Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pramoedya Ananta Toer dan Soeharto: Blora yang Berjarak 115 Kilometer dari Astana Giribangun

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
6 Februari 2025
A A
Pramoedya Ananta Toer dan Harto: Di Bawah Kokangan Senjata MOJOK.CO

Ilustrasi Pramoedya Ananta Toer dan Harto: Di Bawah Kokangan Senjata. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Lahirnya Mas Tommy

Jalannya Operasi Mandala itu sendiri memang bertepatan dengan lahirnya putra tercinta Jenderal Harto yang kemudian dia beri nama Hutomo Mandala Putro atau Tommy yang sebelum esai ini terbit pada Februari 2025, saya mulai lihat Mas Tommy menampakkan diri lagi di publik dengan “senyuman yang khas”.

Jadi, Hutomo Mandala Putra selalu ditempatkan Harto sebagai ancer-ancer. Seharusnya, demikian Kompas menulis, “Presiden yang ketika itu berpangkat Mayor Jenderal (Brigadir Jenderal, koreksi penulis) dan sebagai Panglima Komando Mandala berangkat ke Banggai tanggal 14 Juli 1962. Tapi untuk menunggu kelahiran Tommy, Pak Harto berangkat tanggal 15 Juli, setelah Tommy lahir”.  

Banggai yang disebut adalah Kepulauan Banggai, tepatnya di Teluk Peleng yang menjadi rendezvous atau tempat pertemuan pasukan/armada gabungan RI. Sementara, pusat komando berada di Makassar.

Betapa heroik, bukan? Seorang ayah yang penuh kasih, seorang perwira tinggi yang penuh cinta keluarga, mendahulukan persalinan sang istri yang kalut dan waswasnya sama dengan medan tempur, seorang pemimpin pasukan yang menjalankan mandat negara untuk memimpin suatu proyek keamanan bernama “Operasi Mandala”, suatu proyek kedaulatan negara kesatuan bernama “Operasi Trikora”. 

“Bu Harto waktu itu sedang mengandung tua, malamnya diperkirakan akan melahirkan, terpaksa saya menunggu dulu …. begitu lahir, terus saya berangkat melanjutkan memimpin satuan gabungan tersebut … Saya namakan dia Tommy Mandala Putera, lahir pada saat saya akan berangkat memimpin operasi gabungan itu.”

Ketika Pram “menyelam”

Pramoedya Ananta Toer, pada 7 Juli 1962, setahun setelah keluar dari penjara Penguasa Perang Daerah Angkatan Darat di Cipinang atas advokasinya pada peristiwa pengusiran setengah juta warga Tionghoa yang tinggal di perdesaan Republik Indonesia, memasuki Irian Barat dengan sebuah esai antropologis di koran Bintang Timur halaman 1 berjudul “Antara Tahun 1922-1933 di Irian Barat”. 

Alih-alih berkisah heroisme “pertempuran” atas nama “pembebasan Irian Barat”, Pram malah menyelam lebih jauh ke tahun 20-an, bagaimana ide kolonisasi pertama kali muncul di kepala Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum. 

Tentu saja, ide sang Gubjen itu muncul karena bisikan tokoh politik etis bernama C. Lulofs; seorang pengarang, jurnalis Java Bode yang sekaligus pejabat Asisten Residen yang diperbantukan pada Algemeen Secretarie. Lulofs sendirilah yang ditunjuk Graaf sebagai residen Irian Barat pertama.

Untuk mendapatkan nuansa, saya kutipkan 2 paragraf pertama tulisan Pramoedya Ananta Toer tentang Irian Barat yang saat publikasi esai ini, Brigadir Jenderal Soeharto sedang memimpin pasukan gabungan yang bersabung nyawa memimpin Operasi Mandala:

Paragraf yang dingin

“Siapakah mengira, bahwa Irian Barat antara tahun 1922-1923 pernah djadi residensi? sebuah daerah seluas 11 kali negeri belanda, dengan penduduk 1/30 djumlah penduduk Nederland! Sebuah daerah seluas itu dan dengan penduduk setipis itu dlm perkembangan ekonomi pasti kekurangan tenaga manusia. Berbagai djalan telah ditempuh baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun organisasi2 partikelir untuk memungkinkan kolonisasi di sana, tapi sia2. Pemerintah Hindia dalam usahanja ini bekerdja sama dengan maskape minjak untuk menghidap minjakbumi. Tapi industri jang sedianja diharapkan utk menarik tenaga manusia ke Irian Barat, tak dapat memenuhi apa jang direntjanakan dan diharapkan.

“Karena keadaan ekonomi jang kurang menguntungkan bagi kantong Hindia Belanda, sekalipun menurut taksiran kasar, Irian barat mengandung reservoir dunia, membuat Irian Barat dibiarkan merana dalam keadaannja. Bagaimana kurang tahunja dunia tentang Irian (bukan hanja Barat) jang tidak menguntungkan kantong pendjajah ini, nampak dari kekagetan dunia waktu didapatkan oleh penjelidikan darat dan udara, bahwa 300 km dari perbatasan Irian Barat, jaitu di Irian Timur, terdapat sebuah dataran tinggi, jang sangat luas, dan dengan 300.000 orang penduduk jang telah madju dalam pertanian. Dan ini terdjadi pada bulan Maret–Juli 1933. Di Irian Barat sendiri, kemungkinan sematjam ini ada. Dan selama mereka itu tidak dapat menguntungkan kantong Hindia Belanda atau maskape monopol, mereka tidak pernah akan ditemukan”.

Dua paragraf Pramoedya Ananta Toer itu sangat dingin. Tak ada letupan heroisme, tak ada nyalak tanpa putus-putus senjata-senjata berat dari pertempuran di front-front hutan raya dan garis pantai Irian Barat. 

Pramoedya Ananta Toer, seorang pemimpin lembaga sastra di Lekra, tampil seperti seorang analis ekonomi politik. Diksinya bertabur angka, kalkulasi, dan kalender. Pram berbicara potensi yang dalam bahasa propaganda sangat tak menarik ketimbang “Bu Harto waktu itu sedang mengandung tua, malamnya diperkirakan akan melahirkan, terpaksa saya menunggu dulu…. Saya namakan dia Tommy Mandala Putera, lahir pada saat saya akan berangkat memimpin operasi gabungan itu.”

Menjual Papua

Setelah Irian Barat berhasil direbut, setelah poin kedua dari isi Trikora, “mengibarkan sang saka merah putih di Irian Barat” berhasil dijelmakan pada 1 Mei 1963 bersamaan dengan persiapan Indonesia menyelenggarakan olimpiade olahraga negara-negara Asia Afrika bernama Ganefo, tak ada yang menduga dan mengalkulasi, pemerintahan Sukarno yang sangat powerfull itu jatuh mengenaskan.

Iklan

Yang lebih mengejutkan lagi, dan ini tak ada yang menduga dan mengalkulasi, perwira yang diangkat Mayor Jenderal A. Jani menjadi Panglima Operasi Mandala di Istana Merdeka atas nama Presiden Panglima Tertinggi APRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat, keluar sebagai penguasa baru setelah peristiwa yang dalam bahasa kemarahan Pramoedya Ananta Toer yang tertahan: “membunuhi pribumi melebihi jumlah yang dihasilkan dari perang Vietnam”.

Nama dan sosok yang sama pula yang kemudian mengeluarkan kebijakan pertamanya setelah mendapatkan kekuasaan dari sebuah operasi yang disebut Pram “melakukan pembunuhan terbesar dalam sepanjang sejarah umat manusia” memberi konsesi (baca: menjual) gunung emas dan tembaga Irian Barat atau Irian Jaya atau Papua kepada “maskape” Amerika Serikat bernama PT Freeport Indonesia yang tak lain adalah perusahaan swasta Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap.

Apa yang disampaikan Pram dalam esainya yang dingin pada 1962 itu, “Irian Barat”, seperti membaca tindakan panglima operasi dari salah satu kesatuan elite Angkatan Darat yang saat Operasi Mandala bernama Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) yang kemudian diubah jadi Komando Strategis Angkatan Darat atau Kostrad pada bulan kemerdekaan tahun 1963 atau operasi selesai dengan berhasilnya poin pertama Trikora: “mencegah Belanda membentuk negara boneka di Irian Barat”.

Mesin Harto

Sementara itu, Pram dan jutaan manusia kiri, baik dari anggota PKI maupun pendukung Sukarno dibariskan ke lubang tembak, ke liang-liang gelap di antero Jawa Tengah, Timur, Bali. Sementara yang lain-lain disekap di penjara-penjara busuk dan diangkut ke pembuangan dengan nama dari akronim yang terdengar aneh dan mekanis: Inrehab, Instalasi Rehabilitasi. 

Mengapa Inrehab, mengapa bukan permukiman. Keanehan yang juga dirasakan jurnalis Sindhunata saat diajak “toering” bersama-sama rombongan Pangkopkamtib Jenderal TNI Soemitro ke Pulau Buru pada 1977.

Pramoedya Ananta Toer menggambarkan wajah Angkatan Darat yang sepenuhnya menjadi mesin Harto mendapatkan kekuasaan dengan banjir darah itu dengan metafora yang menyayat. Sewaktu membacanya pertama kali pada peralihan abad milenium, tak pernah terlupa paragraf satu ini, sebuah paragraf yang menohok dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid 1 halaman 2, 4, dan 5, bagaimana wajah Angkatan Darat Republik Indonesia setelah Dekrit Presiden 59 terlebih lagi usai massacre 65:

“17 Agustus 1969. Kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia … Betapa pun terhina dan dihina tapol RI ini, umumnya masih tahu dan ingat kebersihan yang pernah diajarkan oleh orangtua dan sekolah dasarnya. Begitu memasuki ruangan yang ditunjuk, ruangan di mancung hidung haluan di bawah dek, kontan balik kanan jalan, hidung disumbat. Ruangan itu penuh bukitan kotoran manusia. Kapal ADRI XV–kapal yang masih dioporasikan! Ai! Anak cucu bahari! Genangan air kotoran ternyata menjelma jadi rawa lumpur. Saluran-saluran pembuangan pampat semua. Setan pun mungkin takkan tahu di mana sesungguhnya lubang-lubang pembuangan itu. Bila haluan terangkat ombak, air rawa buatan itu menerjang bendul-bendulnya dan membanjiri ruangan yang ditunjuk untuk kami…. Kapal kami terus terengah-engah, berderak-derak. Meluncur cepat, secepat bersepeda santai keliling kota. Kadang mogok, berhenti, jadi permainan ombak di tengah laut–kapal kami, kapal negara kepulauan terbesar di atas muka bumi!”

Di Boven Digoel

Pram yang marah memang tak mengumpat kasar. Dia mengisahkan cerita di atas kapal agar pembaca bisa menangkap pesan, betapa tainya (kapal) Angkatan Darat Republik Indonesia itu.

Setelah itu, Pramoedya Ananta Toer dan ribuan manusia kiri macam Pram menjalani pengisapan tenaga sehabis-habisnya di bawah kokangan senjata Angkatan Darat yang lebih kejam dari praktik yang sama yang dipraktikkan Gubernur Jenderal Dirk Fock setelah era pemerintahan Limburg Stirum. Di Boven Digoel, tahanan boleh bergerak bebas, sementara proyek kamp konsentrasi yang bernama aneh itu, Inrehab, siang malam diawasi oleh tentara bersenjata lengkap dengan struktur dari komandan hingga peleton pengawal atau tonwal. 

Sepanjang satu dekade dalam struktur hidup seperti itu, mental siapa saja pastilah jatuh. Perasaan menerima keadaan sulit, ketiadaan harapan, dan patahnya asa menjadi tujuan utama dari Inrehab itu atau dengan nama lain yang tak kalah ajaibnya: Tefaat (tempat pemanfaatan). 

Dalam bahasa Jenderal Harto, Tefaat Pulau Buru atau proyek Inrehab adalah kerja tulus dari negara. Tujuannya untuk mengembalikan ribuan manusia kepada kehidupan “Pancasila” dari tuntunan norma komunis yang pukimak itu.

Surat-menyurat antara Pramoedya Ananta Toer dan Soeharto

“Keberterimaan” itu tercermin dari isi surat-menyurat antara Pramoedya Ananta Toer dan Harto; sebuah praktik surat-menyurat ala Angkatan Darat; surat-menyurat antara si penindas dan subjek yang ditindasnya yang nasibnya seperti rawa tai dan sosis kuning busuk di geladak kapal Angkatan Darat Republik Indonesia yang mengangkut tapol dari Nusa Kambangan.

 

Presiden 

Republik Indonesia

Kepada:

Sdr. Pramuedya Ananta Tur

di Tefaat Pulau Buru

Saya telah menerima laporan dari PANGKOPKAMTIB Jendral TNI Soemitro tentang keadaan saudara-saudara.

Kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar, namun kewajaran itu harus pula ada kelanjutannya yang wajar. Yakni:

“Kejujuran, keberanian dan kemampuan untuk menemukan kembali jalan yang benar dan dibenarkan”.

Semoga Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kasih memberi perlindungan dan bimbingan di dalam Saudara menemukan kembali jalan tersebut.

Amin.

Berusaha dan bermohonlah kepadaNya.

Jakarta, 10 Nopember 1973

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Soeharto

Jendral TNI

Balasan Pramoedya Ananta Toer untuk surat Harto

Kepada Yth.

Bapak Presiden Republik Indonesia

Jendral Suharto

Dengan hormat,

Terkejut dan teharulah saya menerima surat dari Bapak Presiden, karena tak pernah terkira-kirakan seorang tahanan politik akan mendapat kehormatan yang sedemikian besarnya. Beribu terimakasih dan penghargaa setinggi-tingginya atas waktu yang sangat berharga dan perhatian Bapak Presiden yang telah dilimpahkan pada saya.

Adalah besar sekali tulisan Bapak Presiden dalam surat tertanggal 10 Nopember 1973 itu bahwa kekhilafan bagi manusia adalah wajar” dan “harus pula ada kelanjutannya yang wajar”.

Bapak Presiden R.I. yang terhormat,

Orang tua saya, dan barangkali demikian juga orang tua umumnya, mendidik saya untuk selalu mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, ilmu pengetahuan, nusa dan bangsa. Dengan pesangon itu saya memasuki dunia dan meninggalkan tapak-tapak kaki bekas perjalanan, yang dapat dinilai oleh siapapun. Maka karenanya surat Bapak Presiden R.I. yang berseru tentang “kejujuran, keberanian dan kemampuan untuk menemukan jalan kembali jalan yang benar dan dibenarkan” adalah seakan-akan seruan dari orang tua sendiri yang mencerlangkang nilai-nilai pesangon tersebut. Jiwa besar memaafkan kekhilafan dan tangan kuat diulurkan pada yang lemah.

Beribu terimakasih atas doa Bapak Presiden R.I. yang dipanjatkan kepada T.Y.M.E., karena tak adalah perlindungan dan bimbingan yang benar di luarNya.

Berusaha dan memohon selalu.

Hormat dan salam

dari Tahanan Politik No. 641

Pramoedya Ananta Toer 

Atas nama surat antara Harto dan Pram dengan pilihan diksi yang rapi. Sudah begitu terjaga sopan-santunnya, saling memuji seperti kawan yang lama tak jumpa dan memendam rindu dendam yang merobek-robek ulu hati. 

Saya, bersama 5 sahabat saya penulis-penulis muda dari Radio Buku, melakukan “toering” #SeabadPram dengan terlebih dahulu ke mausoleum Jenderal Harto di Astana Giribangun, yang suasananya tampak seperti surgawi. Seperti yang divisualisasikan kitab suci sebelum kemudian membelah Karanganyar-Ngawi menuju rumah masa kecil Pramoedya di Blora. Itu.

Penulis: Muhudin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pramoedya Ananta Toer dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 6 Februari 2025 oleh

Tags: 100 tahun pramastana giribangunbloraBoven DigoelprampramoedyaPramoedya Ananta ToerPramoedya Ananta ToeringSoeharto
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

Boven Digoel: Eksperimen Kolonial yang Menghancurkan Para Buangan
Video

Boven Digoel: Eksperimen Kolonial yang Menghancurkan Para Buangan

15 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO
Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.