MOJOK.CO – Meski secara kultural Jokowi lebih dekat dengan NU, kader Muhammadiyah satu ini mengklaim kalau Jokowi justru punya banyak persamaan dengan ormasnya.
Berdasarkan pengamatan subjektif saya sebagai kader Muhammadiyah, ormas tempat saya bernaung ini sebenarnya mirip-mirip dengan Jokowi. Kayak misalnya, Jokowi punya spirit mulia yang termanifestasikan dalam jargon andalannya “Kerja, Kerja, Kerja”. Pun demikian Muhammadiyah.
Meski organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini secara eksplisit tidak cantumkan jargon tersebut dalam AD/ART atau pun khithah-nya, tapi jika kita amati dan telisik lebih jauh, Muhammadiyah diam-diam juga berspirit “Kerja, Kerja, Kerja”.
Konon, jargon itu seolah-olah telah menyatu padu dengan aliran darah yang mengalir ke seluruh sudut-sudut organ tubuh Jokowi, hingga memungkinkan blio untuk selalu kerja. Jargon yang sama juga konon sudah menyatu pada kader-kader Muhammadiyah di bumi Nusantara. Untuk selalu kerja-kerja-kerja.
Tak heran, lompatan kenaikan jumlah infrastruktur di Indonesia pada era Jokowi—bisa dibilang—sangat signifikan dibandingkan dengan periode Presiden sebelumnya. Dampak dari spirit kerjanya itu. Hal yang tak jauh beda dengan Muhammadiyah sebenarnya.
Oke, mari berhitung saja agar kalian percaya. Infrastruktur yang dibangun Muhammadiyah dalam bentuk Amal Usaha, tak kalah banyaknya dengan apa yang sudah dibangun oleh Jokowi untuk Indonesia.
Per hari ini Muhammadiyah sudah memiliki 4.623 TK, 2.604 SD/MI, 1772 SMP, 1143 SMA, 67 Pondok Pesantren, 172 Perguruan Tinggi, 457 Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP dll, 318 Panti Asuhan, 54 Panti Jompo, 82 Rehabilitasi Cacat, 71 Sekolah Luar Biasa, 6118 Masjid, 5080 Musala, dan 20.945.504 meter persegi tanah. Sangat berspirit kerja, Bung dan Nona!
Bahkan data yang saya paparkan di atas tadi menunjukkan bahwa saya adalah representasi dari Muhammadiyah yang suka kerja. Lha iya dong, selo amat saya sampai cari-cari data kayak begitu.
Akan tetapi, persamaan yang saya tunjukkan ini tidak lantas saya jadi pro Jokowi sehingga menyama-nyamakannya dengan ormas tempat saya bernaung. Jujur saja, ketika Pilpres 2019 kemarin, saya dengan begitu yakin menyoblos Prabowo-Sandi sembari berharap mereka berdua menjadi penyelamat nasib Indonesia yang diramalkan akan bubar pada tahun 2030 kelak.
Yah, meskipun setelah itu saya agak malu-malu kucing ketika melihat tingkah laku saksi-saksi 02 saat sidang sengketa di MK. Tingkah yang dianggap pendukung 01 lucunya masya Allah. Rasa malu itu bertambah perih setelah MK menolak semua gugatan yang diajukan oleh kubu 02. Sudah berusaha melucu, ditolak pula. Duh.
Selain soal infrastruktur yang saya sebutkan tadi, kesamaan Muhammadiyah dengan Jokowi juga terkait dengan ruang dan waktu.
Maksud saya begini. Bisa dikatakan, Muhammadiyah dan Jokowi mempunyai spirit yang benar, namun berada di waktu yang salah. Zaman sekarang, rakyat Indonesia sebenarnya nggak terlalu suka dengan yang namanya kerja. Kita—mau diakui atau tidak—jauh lebih suka berwacana dan berwacana.
Nyatanya, Jokowi yang sudah kerja ke sana ke mari, tetap saja kalah telak dengan wacana-wacana akal sehat yang dibangun Rocky Gerung. Sosok akademisi pengamat politik yang popularitasnya meroket cepat.
Sebagai orang yang beruntung mengecap bangku kuliah, harus saya akui Rocky Gerung mempunyai kapasitas keilmuan filsafat yang mumpuni, sehingga setiap wacana yang dilontarkan dari mulutnya, lepas dari alur berpikir filosofis dan taat kaidah logika yang benar, selalu bisa viral di mana-mana.
Meskipun filosofis dan logis, wacana hanyalah wacana. Rocky Gerung tidak bisa serta merta mencerdaskan audiensnya dengan cara mendungukan orang lain yang tidak sependapat dengannya.
Akan tetapi, karena masyarakat Indonesia sukanya dengan yang wacana-wacana, maka tak perlu heran kalau Rocky Gerung laku, laris manis, bahkan sampai jadi tren di mana-mana.
Muhammadiyah setali tiga uang dengan nasib Jokowi yang suka diserang Rocky Gerung ini.
Saking sibuknya bekerja nyata untuk bangsa, mengader dan memetakan anggota Muhammadiyah untuk berdiaspora di organisasi dan amal usaha yang begitu banyaknya, menuntaskan problematika masyarakat dalam ranah pendidikan, kemiskinan dan kesehatan (schooling, feeding, healing), sampai-sampai Muhammadiyah lupa bahwa masyarakat nggak peduli itu. Yang dibutuhkan masyarakat kan jelas: wacana.
Oleh karena tidak terbiasa berwacana, Muhammadiyah akhirnya kurang lihai dalam hal memproduksi dan mengemas wacana-wacana menarik yang bisa diterima dan dinikmati oleh masyarakat luas. Lebih-lebih dalam hal wacana keislaman.
Sebagai Organisasi Islam yang juga mengemban tugas dakwah, Muhammadiyah justru kekurangan dai-dai, ulama-ulama (dalam definisi ‘alim soal agama), atau ustaz-ustaz yang tenar, viral, berpengaruh, dan disambut baik oleh khalayak. Baik khalayak online ataupun khalayak offline.
Muhammadiyah kalah telak dengan jumlah ustaz-ustaz yang dimiliki oleh organisasi-organisasi Islam lain yang hanya lebih fokus ke wacana. Misal kayak HTI atau masyarakat golongan Salafi.
Dari jumlah followers Instagram saja, ustaz yang dianggap warga Muhammadiyah sudah tenar, tidak sebanding jumlah followersnya dengan ustaz-ustaz HTI dan Salafi. Misal Haedar Nashir dari Muhammadiyah yang cuma punya followers: 9155 dan Yunahar Ilyas 4734 followers (Dahnil Anzar punya 708 ribu followers sih tapi maaf, beliau bukan ustaz, hehe).
Sekarang bandingkan dengan HTI. Ada Felix Siauw dengan 3,9 juta followers dan teman kesayangannya Hawariyyun dengan 801 ribu followers. Dari Salafi ada Khalid Basalamah Official dengan 944 ribu followers, Syafiq Riza Basalamah Official dengan 908 Ribu followers, dan Firanda Andirja dengan 266 Ribu followers.
Tuh lihat! Betapa ringkih sekali jumlah followers ustaz-ustaz Muhammadiyah.
Oke saya tahu, mungkin kalian bertanya-tanya: Masa perbandingannya pakai jumlah followers Instagram sih? Lho, jangan menyepelekan banyaknya jamaah dari followers di Instagram.
Bisa kita lihat, betapa banyak ukhti-ukhti dan akhi-akhi fillah kita hijrah gegara melihat video satu menit di Instagram? Berapa banyak yang rela menanggalkan celana jeans isbal mahal-mahal mereka demi memakai pakian syar’i? Berapa banyak yang mengikhlaskan jilbab paris-marshanda mereka untuk dipendam di lemari demi memakai niqob supaya terhindar fitnah mata keranjang laki-laki?
Itu cukup membuktikan bahwa, dalam konteks sekarang, banyaknya followers pendakwah/ustaz di media sosial menentukan tingkat pengaruh dan keterimaan konten dakwah oleh khalayak di dunia nyata.
Sayangnya hal itu absen dari ustaz-ustaz Muhammadiyah. Tidak hanya terpuruk di Instagram, di Facebook dan Youtube pun followers ustaz Muhammadiyah juga kurang menggaung.
Di kehidupan offline pun demikian, pengajian-pengajian yang digelar oleh dan diisi kalangan Muhammadiyah sepi peminat. Mungkin salah satu penyebabnya yaitu penggunaan bahasa yang kaku dan model penyampaiannya terlampau serius. Bikin model pengajian Muhammadiyah kurang lucu, kurang santai, sehingga kurang digandrungi.
Sindiran berupa ungkapan “Muhammadiyah darurat Tawa” sekiranya benar adanya. Bandingkan saja dengan yang hadir di pengajiannya Felix Siauw, Hannan At-Taqi, Khalid Basalamah, atau Oemar Mita, pasti jamaahnya meluber-luber sampai keluar masjid.
Artinya, Muhammadiyah yang begitu senang kerja ini memang kurang kalau soal wacana. Yah, yang baru-baru ini saja, Mendikbud dari Muhammadiyah, Muhadjir Effendi diserang kanan kiri hanya karena berikhtiar mewujudkan pendidikan berkualitas di Indonesia dengan sistem zonasi. Sebuah sistem yang dipakai karena berkaca pada sistem pendidikan di negara maju.
Nah, karena masyarakat Indonesia sukanya berwacana ria termasuk wacana “kualitas pendidikan Indonesia harus sebaik kualitas pendidikan negara maju luar negeri”, maka jika sampai ada kerja nyata untuk mewujudkan itu, maka tak pelak hujatan dan cercaan melayang. Lagian, negeri wacana kok mau dikasih kerjaan.
Fenomena semacam ini bisa jadi sebuah gambaran, betapa Jokowi dan Muhammadiyah sebenarnya punya masalah yang sama. Di saat mau bekerja, keduanya selalu kelimpungan menghadapi berbagai wacana-wacana yang menyerang.
Untungnya Jokowi belakangan ini mulai sadar. Nggak semua rakyat sepakat dengan jargon “kerja, kerja, kerja”, paham kalau rakyat nggak begitu suka ikut kerja membangun bangsa. Pada akhirnya blio pun melunak.
Jokowi akhirnya rela menjanjikan kartu Pra-Kerja untuk kita semua. Sebuah usaha agar orang-orang yang gemar berwacana seperti kita tetap bisa merasa kerja. Sehingga kita nggak gemar lagi berwacana menyerang dirinya.
Tapi itu Jokowi, lha Muhammadiyah? Yakin nggak mau ikut melunak juga?