MOJOK.CO – Kalau upah buruh naik, tapi harga tanah melambung, rumah terjangkau sulit didapat, hiburan tidak ada, sekolah anak mahal, apalah artinya, bosqu~
Setiap Hari Buruh, ada satu hal yang berulang-ulang diteriakkan: hapus upah murah. Memang murahkah upah buruh Indonesia? Itu bisa diperdebatkan karena melibatkan banyak faktor. Bagi saya, yang lebih menarik justru soal ini: mengapa upah selalu menjadi tema utama perjuangan buruh?
Betapa sentralnya masalah upah bagi buruh, gaungnya tidak hanya terdengar saat May Day. Isu yang sama pula yang dibawa saat buruh berunding dengan pemerintah dan pengusaha kala menetapkan upah minimum menjelang akhir tahun.
Misalnya yang terjadi di awal 2012, ketika gerakan buruh mendesakkan kenaikan UMK di Bekasi, kawasan industri paling masif di Indonesia. Bupati Bekasi yang sedang berusaha terpilih kembali dalam pilkada mencoba menarik simpati buruh dengan menetapkan kenaikan UMK sebesar 30%. Kenaikan itu dianggap terlalu berat sehingga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menggugat keputusan tersebut ke pengadilan tata usaha. Gugatan itu membuat marah para buruh. Mereka berdemonstrasi, menutup jalan tol Jakarta-Cikampek dan menyebabkan lalu lintas lumpuh. Alhasil, pemerintah terpaksa menuruti kemauan buruh. Kenaikan upah yang tidak masuk akal tetap dijalankan.
Sukses dengan gerakan di tahun sebelumnya, pada 2013 buruh mengulang strategi yang sama. Sidang penetapan upah dikepung massa buruh, memaksa pengusaha dan pemerintah menyepakati kenaikan UMK sekitar 30%.
Laju kenaikan upah yang jauh menyalip laju inflasi mengkhawatirkan pemerintah dan pengusaha. Tahun berikutnya, pemerintah bersikap tegas, kenaikan hanya mencapai 16%. Untuk mencegah kenaikan yang tak terkendali, pemerintah menetapkan PP Nomor 78 Tahun 2015 yang membatasi koridor kenaikan upah buruh. Karena peraturan ini, di beberapa tahun terakhir ini kenaikan UMK dipatok di bawah 10%, menyesuaikan dengan formula berbasis inflasi yang diatur dalam PP tadi.
Bisnis dilakukan dengan kalkulasi untung rugi. Bila upah terlalu tinggi, tingkat laba perusahaan menurun. Bahkan, pada suatu titik perusahaan tidak akan sehat lagi dan bisa gulung tikar. Bila terus dipaksa menaikkan upah, pengusaha akan mencari jalan lain: otomatisasi, manusia diganti dengan mesin.
Banyak perusahaan yang telah melakukan efisiensi, mengurangi jumlah pekerja, tanpa mereka mengumumkannya secara resmi. Di sektor tertentu seperti tekstil, pengurangan bisa mencapai 15-20%. Kenaikan upah yang dipaksakan memang tampak sebagai kemenangan bagi buruh, tapi saat ia diikuti dengan pengurangan pekerja, masih bisakah disebut kemenangan?
Perjuangan buruh terlalu berfokus pada isu populer yang dipaksakan, seperti kenaikan upah dan penghapusan sistem kontrak. Buruh tidak melakukan kalkulasi secara lebih komprehensif, berbasis pada kondisi ekonomi secara nyata. Mereka tidak peduli pada adanya keseimbangan atau tidak. Padahal, perjuangan buruh bisa lebih efektif bila dilakukan secara kreatif. Sebab, kesejahteraan buruh tidak ditentukan oleh faktor tunggal upah. Kesejahteraan buruh juga bukan 100% tanggung jawab pengusaha. Sebagian darinya adalah tanggung jawab pemerintah, sebagian lagi tanggung jawab buruh itu sendiri. Apa arti upah besar bila sebagian dari upah tersedot oleh mahalnya biaya transportasi ke tempat kerja atau habis untuk cicilan rumah?
Saya merasa, jarang ada gerakan buruh yang secara kreatif bisa menekan pemerintah pusat atau daerah untuk memperbaiki kualitas hidup warganya. Coba lihat, hampir tidak ada daerah yang pemimpinnya punya program pembuatan sistem transportasi ke tempat kerja. Tidak banyak pemerintah daerah yang punya program penyediaan tempat tinggal murah, baik dengan skema sewa maupun beli.
Organisasi buruh tidak pernah menekan politikus atau pemerintah untuk punya program seperti itu. Dengan kata lain, gerakan buruh hanya berfokus pada isu populer yang mudah dipahami massa. Soal upah tadi. Upah naik, buruh puas, apa pun konsekuensi di belakangnya. Elite organisasi buruh juga tidak perlu cerdas berpolitik. Cukup kumpulkan massa untuk menekan. Sayangnya, seperti yang dibahas di atas, cara itu tidak benar-benar efektif. Jangka pendek, mungkin iya.
Organisasi buruh tertentu bahkan punya elite yang sebenarnya tidak ambil pusing pada substansi perjuangan buruh, yaitu kesejahteraan buruh yang ditimbang secara komprehensif. Mereka lebih peduli untuk menawarkan kekuatan massa kepada kelompok-kelompok politik, dengan imbalan berupa posisi politik untuk diri mereka sendiri.
Ada satu hal lagi yang sebenarnya sangat substansial untuk diperjuangkan, tapi juga tidak disentuh, yaitu peningkatan keterampilan buruh. Saya jarang melihat organisasi buruh yang punya program untuk meningkatkan keahlian dan motivasi anggotanya. Mungkin mereka berpikir, itu adalah tanggung jawab perusahaan dan pemerintah.
Ya, tapi seperti kesejahteraan tadi, itu juga tanggung jawab para buruh. Upah berhubungan langsung dengan produktivitas. Kalau produktivitas buruh tinggi, pengusaha tidak akan keberatan menaikkan upah. Setidaknya, tuntutan kenaikan upah menjadi lebih berdasar. Produktivitas terkait langsung dengan skill dan motivasi. Menuntut kenaikan upah tanpa peningkatan skill, motivasi, dan produktivitas itu sama seperti menuntut makan siang gratis. Itu tuntutan yang tidak masuk akal dan merusak keseimbangan tadi.
Menurut saya sangat penting bagi organisasi buruh untuk mulai menggeser paradigma mereka. Pengusaha dan perusahaan jangan lagi selalu ditempatkan sebagai musuh. Mereka harus juga dipandang sebagai mitra untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh. Rumus logisnya, perusahaaan yang sehat dan profit adalah rumah yang sehat bagi buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan. Karena itu, buruh harus ikut memperjuangkan terwujudnya perusahaan yang sehat. Para buruh harus juga kritis memandang elite mereka. Jangan sampai mereka hanya diperalat untuk mencapai tujuan politik jangka pendek para elit organisasi buruh.