Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Peran Ibu Kos sebagai Tonggak Lahirnya Identitas Bangsa

Muhammad Nanda Fauzan oleh Muhammad Nanda Fauzan
15 April 2020
A A
tetangga
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ibu kos punya pengaruh besar membenamkan serentetan nilai, wacana, dan ideologi ke anak-anak yang numpang di kos-kosannya. Jangan meremehkan ya Anda.

“Di sini, nggak boleh telat bayar lebih dari dua hari, ya, Mas.”

Tiba-tiba perempuan paruh baya itu menghampiri saya, lalu menyuguhkan kunci kamar.

“Tentu, Bu. Hehe.”

Saya tersipu sekaligus membatin; akumulasi antara rasa takjub dan geram.

Takjub karena yang bersangkutan, saya yakin, punya kemahiran menebak gelagat dan kebiasaan buruk calon konsumennya—dan ini hanya bisa diraih dari pengalaman terjal selama belasan sampai puluhan tahun.

Geram, sebab alih-alih menghidangkan basa-basi khas Nusantara sebagai simbol perkenalan, yang bersangkutan justru membuat saya merasa tersindir. Padahal, kelak setiap awal bulan, saya akan jadi lumbung rupiahnya.

Itu adalah pengalaman pertama—sekaligus pengalaman kelam—saya berkenaan dengan cara kerja ibu kos. Dan bayangan itu tak bisa lenyap begitu saja di tempurung kepala. Ia terus berkelindan, saling-silang, terbayang-bayang, mengendap dan mencuri satu ruang parsial di benak saya, persis seperti lagu “Aisyah Istri Rasulullah” di benak ukhti–ukhti, atau Mars Perindo bagi penonton setia emensitivi.

Barulah, setelah berpindah-pindah kos sebanyak tujuh kali, saya sadar bahwa cara kerja ibu kos bukan semata berpijak pada SOP yang tak tersirat namun diam-diam juga menjadi tonggak lahirnya identitas suatu bangsa.

Heh? Coba ulangi, kamu ngomong apa barusan, bgzt?

Ini serius. Ngana pikir, kenapa sejauh ini Bangsa Indonesia begitu lekat dengan adagium gotong-royong? Ya, jelas, karena pada suatu masa, para penggagas republik ini pernah hidup di lingkungan kos yang kolektif.

Soekarno, Semaoen, Musso, dan Kartosoewirjo, seperti yang tercatat dalam lebar sejarah, pernah ditempa di tempat kos milik Tjokroaminoto, di JL. Paneleh Gang VII. Adalah RA Suharsikin, Sang Ibu Kos, yang secara teratur menagih uang sewa setiap bulannya kepada mereka.

Meski, diceritakan dalam Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat, bahwa tempat kos ini “jelek dan sama buruknya” tetapi mereka tetap berkumpul dan konon saling berbagi lektur. Di sanalah embrio berjamaah bagi bangsa ini mulai muncul ke permukaan.

Tetapi “identitas”, apa pun embel-embel di belakangnya, tak pernah final. Ia terus bergejolak seturut laju zaman. Adalah keniscayaan bahwa “Identitas Bangsa” kita terus dipupuk—kalau bukan dicari.

Iklan

Buktinya setiap semester, di kampus saya, bapak-bapak MPR sering mengadakan seminar Empat Pilar Kebangsaan, dan bagi-bagi tas untuk peserta. Sebuah usaha yang tak bisa dibilang gagal, cuma salah sasaran aja.

Ada baiknya para bapak pejabat yang terhormat mengalihkan anggaran untuk seminar-seminar-nggak-guna-itu untuk memberi pelatihan khusus untuk para ibu kos se-Indonesia. Karena dari mereka lah, masa depan Indonesia berada.

Apalagi menurut survei Property Watch, sekitar 47,4% generasi milenial memilih tinggal di kos alih-alih nyicil atau membeli rumah, dan persentase itu akan terus meningkat sebab harga properti yang kian hari kian tak masuk akal.

Dari angka itu, setidaknya ada kelompok intelektual (yang direpresentasikan oleh mahasiswa) dan kelompok para pekerja. Artinya, ada hampir setengah populasi warga usia produktif (dan calon produktif) di Indonesia yang tinggal di kos-kosan.

Kelompok Mahasiswa-Pekerja dan Ibu Kos ini, kita tahu, menciptakan satu relasi yang ambivalen, keduanya menyatu disebabkan kebutuhan masing-masing; uang di satu pihak dan tempat tinggal di pihak lain.

Keduanya tentu tak berdiri sejajar, meski juga tak saling gontok-gontokan. Tetapi sampai di sini, kita perlu mencatat satu hal, ibu kos punya kuasa lebih. Sehingga bukan tidak mungkin ia membenamkan serentetan nilai, wacana, dan ideologi ke anak-anak yang numpang di kos-kosannya.

Suatu kali, ketika mengerjakan tugas kelompok di tempat kawan, saya pernah pulang tunggang-langgang di malam gelap karena ditagih denda oleh ibu kos kawan saya. Kepada saya, si ibu kos mengatakan satu fakta; setiap yang bertamu hingga lewat tengah malam, numpang mandi dan cas handphone, akan dikenakan tarif istimewa.

Saya berani bertaruh dengan seluruh harta-benda, bahwa intelektual yang terikat kebijakan jenis ini akan tumbuh menjadi insan yang materialistik dan penuh itung-itungan. Mereka tidak hanya akan berkutat hidup pada corak kepemilikan pribadi, namun juga sensitif dengan perhitungan ekonomi. Dari urusan air panas di dispenser sampai colokan menanak nasi.

Saya yakin orang macam Sri Mulyani, Rizal Ramli, Faisal Basri sampai Kwik Kian Gie—paling tidak—dalam satu fase kehidupannya pernah ngekos di tempat ibu kos model begini. Sudah jadi serba-ekonomi(s) sejak dalam kamar sendiri.

Di sisi lain, saya juga pernah dapat pengalaman menginap di tempat kos kawan. Sebuah kos-kosan yang tidak terikat pada durasi dan jumlah pengunjung. Bahkan di sana juga dibebaskan untuk mengeksplorasi hal-ikhwal yang berkenaan dengan bakat dan hobi. Entah karena ibu kosnya kelihatan sangat paham arti kebebasan atau sebatas cuek saja.

Wajar kalau di dinding kamar penghuni kos-kosan terlukis pelbagai mural yang bentuknya mengenaskan, dan tempat ini terbebas dari segudang aturan yang menjemukan. Sudah jelas penghuni kos-kosannya akan berkembang menjadi pemuda yang bebas dengan cita-cita besar tanpa batas.

Saya yakin orang macam Mario Teguh sampai pemimpin Sunda Empire pasti berasal dari ibu kos model begini.

Bahkan hanya dari kunjungan ke dua tempat saja, perwakilan kinerja ibu kos sudah bisa mewakili apa yang saya maksud. Catatan ini bahkan belum memasukkan jenis ibu kos galak, judes, menggemaskan, lucu, seksi, layaknya cerita-cerita stensilan milik Enny Arrow.

Omong-omong, apakah ngana sekalian paham, alasan mengapa saya membuat tulisan ini? Agar kita semua bisa memecahkan satu teka-teki semesta, kira-kira ibu kos macam apa yang melahirkan insan adiluhung macam anggota staf khusus milenial sang multitalenta?

BACA JUGA Pindah Kos Itu Berat, Apalagi Jika Ibu/Bapak Kosnya Baik Setengah Mampus atau tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.

Terakhir diperbarui pada 17 April 2020 oleh

Tags: Ibu Koskos-kosanMario TeguhMussostaf milenialsunda empire
Muhammad Nanda Fauzan

Muhammad Nanda Fauzan

Mahasiswa Filsafat UIN BANTEN.

Artikel Terkait

3 Keunggulan Tinggal di Kos Campur yang Jarang Disadari Banyak Orang Mojok.co
Pojokan

3 Keunggulan Tinggal di Kos Campur yang Jarang Disadari Banyak Orang

8 September 2025
Kos bebas berpotensi kumpul kebo. MOJOK.CO
Ragam

Susahnya Jadi Ibu Kos: Tak Ingin Ada Kumpul Kebo, Tapi Ada Saja Anak Kos Ngaku-ngaku Nikah Siri demi Inapkan Pacar

30 Juli 2025
cikarang.MOJOK.CO
Ragam

Kos-Kosan 1.000 Pintu Menjadi “Las Vegas-nya Cikarang” yang Memotret Sisi Gelap Para Pekerja

30 Januari 2025
Cerita Anak Kos Surabaya Jadi Buronan Ibu Kos karena Nunggak hingga Jutaan, Balik-balik Langsung Pamer Gaji UMR Jakarta MOJOK.CO
Ragam

Cerita Anak Kos Surabaya Jadi Buronan Ibu Kos karena Nunggak hingga Jutaan, Balik-balik Langsung Pamer Gaji UMR Jakarta

16 Februari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.