MOJOK.CO – Kepala saya penuh akan pesona PSK di Tondo kala itu. Terbayang terus dan membuat saya semakin penasaran. Sulit menahan konak ini.
Baca dulu bagian 2 di sini: Dari Bilik ke Bilik Bagian 2: Gaya Sex Aneh dari Anak SMP di Hadapan PSK
Pukul satu siang saya duduk di ruang tamu setelah pulang sekolah dan mengganti baju. Makanan di meja makan belum saya sentuh sama sekali padahal hari itu makanannya enak-enak. Pikiran saya masih tertinggal di Tondo, di pangkuan PSK yang memukau itu.
Di meja tersedia ikan kembung dimasak dengan cabai merah, telur dadar, daun ubi tumbuk, tahu dan tempe, sayur waluh kuning bercampur ikan asin dan semangkuk besar sup brenebon. Sebanyak itu masakan memang diperuntukkan untuk seisi rumah yang saat itu ada sekitar 8-10 orang.
Rumah saya adalah persinggahan bagi perantauan dari Medan yang akan mengadu nasib di Kota Palu. Banyak di antara mereka yang menjadi guru atau bekerja sebagai PNS di beberapa instansi. Sampai kondisi mereka “baik”, ayah dan ibu yang berasal dari Medan dan berdarah Batak tulen akan mengizinkan mereka untuk tinggal di rumah kami. Tentu mereka harus berbagi kamar karena rumah kami hanya ada enam kamar. Sementara itu, tiga kamar sudah digunakan untuk keluarga saya.
Wajah ayah dan ibu saya yang berfoto di Tanah Suci terpampang di depan saya, menempel di tembok di dalam pigura berukuran besar. Mereka tersenyum melihat saya, yang duduk di kursi ruang tamu, terdiam, memikirkan sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat mereka sangat murka. Mungkin tidak sampai diusir atau ditampar karena saya anak kesayangan, tapi akan sangat membekas di sepanjang hidup mereka, dan mungkin jam bermain saya akan dibatasi, dihukum hanya boleh keluar saat sekolah saja.
Windi, PSK yang menghipnotis
Wajah Windi masih terbayang jelas di pikiran saya. Wajah yang menertawakan saya sesaat sebelum kami keluar kamar. Selama setengah jam lebih di kamar, kami memang melakukan hubungan badan, tapi dengan rasa yang aneh. Saya, sebagai anak kecil, adalah yang dijadikan permainan oleh Windi.
Tidak ada kalimat laki-laki berkuasa di ranjang. Saya hanya anak ingusan yang bodoh dalam berhubungan seks. Sudah tidak klimaks, gaya bercintanya membosankan, harus bayar lebih karena dianggap terlalu lama. Seandainya Jimi tahu, ini bisa jadi bahan tertawaan sepanjang tahun.
Saya keluar dari kamar disusul oleh Windi yang sudah mengantongi dua lembar uang 10 ribu. Sebenarnya dia hanya meminta tambahan lima ribu, tapi karena tidak ada uang pecah dan saya sok-sokan dermawan, saya memberikannya uang 20 ribu dan tentu dibalas dengan pelukan manja dan senyum. Apalagi dia adalah PSK yang baru saja berhadapan dengan anak kecil, yang tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kapan-kapan kesini lagi e, saya kasih ajar supaya ngana pintar, sewa satu jam saja biar tidak buru-buru.” Kata Windi seraya membiarkan pintu kamar terbuka dan memberi tanda ke laki-laki yang sedang memegang serok sampah di depan pintu kamar lain yang sepertinya selesai digunakan oleh tamu.
Poci
Jimi sudah duduk di sofa murah di ruang tamu. Sementara itu, Windi masih menemani dan mengantar saya sampai ruang tamu. Saya sedikit takut, jangan sampai Jimi tahu apa yang terjadi di kamar.
Untungnya Windi hanya berkata kepada Jimi, “Kau pe teman ini pasih poci dang? Masih belum tau apa-apa sama sekali, tapi bae.” Lalu dia melirik saya. Jimi hanya tertawa lalu mengajak saya pergi dari tempat itu. Saya menoleh ke belakang dan Windi sudah berpaling dari kami, berjalan masuk ketika saya dan Jimi mendorong motor dari halaman rumah hijau itu.
Poci itu sebutan untuk ‘perawan’, ‘perjaka’, atau sesuatu yang masih sangat-sangat ‘polos’, belum pernah ‘dipakai/disentuh’. Jadi, kadang poci bisa digunakan juga untuk barang yang masih baru dan disegel.
Sejak keluar dari rumah itu, saya hanya terdiam mendengar bagaimana sensasionalnya kisah Jimi bersama PSK yang menemaninya malam itu. Kisahnya sangat berbeda jauh dari apa yang saya alami.
Dia terlihat sangat perkasa sekali mengendalikan permainan di dalam kamar, yang di kemudian hari, setelah pengalaman saya bertambah, membuat saya berpikir ulang pengalaman sensasional Jimi malam itu bisa saja hanya bualannya. Malah, mungkin saja kisahnya sama menyedihkannya dengan saya.
Setiap ditanya sepulangnya kami dari Tondo, saya hanya menjawab pengalaman ini sangat berarti. Rasanya berada di dalam sebuah kamar lokalisasi bersama PSK memang berbeda sekali.
Jimi masih berusaha mengorek cerita dari apa yang saya alami, dan dia hanya mendapatkan jawaban yang sederhana, singkat, dan ala kadarnya. Saya bingung apa yang harus diceritakan dari sebuah kejadian yang cukup memalukan. Sama saja saya menyetor cerita yang bisa jadi bahan cemoohan di halte nanti, bisa digunakan berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan, dan saya tidak ingin mengalami kejadian itu. Sekalipun cupu, saya tidak mau terlihat memalukan karena tidak bisa bercinta di depan PSK dan berujung klimaks.
Makan siang yang janggal
Siang itu, salah seorang yang tinggal di rumah kami, Bang Manaf, memanggil saya dari arah ruang makan. Dia mengajak saya makan siang bersama. Dia melihat saya duduk diam menghadap foto orang tua saya cukup lama. Saya menghampiri Bang Manaf, duduk di meja makan lalu mengambil piring yang ditumpuk di sudut meja.
Sambil menyendok nasi, dia melirik saya yang masih duduk diam melirik makanan yang ada di meja. Wajahnya mendadak sendu, lalu tersenyum membalas saya yang berganti melihat wajahnya setelah bosan menatap makanan di meja yang sama sekali tidak membangkitkan nafsu makan.
“Kau kangen Papa dan Mama, kah?” Tanyanya tiba-tiba.
“Hah?” Saya kaget, bingung mau menjawab pertanyaannya.
“Jangan sedih, dang. Kau berdoa saja setiap malam. Insyaallah doamu langsung sampai ke mereka berdua, karena dari anaknya langsung, kan. Surat-surat pendek saja kalau belum bisa mengaji.” Lanjutnya sambil mengambil sayur waluh dengan ikan asin di dalamnya. Saya masih terdiam. Tidak mau membalas kalimatnya.
Saya menatapnya lagi, saya sadar orang-orang di rumah ini semuanya baik. Mereka mengerti bahwa di usia saya saat itu, ditinggal pergi kedua orang tua adalah hal yang berat, terlebih saya menjadi anak yang paling disayang kedua orang tua saya. Padahal saya sedang memikirkan Windi, PSK yang mirip Lulu Tobing.
Saya mulai mengunyah ikan kembung dengan nasi dan sayur daun ubi tumbuk. Sesekali saya mengangguk mendengar kata-kata Bang Manaf yang masih berusaha mengajak saya berbicara. Sesekali juga saya menjawab dengan singkat pertanyaannya mengenai perkembangan saya di sekolah, pergaulan di luar sekolah, dan larangannya soal jangan merokok dulu sebelum bisa cari uang sendiri.
Bayangan wajah Windi
Tiba-tiba, wajah perempuan hipster berpotongan BOB di Tondo itu muncul di tengah sensasi mengunyah ikan kembung bercampur daun ubi yang sudah mulai halus dan siap saya telan. Tawarannya untuk kembali lagi ke tempatnya kalau saya ke sana mendadak terdengar pelan di telinga saya.
Saya seperti bisa melihat lagi senyum genit khas PSK itu, pakaian serta potongan rambutnya pelan-pelan berwujud dan duduk di sebelah Bang Manaf yang mulai kepedesan. Kami seakan sedang makan siang bertiga. Dia seperti menunggu saya selesai makan untuk kemudian mengajak saya masuk ke dalam kamar.
Makan siang yang aneh. Selesai makan dan ingin segera menghindari Bang Manaf, saya memutuskan keluar rumah. Saya menuju rumah Anton.
Es sirop
Sesampainya di rumah Anton, saya langsung mengetuk pintu. Rumahnya kecil, di tengah bangunan ruko di kiri-kanannya, dengan teras mungil, dan lokasinya dekat dengan halte, berhalaman luas, ada motor butut terparkir di depannya. Seorang wanita muda membuka pintu, dia mengangkat alisnya lalu tersenyum,
“Eh, kau. Tumben siang-siang.” Tanya perempuan itu.
“Anton ada, kak?”
“Lagi tidur, tapi sebentar saya kasi bangun e.”
“Saya tunggu di halte jo, Kak. Bilang pa dia nanti saya belikan es sirup.”
Saya kemudian meninggalkan rumah itu, membeli es sirup di lapak mas Kodi, lalu duduk di halte, memperhatikan orang-orang yang lewat.
Dari kejauhan saya melihat Anton menyeberang jalan. Dia mengenakan kaos berwarna gelap dan celana pendek. Saat Anton semakin mendekat, terlihat bola matanya masih sembab layaknya orang baru bangun tidur.
Belum juga dia duduk di halte yang terbuat dari semen dan dilapisi tegel, dia bilang, “He tailaso, ba apa kau suruh saya bangun siang e?”
Saya menyodorkan es sirup di dalam plastik, barang dagangan mas Kodi, dan dua batang rokok Gudang Garam yang saya beli di tempat Hendra.
“Pi Tondo kita, Ton?”
“Pe mai, kapan, siang-siang bagini?” Balasnya, dengan wajah setengah kaget.
“Tidak, tidak sekarang juga, besok malam bagaimana? Nanti saya bayar sewa motornya mas Kodi.”
Niat bulat kembali ke Tondo
Anton masih terdiam, menghirup es sirup, menatap saya dengan heran dan seperti menahan tawa. Dia lalu menghidupkan rokok, mengisapnya dengan wajah mengantuk bercampur tidak percaya dengan ajakan saya.
“Bukannya kau so ke sana kemarin dengan Jimi?”
“Iyo, tapi saya penasaran dengan satu PSK di sana, cuma te usah kau bacerita e, nanti saja kalo so selesai dari sana.”
“Kong, kapan kita pigi sana? Kalau malam ini saya te bisa, besok malam?”
“Iyo, besok malam jo.”
“Tapi anu, so menipis sa pe doi ini, cuma tinggal lima ribu isi dompet.”
“Tenang saja, bisa diatur, saya kasih tambah lima ribu e, supaya kau dapa satu kali main.”
“Buuh hamma, memang kau e. So birahi sekali sama ini cewe. Oke, berangkat kita besok!”
Tondo di era 90-an
Menurut informasi yang sangat pendek di Wikipedia, nama Tondo adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pada zamannya, ada candaan yang muncul bagi mahasiswa yang hendak berangkat ke kampus Tadulako. Begini, saya jelaskan dulu.
Di Palu era 90-an awal, angkot itu disebut taksi sedangkan taksi disebut taksi argo. Ingat baik-baik, ya.
Nah, setiap orang yang mau naik taksi akan bertanya dulu kepada supirnya. Misalnya, si penumpang menyebut nama Jalan Gatot Subroto, maka si supir akan menyesuaikan penumpang lain yang mengarah ke tujuan yang sama. Apabila tidak ada, maka si penumpang akan ditolak dan akan mencari taksi lain.
Sementara untuk mahasiswa Tadulako yang hendak ke kampus, pasti mayoritas akan bilang Tadulako. Mereka enggan menyebut Tondo. Nama ini yang sering jadi bahan ejekan kalau ke Tondo Kanan (dari arah Kota Palu) berarti ke kampus, kalau ke Tondo Kiri berarti lokalisasi.
Cara yang sama juga berlaku kalau mau ke Pantai Talise. Di sana masih ada pelacuran liar, walaupun tidak sebanyak Tondo. Jadi, kalau mau naik taksi ke Talise, harus kamu harus menyebut detail. Mau ke Talise pantai tempat orang jual pisang goreng karena banyak penjual pisang goreng dan saraba di sore dan malam hari. Sementara di malam hari, para PSK akan muncul dan mangkal di seberang jalan tempat para penjual pisang goreng.
Di era itu memang banyak titik-titik kenakalan, khususnya persoalan syahwat. Misalnya di taman GOR. Gelapnya taman ketika malam akan dimanfaatkan beberapa orang yang ingin menjual jasa pelepas birahi atau mereka yang berpacaran dan memanfaatkan kegelapan malam serta rimbunnya pepohonan untuk saling meraba atau bahkan saling menggesekkan alat kelamin.
Padahal taman GOR dekat dengan Kantor Polisi, Gedung Siranindi, dan pusat pertokoan. Silakan googling informasi wilayah di sekitar taman GOR dan tiga tempat tadi supaya saya tidak terlalu panjang menjelaskannya.
Ke Tondo lagi
Anton dan saya sudah memacu Yamaha Crypton milik Mas Kodi, melaju melewati jalan raya di depan SMA Negeri 1 Palu. Sepulang sekolah tadi saya susah payah merayu Mas Kodi agar kami bisa menyewa motor kesayangannya ini dengan alasan knalpot Force One miliknya yang saya pakai sebelumnya terlalu berisik. Saya jadi malu ketika berkeliling Tondo.
Mas Kodi sedikit keberatan karena sebenarnya Anton yang mengemudi motor kali ini terbilang masih belum lancar. Tapi, karena percaya saya akan bertanggung jawab akhirnya Mas Kodi mengizinkan dan meminta kami sudah pulang maksimal pukul 10 malam.
Dalam perjalanan menuju Tondo, Anton masih terus bertanya bagaimana kesan pertama saya bersama PSK tempo hari. Dia penasaran seperti apa pilihan saya, dan dia tidak percaya saya tidak dibodohi oleh perempuan yang bekerja di sana melihat seorang anak ingusan datang ke lokalisasi. Walaupun tinggi saya sudah seperti anak SMA, wajah saya tidak bisa berbohong. Masih mulus tidak berjerawat dan masih sangat kelihatan anak ingusan.
Saya bertanya kepada Anton apakah dia bawa tisu mejik seperti yang dilakukan Jimi? Dia menjawab dengan angkuhnya.
“Beehh… tidak perlu bagitu, kalau keluar cepat tambah lagi no, masa cuma satu kali? Kasih tambah lima ribu mau itu cewek. Apalagi saya pe tonti nambaso! Ta putih itu mata cewek saya bikin. Hehhh!”
Nambaso itu ‘berukuran sangat besar’. Anton ini memang masih ada keturunan Arab. Di tongkrongan dia salah satu yang sering membanggakan ukuran penisnya dan sering diajak taruhan sebatang rokok untuk besar-besaran penis.
Melibas jalan baru
“Memangnya bisa dua kali dang kalau di situ?” Tanya saya penasaran.
“Bisa bodo! Kau bayar 10 ribu. Kalau waktunya masih ada, kau nego tambah lima ribu bisa itu satu kali lagi, jangan terlalu bodo kau ini!” Jawabnya setengah mengejek.
Kami sudah semakin dekat dengan Tondo ketika dari kejauhan samar terlihat cahaya komplek lokalisasi itu. Saya sudah bisa melihatnya dari pinggir jalan raya karena beberapa hari lalu baru saja ke sini dan sudah hafal akan belok di mana. Tapi kali ini berbeda, Anton tidak menuju jalan masuk menuju Tondo yang saya lewati kemarin.
Tidak jauh dari jalan masuk yang pertama, Anton baru membelokkan motor, jalannya lebih kecil dan hanya bisa dilewati dua motor yang berpapasan. Dari arah berlawanan saya melihat ada lampu motor berjalan ke arah kami.
“Rasanya tidak lewat sini, kong dia pe jalan rusak bagini, bergelombang macam naik gunung..”
“Tidak usah banyak cerewet kau. Ini sudah jalan paling benar, masuk tidak bayar, daripada lewat depan disuru bayar harga mobil lebih bae untuk beli rokok satu bungkus to?” Jawab Anton.
Jalanan yang saya lewati ini lebih rusak dan bergelombang. Rumput-rumput liar lebih tinggi dan ada beberapa pohon kaktus kecil, mirip seperti area perbukitan dekat pantai di Kota Palu.
Bersiasat
Kami sampai di sebuah rumah cukup besar. Saya pikir ini tujuan utama kami tapi ternyata jalan ini berujung pada halaman belakang sebuah rumah dan kita harus mengitari sisi sampingnya hingga masuk ke jalan di dalam komplek.
Anton berhenti di sebuah warung rokok di dekat rumah itu. Tidak jauh dari situ saya melihat rumah berwarna kuning dengan cahaya lampu cukup terang sehingga memberi kesan bersih dari kejauhan.
“Kau bawa uang berapa? Saya minta dua ribu untuk beli Sempurna (Sampoerna),” kata Anton.
Saya merogoh kantong, mengeluarkan dua lembar uang 10 ribu, dua lembar uang lima ribu dan beberapa lembar uang 500. “Beehhh! Mau bakeju berapa kali kau e? Pe banyak uang bosss!” tambahnya.
Anton selesai membeli rokok dan melihat saya penuh semangat. “Jadi, ke rumah yang mana kita ini? Mana kau pe idola itu yang bikin kau kesini lagi?”
Saya lalu mengajaknya ke warung kopi yang kemarin saya datangi bersama Jimi. Karena baru sekali kesini saya masih menebak-nebak arah yang membuat kami sedikit berkeliling di komplek lokalisasi. Sampai akhirnya saya melewati rumah hijau yang legendaris bagi saya itu.
Kami kemudian berbelok ke kanan setelah rumah itu dan saya langsung memalingkan wajah ke sisi kiri jalan untuk melihat rumah tempat perempuan berambut BOB memanggil saya. Sepi. Tidak ada aktivitas sama sekali terlihat dari luar.
Maka kami tiba di warung kopi. Saya dan Anton duduk tanpa melepaskan helm ciduk yang kami pakai, masih dengan rokok yang diapit di jari tangan kami masing-masing.
Bingung
“Mau bapesan dulu atau batunggu orang kah ngoni?” Kata si bapak pemilik warung kepada kami. Saya melihat raut mukanya, seperti baru bangun tidur, kusam, di bawah cahaya lampu 10 watt berwarna kuning.
Saya menatap wajah Anton, menggunakan helm ciduk biru tua dan raut wajah yang kebingungan mau membalas pertanyaan si pemilik warung.
“Kopi susu saja, Pak. Kau minum apa, Ton?”
“Es sirop oren saja, Pak” jawabnya.
Dulu, di Kota Palu, anak sekolah tidak pernah menjelaskan jenis buah atau rasa apa kalau jajan minuman. Seperti kebiasaan, akhirnya kami hanya menyebut sirup oranye, hijau, atau fanta (sebagai ganti kata merah), memang rasanya mirip Fanta dengan kualitas buruk.
Masih dengan helm di kepala, Anton bertanya dengan suara cukup keras.
“Jadi bagaimana kau pe PSK idola itu. Jangan bilang kau lupa tempatnya e tailaso.”
“Sabar sadiki tailaso, sebentar, kalau kau mau tinggal saya di sini pigi jo bakeju. kong te usa kau keras-keras babicara.”
Tidak berapa lama si bapak pemilik warung datang membawakan minuman, lalu bergegas kembali ke belakang. Dia seperti buru-buru menonton kembali acara di televisi. Baru saja kami hendak minum, bapak itu berbicara agak keras dari balik etalase berisi tisu dan rokok.
“Eh, kau yang kemarin kemari to? Sama temanmu yang pakai celana ketat itu to? Dia pe rambut kariting?”
“Iyo, Pak, berapa hari lalu saya kemari,” balas saya.
Saya kembali fokus, sedari tadi pikiran saya terpotong dengan dia manusia ini; Anton dan si bapak. Anton orang yang ceplas-ceplos, tidak setenang Jimi, dan sepanjang jalan sampai kami di sini dia sudah cerewet bertanya kita akan seperti apa begitu sampai di Tondo. Sementara saya, orang yang ikut arus, kalaupun memang sampai di sini tidak ketemu yang dicari, pilihannya pulang atau mencari alternatif lain, PSK maksudnya.
Menggali informasi
Malam ini saya berpikir, seandainya saya bercinta, lalu masih saja seperti kemarin, lalu apa gunanya saya datang dan membayar? Tapi saya berpikir lagi, apakah ini yang disebut sebagai pengalaman, yang bagi sebagian orang harganya jauh lebih mahal dari tarif sebesar 10 ribu sekali berhubungan badan dengan PSK. Saya gundah, berusaha bersikap sok dewasa, takut rugi uang tapi takut kehilangan pengalaman.
Saya memberanikan diri bertanya, sebisa-bisanya anak usia 13 tahun kepada bapak pemilik warung.
“Rumah ujung, yang depan rumah merah itu ada cewenya, kah? Banyak?”
“Yang mana, yang te ada pagar itu kah?”
“Iyo.”
“Oh, ada biasanya cewe di situ, tapi te banyak.”
“Oo.”
“Kenapa, cewek yang kau maksud ada di situ?” Anton menyambung obrolan.
“O, yang mana, rambut pendek apa yang panjang ada tatonya itu?” Tanya si bapak lagi.
“Yo, adalah. Cuma batanya saja, Pak.”
Kami bergegas pergi dari warung setelah obrolan singkat dan minuman kami habiskan. Masih dengan helm di kepala, kami jalan ke arah sebaliknya, tidak langsung menuju rumah tempat perempuan incaran saya itu. Anton semakin gelisah dan tidak berhenti mengoceh di atas motor, berusaha mendapatkan kepastian kami berdua akan ke mana.
Memberanikan diri
Perasaan saya semakin bercampur antara kesal, bersemangat, gugup, dan takut kecewa lagi. Mendengar omongan Anton dan berusaha meyakinkan diri untuk segera menuju tempat yang saya tuju; rumah tempat perempuan berambut BOB itu.
“Ton, kau drop saja saya di rumah tadi e, kong kau pigi sendiri bacari PSK, nanti uang lima ribu saya kasihkan.”
“Rumah mana? Yang dikasitau bapak itu tadi?”
“Iyo. Kau so dapat tempat to? So tau mau kemana?”
“Sudah, tadi kita lewat dan banyak cewe dudu-dudu di depan, behhh, macule-macule.”
Saya menoleh ke belakang, melihat motor Crypton yang dikendarai Anton makin menjauh. Mulai banyak motor lain lalu-lalang, sesekali mereka memperhatikan saya yang berdiri di depan sebuah rumah sambil memegang helm, rumah berpagar setinggi lutut hingga terlihat tidak ada pagar apabila lewat di depannya.
Rumahnya tidak begitu besar kalau dibandingkan dengan rumah hijau yang saya datangi kemarin. ada tiga anak tangga kayu yang mengarahkan kita ke pintu depan rumah. Saya melangkah penuh percaya diri, masuk ke dalam rumah itu.
Ada seorang wanita yang terlihat duduk di ruangan bagian tengah. Apakah dia salah satu PSK di sana?
Saya dapat melihatnya jelas karena area ruang tamu yang tidak begitu besar. Saya menegurnya, dia sedang asik memotong kuku di atas sebuah kursi kayu, mengenakan kaos ketat dan celana jeans yang sudah seperti mau meledak. Saya menegurnya, dia balas menoleh lalu meminta saya menunggu sebentar di ruang tamu. Sudah seperti tuan rumah yang memberikan sambutan standar kepada tamu.
Akhirnya!
“Bacari sapa ngana? Ada bakujanji kah?”
Wanita tadi sudah berdiri di depan saya yang baru duduk dan membakar sebatang rokok lagi yang rasanya sudah semakin tidak enak karena terlalu banyak mengisap rokok karena tegang sejak sedari awal berada di Tondo.
“Tidak baku janji, cuma mau bacari cewe yang rambut pendek. Segini.” Saya menunjukkan ukuran potongan rambut PSK yang bikin saya terhipnotis dengan telapak tangan yang saya dekatkan ke bawah telinga saya.
“Oh, tunggu jo situ, ada, sebentar lagi dia kaluar e,” balasnya.
Saya mengiyakan, kembali duduk dan memaksakan diri mengisap rokok, duduk di kursi ruang tamu berbahan kayu yang dilapisi busa murah berbalut kain berwarna merah tua.
Rokok saya sudah mau habis, rasanya lama sekali menunggu di kondisi yang tidak karuan seperti ini. Semua berasa tidak benar seperti yang saya katakan tadi, belum lagi kalau sampai Anton tidak mendapatkan apa yang dia cari, lalu buru-buru menyusul kesini, rasanya pasti tidak enak kalau dibuat terburu-buru.
“Hehhh, kau!”
Dari arah ruang tengah, saya mendengar suara lalu melihatnya berjalan, masih menggunakan celana pendek seperti kemarin. Bedanya, kali ini dia menggunakan kaos ketat lengan pendek sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Seperti model dalam hati saya. Rambutnya masih sedikit basah. Sepertinya habis menerima tamu.
Lulu Tobing milik saya
Kalau kemarin mirip Lulu Tobing, hari ini mirip Elma Theana dengan potongan BOB. Saya melongo melihatnya berjalan semakin mendekat, suara gesekan sandal jepitnya terdengar jelas ketika dia melangkah.
Dia langsung duduk di sebelah saya, kakinya disilang, tubuhnya sedikit miring hingga lutut kami bersentuhan, tangan kanannya langsung diletakkan di sandaran sofa hingga menyentuh pundak, wajah kami hanya berjarak dua jengkal. Saya bisa mencium bau parfumnya seperti parfum perempuan pada umumnya. Wangi parfum PSK itu tidak begitu spesial tapi wajah dan tatapan nakalnya mampu menyihir saya malam itu.
“Kenapa kau bale kemari? Penasaran kah?”
“Iyo, saya kebetulan sama teman, cuma dia pigi tempat lain, saya minta diantar ke sini.”
“Kenapa ke sini? penasaran to kau?”
“Yo, te apa-apa, kesini saja.”
“So mau sekarang kah? Saya kasih bersih kamar dulu sebentar.”
“Yo, te apa-apa.”
“Yasudah, kau tunggu sebentar e.” Dia bergegas berdiri, sambil mencubit pelan paha kanan saya dan berlalu menuju kamar di bagian tengah.
Gelisah dan semakin canggung
Saya bakar sebatang rokok lagi untuk menghilangkan rasa canggung. Entah sudah berapa banyak rokok terbakar malam itu. Saya mengubah gaya duduk berkali-kali, menghadap ke jalan, melihat ke ruang tengah, melihat lukisan yang ditempel di dinding dan beberapa hiasan kecil yang dipajang di sudut ruang tamu di atas sebuah meja kecil kayu.
“Hei, sini jo masuk.”
Dari arah ruang tengah dia memanggil sambil menganggukan kepalanya. Saya terdiam sebentar, mematikan bara rokok di atas asbak kayu yang sudah penuh berisi puntung rokok. Dengan keyakinan penuh melangkah masuk, masih dengan perasaan yang tidak yakin dengan apa yang akan dilakukan.
Dia menunggu saya di depan pintu kamar. Kamar itu yang separuhnya kayu, bersebelahan dengan ruang tamu dan ruang tengah, sementara ada dua kamar lagi di seberangnya yang pintunya bisa terlihat dari ruang tamu. Di depan pintu dia menunggu saya masuk ke kamar sambil memegang gagang pintu lalu dia pun menyusul masuk ke dalam kamar. Setelah menutup dan mengunci pintu dia berpaling.
“Duduk jo, jangan cuma badiri. Nanti badirinya kalau so mau main.”
“Mana tamu mu? Lewat jalan belakang kah?”
“Tamu? Tamu apa?”
“Itu, kau habis mandi?”
“Memang habis mandi karena harus mandi to, supaya wangi. Bukan karena habis ada tamu.”
“Oo, saya kira dang, kau habis ada tamu.”
“Tidak. Te ada kalau jam sekarang, kau itu yang pertama.”
“Kau mau minum kah? Itu minum saja, ambil air dari teko itu.”
Dia bilang begitu sambil mata dan alisnya mengarahkan saya agar melihat teko plastik di atas meja triplek, di samping lemari kayu yang ada kaca besar menempel di sampingnya.
Kamar tempat kerja PSK
Kamar itu kecil. Terlihat dari tempat tidurnya yang lebih kecil dari yang saya lihat di rumah hijau kemarin. Cukup untuk berdua, tapi tidak akan cukup dipakai untuk orang yang tidurnya lasak.
Ruang kerja PSK itu hanya diisi lemari kayu, meja, tempat tidur, kursi kecil yang difungsikan untuk duduk merias diri di depan kaca, serta gantungan baju ada di balik pintu kayu. Rumah ini memang masih terlihat lebih seperti rumah tradisional karena separuh bangunan bawahnya menggunakan tembok semen dan bagian tengah hingga atas menggunakan kayu.
Dia duduk bersila di atas tempat tidur membelakangi pintu. Sebaliknya, saya duduk membelakangi sekat tembok semen pembatas area bilas di ujung bagian kaki tempat tidur. Tatapannya tidak lepas melihat saya, sesekali tangannya memegang paha kanan saya sembari kami mengobrol.
Konak!
“Kau dapa cewe di mana kemarin?”
“Di situ, dekat perempatan.”
“Yang rumah hijau itu atau sebelahnya yang ada lampu Anker?”
“Ya di situ pokoknya.”
“Beehh, pake rahasia. Kong, enak? Kau senang?”
“Ya begitulah,” saya sedikit malu mendengar pertanyaannya.
“Eh, jangan-jangan kau te main, cuma bajalan? Atau te bisa main?” Nada bicaranya meninggi, menahan senyum.
“Main, cuma biasa saja. Eh, kalau sama kau, saya harus bayar berapa?”
“Kenapa tidak tanya dari awal? Kalau sama saya 20 ribu.” Dia tertawa. “Cuma kau bisa dua kali dang.” Tambahnya lagi.
“Mo sekarang kah?” Tanya saya.
“Eh, kenapa kau yang ba ajak? So napsu sekali kah?”
“Nanti kau lama lagi. Siapa tau ada tamu.”
“Tidak anak kodi, saya biasanya jam delapan atau sembilan baru di depan, sekarang baru jam tujuh lebih. Kong ngapa kau pe tonti so natodo itu.”
Dia lalu tertawa, sementara saya melihat ke arah resleting celana saya. Saya baru sadar, celana jeans yang saya pakai memang menggembung bagian resletingnya.
Yah, tapi karena model celananya bertipe Baggy, bukan karena saya menahan konak. Tapi, sebetulnya, memang konak juga, sih.
BERSAMBUNG….
BACA JUGA Saya Lahir di Kampung PSK dan Menyadari Tatanan Masyarakat yang Unik dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno