Menurut KBBI, laman ‘petani’ berarti orang yang pekerjaannya bercocok tanam. Mulia betul batasan itu. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Juru bercocok tanam itu nyaris sepanjang hayatnya bersurat kelabu. Terbaru, serangan sengit berupa video bikinan Human Rights Watch yang mengusung isu child labour. Saking gawatnya persoalan, beberapa pekan lalu, bahkan Dik Iqbal Aji Daryono pun sampai turun tangan melalui setumpuk anti tesis berikut argumen-argumen ampuh sebagai penyanggah.
Tapi sebentar. Pernah ada masa ketika petani diriwayatkan sedemikian mulia, kala rumusan ‘negeri agraris’ masih ranum–ranumnya. Berikut saya kutip utuh pernyataan tokoh yang saya kagumi, KH Hasyim Asy’ari ihwal periwayatan yang saya maksud :
”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (KH Hasyim Asy’ari)
Kalau sampeyan penyuka komik-komik silat jaman dulu, mari bernostalgia sejenak. Di sana, petani digambarkan kebanyakan bernasib cemerlang. Tampilan boleh gembel atau berbusana compang-camping, namun tidak jarang sosok ini ditakdirkan sebagai jagoan penumpas kejahatan, atau jika si pengarang baik hati, kadang dihadiahi peran sebagai sesepuh sebuah padepokan, tentu dengan aji kanuragan pilih tanding.
Tetapi, Mas, Mbak, makin ke sini postulat keren tokoh besar pendiri Nahdlatul Ulama itu makin kehilangan gema, dan dunia kian jauh dari ilustrasi dongeng yang dipampang di halaman-halaman komik.
Saya punya cerita. Belum lama ini seorang kawan di Denpasar yang namanya diembel-embeli chef mengunggah foto sebuah menu – konon temuannya – di jejaring sosial. Caption : Temuan terbaru, siorica. Perpaduan siobak babi dengan rica-rica, bumbu konvensional, hanya ditambahi irisan kolobak ungu, butiran lada hitam dan bahan lain yang ogah saya sebut. Sila merafat ke ‘Restauran bla bla bla’, Kuta.
Yang serius tetapi luput ditangkap, ada pengingkaran terselubung pada kasus ini. Sedigdaya apapun ilmu memasaknya, sespektakuler apapun temuannya, kawan saya lupa ada peternak yang bekerja telaten untuk empuk daging yang ia olah. Ada andil sejumlah petani bagi ketersediaan bumbu-bumbunya.
Setali tiga uang dengan lelaku para penikmat kopi yang belakangan menjadi tren. Mereka berasyik-masyuk di gerai-gerai kopi kelas satu atau di coffee shop, lihai merapal menu: cortado, half espresso, flat white dengan rasio susu lebih banyak dari latte, black arabica kintamani yang dituang vietnam drop.
O iya, tidak lupa crek, mengunggahnya di media pertemanan sebelum seruputan pertama.
Saya ragu, adakah kelebatan bayangan sosok petani dalam batok satu dua kepala di ruangan yang menguarkan wangi kopi itu? Kelebatan bagaimana petani-petani di pelosok Mandailing sana, di Wamena, Toraja, Bajawa atau Kintamani bersetia melakukan ibadah sunyi, meraut satu-satu biji buah qahwa itu dari tandannya untuk tiap cangkir yang kita seduh.
Katakanlah semacam few second silence alias sesi hening sejenak sebagaimana ritual wajib di negara-negara berkultur bola kuat untuk menghormati atau mengenang seseorang atau sebuah kejadian yang dianggap penting sebelum pertandingan dimulai.
Ngehek sebagai Strata
Agama pun (setidaknya hinduisme), medium menuju Sang Khalik itu menempatkan petani pada posisi yang dipunggungi. Dalam strata profesi – yang sering rancu sebagai kasta – hinduisme meletakkan strata sudra (pekerja kasar termasuk petani dan buruh tani) di urutan buncit setelah brahmana, ksatria dan wesya. Petani, dengan begitu, sudah ada di jenjang upik abu sedari kaidah moralitas itu dibuat atau diwahyukan.
Kesalahan para petani, kalau boleh disebut begitu, mereka gagal menyesuaikan diri dengan hasrat kaum hedonis yang kadung kita sepakati sebagai pemeran sentral di planet bumi yang kita huni ini. Kaum berlumpur ini tak elok wara-wiri di jagat yang diseting kenes. Dunia, kita tahu, menyukai makhluk-makhluk rapi, bertutur santun dan wangi.
Petani? Amit-amit. Mereka wangsa yang hanya pantas berumah di huma, gunung atau hutan. Mau punah digerus tambang, diintimidasi aparat, that’s not our business. Mampus kau dikoyak-koyak industri sawit.
Profesi Sastrawi
Yang menghibur sekaligus jarang dicermati adalah, maqom dunia tani adalah maqom yang sastrawi. Ada relasi romantik antara sastra dengan dunia kaum tani. Ini pendapat subyektif memang, tetapi percayalah, ada benarnya kok. Begini. Profesi berwahana hutan, bukit-bukit, flora, ternak bahkan laut ini adalah silsilah dari mana ide dan gagasan dibedah.
Sulit, misalnya, membayangkan sebuah karya puisi punya nyawa tanpa menyebut lembah, daun, angin, bunyi serangga, bulir padi.
Sewaktu menggubah ‘Huma di Atas Bukit’, bisa jadi Ian Antono tiba-tiba dijatuhi wahyu berwujud anak sungai, “…sebatang sungai membelah huma yang cerah,” katanya. Chairil punya larik masyhur “Cemara berderai sampai jauh…”
Dalam ‘Anak Semua Bangsa’, Pramoedya memberi porsi khusus kepada anak tani bernama Trunodongso demi menyampaikan gagasannya. Novelis Mo Yan memilih kata ‘sorgum’ dalam salah satu novel maha karyanya, ‘Sorgum Merah’.
Nah, contoh-contoh tadi cukup kiranya sebagai tetenger seberapa kental kadar kesastrawian profesi ini.
HKTI dan API Itu Koentji!
Sayang, di nagari yang bahkan tongkat kayu pun jadi tanaman, pelaku tani menciut dari tahun ke tahun. Sesuai data sensus pertanian, dari 31.7 juta rumah tangga tani pada 2003 menjadi 26,13 juta pada2013. Ada penurunan 1,75% per tahun.
Meminjam kesenduan Bung Bre Redana, adakah ini senjakala dunia tani? Mudah-mudahan tidak. Yang pasti, selama logika konsumsi itu ada dan metabolisme tubuh manusia mutlak bergantung kepada pangan, pertanian tidak mungkin binasa dimakan waktu.
Solusi terdekat, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Aliansi Petani Indonesia (API), dua institusi penaung petani dengan reputasi yang tak heroik-heroik amat itu saya sarankan menambahkan kata ‘perjuangan’ di belakang namanya menjadi HKTI Perjuangan dan API Perjuangan.
Siapa tahu, perbaikan nama keduanya, ditambah doa-doa mulia dari segenap homo pengonsumsi se-Indonesia tiap kali laku memamah dimulai, menjadikan semesta bermurah hati, bersedia mematut-matut nasib kaum tani Indonesia menuju kebaikan. Begitu.