MOJOK.CO – Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu cara: pura-pura kesurupan!
Dari seorang teman kini saya tahu, pura-pura kesurupan adalah kemampuan khusus yang penting dimiliki hari ini. Hari di mana kita hidup dalam kekangan kapitalisme, hari di mana kita dipaksa memuaskan fetish kapitalisme, yaitu kecepatan. Fetisisme ini mengharuskan kita menyelesaikan pekerjaan secepat-cepatnya untuk melayani konsumen. Ironis memang, karena ketika kita menjadi konsumen, kita juga menginginkan pelayanan secepat-cepatnya. Dan ini berlaku dalam banyak sekali bidang.
Masalahnya, tak jarang ada kondisi kita tak bisa bertindak cepat dalam bekerja. Ini berakibat fatal, kita mengalami kerugian dengan skala variatif karena tak mampu mengikuti standar kecepatan yang ditentukan. Misalnya kita dicaci-maki atasan karena tak mampu memasak, mengantarkan barang, atau menulis dengan cepat. Kemungkinan terburuknya kita dipecat dari pekerjaan. Padahal kan wajar manusia sesekali butuh kesempatan untuk bergerak lamban, baik untuk mengisi ulang energi yang terkuras sekadar buat mikir.
Lantas, adakah cara untuk mengakali tekanan di tempat kerja yang harus bergerak serbacepat ini, tanpa mengalami kerugian? Dari teman ini saya belajar bahwa cara seperti itu ada. Dan untuk melakukannya diperlukan kemampuan khusus seperti yang saya katakan di awal tulisan: pura-pura kesurupan.
Kesurupan adalah kondisi manusia kehilangan kesadaran, tetapi tidak pingsan. Dalam momen tersebut seseorang akan melakukan hal-hal di luar kontrol diri sendiri, seperti menjerit-jerit dan berkelojotan hebat di lantai seperti cacing tersundut bara rokok. Banyak orang percaya, pada korban kesurupan, jiwanya sedang diambil alih setan.
Lumrahnya, saat ada kita kesurupan, aktivitas di sekeliling bakal terhenti sejenak, baik karena orang-orang lain panik atau sekadar menonton tingkah kita. Di sanalah kuncinya: saat terjadi kesurupan, kecepatan bekerja yang diharapkan kapitalisme itu akan menurun. Dan apakah kita akan dicaci-maki atasan atau dipecat gara-gara kesurupan? Anda tahu sendiri jawabannya.
Kiat ini saya pelajari dari seorang teman saya, sebut saja Raflesia, untuk tidak menyebutnya Mawar. Ia bekerja sebagai pembantu umum di berbagai syuting iklan audiovisual. Sebagai pembantu umum, terutama ketika situasi syuting sudah memanas karena tenggat sudah terlampaui tapi pekerjaan belum selesai, ia selalu dituntut untuk bergerak cepat membuatkan dan mengantarkan teh dan kopi dan gorengan atau makanan apa pun kepada para kru, yang teriakan kesalnya lebih tinggi beberapa oktaf dari situasi normal.
Suatu waktu, Raflesia begitu kelelahan menghadapi para kru yang berteriak, dan ia mengambil keputusan bijak itu: berpura-pura kesurupan. Syuting terhenti beberapa jenak, produser dan produser pelaksana dan asisten sutradara tak lagi menyuruh siapa pun untuk bergerak cepat. Benar-benar siapa pun, tidak hanya si Raflesia sahabat kita itu. Bahkan klien memaklumi perjalanan syuting harus terlambat.
Anda tahu, syuting adalah kegiatan yang sangat mementingkan kecepatan, di samping ketepatan/presisi. Ini akibat dari prinsip terkutuk “waktu adalah uang” yang benar-benar diterapkan. Anda harus menyelesaikan syuting sebelum segala sesuatu yang disewa—studio dan kamera dan properti dan apa pun—berakhir jangka waktu sewanya. Dan apakah Raflesia dicaci-maki atau dipecat oleh atasan setelah memperlamban syuting? Mana berani. Bahkan, setelah usai berpura-pura kesurupan, ia diberi kesempatan untuk diam beberapa jenak, para kru mendadak mandiri dalam membuat/mengambil teh dan kopi dan gorengan; malah setelah usai waktunya untuk diam pun Raflesia diberi pemakluman oleh semua pihak untuk bekerja pelan-pelan. Dan tersebab akting kesurupan Raflesia tadi masih menyisakan kepanikan di kepala para kru lain, mereka turut memperlamban pekerjaan mereka tanpa dibonusi caci-maki.
“Itu adalah pertama kalinya aku sempat berkontemplasi di lokasi syuting,” aku Raflesia kepada saya. “Berpura-pura kesurupan memang melelahkan, tapi setidaknya setelah itu aku bisa beristirahat.”
Selain untuk menghadapi tekanan di tempat kerja yang menuntut apa-apa serbacepat, pura-pura kesurupan juga berfungsi menghibur diri dan kawan-kawan. Ini pernah saya praktikkan sendiri. Waktu itu kelas Matematika sedang berjalan secara menyebalkan, Pak Guru menuntut para murid untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di papan secara cepat sehingga saya memutuskan bertindak heroik. Saya pura-pura kesurupan, berujung dengan diakhirinya kelas sebelum waktunya. Berakhirnya kelas lebih cepat adalah sebenar-benarnya hiburan bagi saya dan kawan-kawan sekelas.
Lantas, bagaimanakah caranya pura-pura kesurupan? Pura-pura kesurupan adalah kemampuan yang harus dipelajari, ia tak bisa kita dapatkan seinstan kemampuan mengisap puting ibu atau berak di celana. Berpura-pura kesurupan adalah kemampuan yang mesti dipelajari, sebagaimana aktor berakting marah dan sedih dan terangsang. Dibutuhkan konsentrasi yang kuat dan latihan yang berulang. Saya sendiri mendapatkan kemampuan ini dari ekstrakurikuler teater semasa SMA. Sedangkan Raflesia mendapatkannya dari menyaksikan sutradara memberikan sejumlah nasihat kepada para aktor. Teman-teman saya yang lain mempelajarinya dari buku karya Stanislavski dan video di YouTube tentang tata cara berakting.
Singkatnya, kita perlu memiliki dan melatih kemampuan berpura-pura kesurupan, sebab kita, sebagai manusia normal, perlu sekali-kali memperlamban tempo pekerjaan yang dituntut cepat selesai. Kapitalisme dan fetish-nya memang menyebalkan, dan kemampuan berpura-pura kesurupan sedikit menyelamatkan kita dari tekanan di tempat kerja. Ya, saya bilang sedikit. Kita tidak mungkin sepenuhnya selamat, kapitalisme sudah telanjur terlalu hebat, tapi sedikit penyelamat jelas jauh lebih ketimbang tidak sama sekali. Dan ternyata obat sementaranya bukan dari buku-buku Kiri, tapi jagat mistis Indonesia.
BACA JUGA Cara Menangis Palsu yang Ternyata Bisa Dipelajari dan bahasan ngalor-ngidul lainnya di rubrik ESAI.