Kapan Plengkung Gading Jogja pernah ditutup?
Ketika wacana penutupan ini mulai riuh di medsos, saya langsung mengernyitkan dahi. Kok bisa pihak Keraton Jogja kepikiran menutup Plengkung Gading? Saya penasaran, apakah plengkung ini pernah tertutup bagi masyarakat umum.
Sejauh yang saya mampu temukan, tidak ada buku maupun tulisan yang menunjukkan Plengkung Gading Jogja pernah ditutup. Lalu, apa landasan sejarah penutupan ini? Plengkung Gading, seperti gerbang lain, selalu terbuka di siang hari dan ditutup pada malam hari atau saat darurat.
Justru Plengkung Madyasura yang pernah ditutup permanen. Gerbang sisi timur ini dikenal juga sebagai Plengkung Buntet alias Gerbang Buntu atau Gerbang Tersumbat. Alasannya adalah keamanan selepas Geger Sepehi/Sepoy. Namun, selain Plengkung Buntet, tidak ada catatan yang menunjukkan gerbang Keraton Jogja sebegitu tertutup bagi rakyat.
Maka saya makin heran karena isu ini. Wacana apa lagi yang muncul demi sebuah gelar kota warisan budaya? Akrobat apa lagi yang dilakukan demi sumbu filosofis yang sama-sama minim sejarahnya?
Akrobat demi gelar yang fana
Semenjak Keraton memunculkan wacana sumbu filosofis, berbagai akrobat muncul. Dari memagar Alun-Alun Utara, sampai penggusuran rumah di bekas Benteng Baluwerti. Mau pakai alibi apa saja, sudah jelas alasan akrobat ini untuk mendapatkan status Kota Warisan Budaya dari UNESCO.
Apakah Keraton Jogja ini masih kurang gelar? Dari Daerah Istimewa, Kota Pelajar, Kota Budaya, dan kini juga Kota Wisata. Belum lagi sejarah gemilang Keraton Jogja yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Keraton Jogja tidak pernah kekurangan pengakuan. Bahkan banyak negara dan kerajaan yang menghormati secara khusus. Tapi, seperti belum kenyang, mereka mengutak-atik ide sumbu filosofis yang ditawarkan pada UNESCO. Sebuah sumbu yang tidak pernah jadi perhatian Sultan Jogja sebelumnya.
Perkara filosofi, Jogja tidak pernah kekurangan. Bahkan punya filosofi agung “Takhta untuk Rakyat.” Tapi, filosofi satu ini sepertinya sedang sekarat. Penutupan Plengkung Gading Jogja yang nanti akan mencabut nyawanya.
Takhta untuk Rakyat sedang sekarat, sebentar lagi mati
Takhta untuk Rakyat adalah nilai yang sangat romantis dari Suwargi Sri Sultan HB IX. Tidak hanya nilai, namun beliau mengejawantahkan filosofi ini dalam aksi nyata. Dari melindungi rakyat saat pendudukan Jepang, mendukung kemerdekaan Indonesia, sampai memberi tumpangan ibu-ibu pedagang.
Namun, filosofi ini terlihat memudar. Berganti jadi seruan sumbu filosofis yang erat dengan penggusuran. Padahal, rakyat yang tergusur itu bagian dari budaya Keraton Jogja. Mereka yang menghidupi kota budaya ini. Mereka pula yang jadi wujud nyata “Takhta untuk Rakyat.”
Sebenarnya, apa itu Kota Warisan Budaya? Apakah tembok dingin dan mati? Atau juga masyarakat yang jadi bagian dalam pengembangan dan pelestarian budaya?
“Takhta untuk Rakyat” sepertinya sudah tidak menarik. Ia dibiarkan sekarat dalam pembangunan dan ingar bingar kemegahan.
Penutupan Plengkung Gading Jogja akan menyempurnakan sirnanya. Gerbang yang jadi jalan dan penghidupan masyarakat ditutup. Disertai sterilisasi wilayah sekitar. Termasuk titik-titik yang punya nilai budaya organik dari masyarakat. Budaya yang membuat Jogja menjadi Jogja seperti sekarang.
Akhirnya saya harus segera pamitan dengan berbagai budaya organik ini. Dari klitikan, sampai warung brongkos yang katanya ikut tergusur. Saya harus pamitan juga dengan kenangan masa kecil yang makin pudar. Lenyap bersama pembangunan demi mimpi sumbu filosofis.
Namun sebelum Plengkung Gading Jogja ditutup, izinkan saya melewatinya sekali lagi. Sambil mengangkat jasad yang mulai dingin. Melintasi gerbang kematian menuju alam baka. Jasad itu bernama “Takhta untuk Rakyat.”
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogja Terbuat dari Tumpukan Kebohongan yang Terlanjur Dipercaya Banyak Orang dan pandangan menarik lainnya di rubrik ESAI.