran televisi. Lantas 4 tahun berlalu, tampaknya masih banyak kerisihan publik yang tak terakomodasi.
Tayangan tidak edukatif, tidak berimbang, eksploitasi ranah privat, acara mistis/klenik, dominasi tayangan impor tak berkualitas, courtesy Youtube, dan tayangan-tayangan dramatis nir-faedah lainnya. Masih ada, banyak, dan makin berlipat ganda.
Stasiun tipi milik negara yang tampaknya akan berbenah ke arah lebih baik malah mentok di tangan dewas-nya sendiri. Program olahraga dan edukatif yang bagus malah dianggap tak sesuai dengan jati diri bangsa. Biyungalah.
Dari hal-hal di atas, publikasi ranah privat bagi saya adalah yang paling kacau dan paling tak bisa diterima. Bagaimana mungkin jutaan keluarga Indonesia dipaksa memelototi standar kehidupan Raffi Ahmad, Ruben Onsu, atau Ayu Ting Ting?
Infotainment juga tidak beranjak dari ghibah-squad. Salah satunya bahkan pernah hadirkan setting ranjang. Untuk gambarkan kisah kakek yang menikahi anak bawah umur. Ampun, pakdeee.
Regulator tak pernah beri batasan yang jelas dan mengikat, mana ranah publik mana ranah privat. Mana yang boleh di-broadcast mana yang etisnya tetap disimpan rapat-rapat.
Celakanya, tempat kita mengadu juga tak siapkan infrastuktur praktis untuk terima aduan. Karena efek work from home saya jadi ada waktu iseng buka form pengaduan KPI. Tidak kurang dari 13 kolom harus saya isi agar laporan masuk. Ribet sekali.
Saya bandingkan dengan proses pelaporan ke BPBD Bantul, misalnya. Yang cukup wasap dengan share loc agar laporan diterima. Setengah jam kemudian tim udah datang. Bantul lho ini padahal. Bantuuul.
Nah, ribetnya pelaporan ke KPI tersebut membuat saya nggak heran jika akhirnya netijen pilih jalan pintas. Mensen akun KPI di medsos. Itu pun harus dengan jumlah mensen yang banyak hasil dukungan netijen lain. Baru deh direspons.
Lantas di tengah-tengah itu ada yang komentarin gini, “Udah, biarin aja. Gini saja, acara yang nggak mendidik nggak usah ditonton. Beres kan?”
Walah, ya nggak bisa begitu juga dong, Marwoto. Memangnya jika ada orang telanjang menari-nari di jalan, dekat dengan anak-anak; apa cukup dengan…
“Ya udah, biarin aja, nggak usah ditonton aja.”
Pada kenyataanya, kalau ada situasi kayak gitu, banyak di antara kita yang langsung mengingatkan atau menghentikan kelakuan orang gila ini bukan?
Begitu pula yang mestinya kita lakukan terhadap tayangan-tayangan televisi. Kalau tidak, kelak, saat masyarakat sudah kian mapan, akan terjadi migrasi besar-besaran ke Netflix dan program video on demand lainnya.
Saat itu terjadi, tak perlu heran kalau nanti bakal ada program stasiun tipi yang bahas topik “Senjakala Televisi Indonesia”…
…dan kita semua nontonnya lewat Youtube.
BACA JUGA Frekuensi Publik dan Efek Siaran Langsung Persalinan Ashanty atau tulisan Miftahur Risal lainnya.