Kalau ditanya hal apa yang paling menakutkan buat perempuan, jawabannya bukan ketemu mantan yang udah jadi hot daddy, lipstik dijadiin krayon sama anak, apalagi kebangkitan komunisme. Itu semua nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan cocor bebek.
Daripada pembaca terlanjur salah kaprah mengira yang kita bicarakan ini adalah sejenis tanaman yang begitu populer dalam pelajaran IPA, sebaiknya saya jelaskan lebih dahulu makhluk seperti apa cocor bebek yang dimaksud dalam tulisan ini.
Cocor bebek atau spekulum adalah alat medis yang bentuknya seperti cocor bebek dan terbuat dari stainless steel yang digunakan untuk membuka vulva atau vagina. Boleh kok dijeda dulu buat gugling, biar lebih menghayati tulisan ini ke depannya.
Sudah tahu gambarannya, ya? Mengerikan? Tidak? Nah, barangkali harus tahu cara kerjanya dulu biar lebih ghreghet. Cocor bebek dimasukkan ke dalam vagina dalam keadaan miring dan tertutup, setelah itu diputar, kemudian dibuka, dan dikencangkan bautnya. Baru pemeriksaan siap dilakukan.
Cocor bebek biasanya digunakan untuk pemeriksaan seputar rahim, seperti IVA test (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat, untuk screening dini kanker serviks), pemasangan IUD (intraurine device) alias KB spiral, kuret (pembersihan janin yang gugur), dan sebagainya.
Sebenarnya, ketika sudah diperiksa, rasanya biasa saja, tapi sensasinya bisa jadi mengerikan buat sebagian orang. Mbak Thengu, misalnya, perempuan beranak satu ini mengungkapkan perasaannya menghadapi cocor bebek saat IVA test. “Bunyi sekrupnya pas dikencengin itu lho, kayak musik film horor,” tuturnya. Lain lagi dengan Jeung Pethak, ia merasa paling horor justru pada saat si cocor bebek dimasukkan. “Dingin, Sist. Dingin yang mengerikan,” ungkapnya singkat dengan pandangan menerawang.
Meskipun rasa sakitnya memang tidak sebanding dengan melahirkan, perkara cocor bebek ini cukup pelik. Dokter atau tenaga kesehatan biasanya menyarankan pasien untuk tarik nafas dan rileks. Namun, bagaimana bisa rileks kalau ada benda asing yang masuk ke tubuh kita? Meski sudah dengan rela menyetujui tindakan ini, rasa sakit masih tetap menghantui.
Sudah begini kok ya masih ada yang bilang korban pemerkosaan bisa menikmati saat diperkosa. Heh, situ minumnya air sungai Citarum, ya? Pikirannya kotor betul.
Jadi, kalau ada lelaki yang bilang “Perempuan nggak pernah ngerasain sunat, sih”, suruh dia baca tulisan ini. Biar dia tahu penderitaan perempuan? Nggak, biar traffic-nya Mojok naik.
Lalu belakangan ini kan juga ramai soal poster kampanye KB yang berslogan “Banyak Anak Banyak Masalah”. Sebenarnya nggak masalah sih asal ada dana cukup buat menghidupinya. UUD, ujung-ujungnya duit. Wqwqwq. Duit aja nggak cukup juga sih, karena untuk mengasuh anak juga perlu waktu dan yang terpenting perhatian orang tua. Jadi ya bebash mau punya anak berapa, asal orang tua komitmen untuk mengasuh anak dengan sebaik-baiknya.
Kalau ada yang bilang “Ah, orang zaman dulu punya anak 14 juga anaknya bisa hidup dan sukses semua”, sini aku kasih tahu yes. Selain lahan kebun dan sawah belum jadi hotel dan apartemen, zaman dulu belum ada mom wars macem sekarang, Shaaay. Nggak hanya Islam, ilmu parenting pun ada banyak mazhabnya, dan beberapa penganut garis keras mazhab tersebut akan siap memborbardir kita jikalau dirasa nggak sealiran.
Belum lagi, nanti pasti akan masuk berita dengan judul bombastis macam “Wow, Pasangan Ini Punya Anak Selusin Dapat Bonus Dua”, atau “Pacaran, Kawin, Tekdung 14 Kali, Pas Ditanya Rasanya Gimana, si Istri Bilang Ampe Udah Nggak Berasa Lagi”. Belum lagi akan dihadapkan pada kejamnya komen netizen yang budiman semacam “Wah, jalannya udah bisa buat puter balik kontainer tuh”, “Itu apal nggak nama anaknya siapa aja?”, “Anak terakhir ngelahirinnya tinggal bersin”, dan komen-komen seksis lainnya.
Kalau sekiranya kamu kuat menghadapi hal-hal tersebut, niscaya kamu sudah siap pula menghadapi persoalan lainnya.
Semua kembali lagi ke keputusan masing-masing keluarga. Mau punya anak banyak, silakan. Siapa tahu kayak Gubernur Sumbar, punya anak 10 dan semuanya hafal Al-Quran. Atau seperti Gen Halilintar, keluarganya seru dengan anak 11 orang.
Kalau merasa punya anak satu aja udah pushyiaaaang dan selalu merasa butuh me time terus, apalagi bawaannya urung-uringan kalau lihat tumpukan piring kotor dan badan yang nggak keurus, KB bisa jadi pilihan. Kalau takut mau IUD, enggan suntik rutin, atau nggak telaten minum pil, bisa pilih KB sarung.
Buat bapak-bapak, kalau sungguhan pria sejati dan sayang istri, jangan egois nggak mau pakai sarung. Perempuan itu sudah hamil, melahirkan, menyusui, masih harus diobok-obok lagi untuk pasang IUD. Sebagian pasang IUD karena si bapak nggak suka pakai sarung.
Padahal, bukannya pakai sarung itu enak ya, Pak? Selain menghindari masuk angin, juga jadi kelihatan NU banget. Eh, ini sarung gajah duduk apa sarung belalai gajah?