Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pawang Hujan di Mandalika Sulit Diterima Nalar? Kami Ngasih Alternatif Cara untuk Memahami Fenomena Ini

Perdebatan soal pawang hujan di Mandalika menjurus ke arah labelisasi ilmiah vs non ilmiah. Modern vs tradisional. Religius vs klenik.

Paksi Raras Alit oleh Paksi Raras Alit
21 Maret 2022
A A
Pawang Hujan di Mandalika Sulit Diterima Nalar? Kami Ngasih Alternatif Cara untuk Memahami Fenomena Ini

Ilustrasi Pawang Hujan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Mungkin yang lokal, yang tradisional itu memang tidak harus dipikir, mungkin realitas pawang hujan di Mandalika ini harus disikapi melalui pendekatan rasa.

Tulisan ini jelas merupakan reaksi atas fenomena pawang hujan Mandalika. Di sini bukan menjelaskan apakah pawang hujan itu halal atau haram, sah atau tidak sah, syirik atau tidak.

Bukan kompetensi saya untuk memberi stempel untuk pawang hujan di Mandalika. Tapi bagi pembaca, bisa saja tulisan ini dianggap sebagai pembelaan yang sudut pandangnya berat sebelah, dicap sebagai mekanisme buzzer front pembela klenik, musrik atau bid’ah. Biar saja. Saya tidak keberatan dituduh seperti itu.

Memang benar, latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya berada di ranah yang akrab dengan kebudayaan dan tradisi lokal. Tulisan hanya akan mencoba menawarkan cara berpikir dalam menyikapi fenomena pawang hujan di Mandalika, bukan pula how to menjadi pawang hujan, menjabarkan mantranya, dan ritualnya. Meskipun, di kampus saya, memang ada kajian tentang hal-hal itu.

Di media sosial, kita sedang berantem mengomentari pawang hujan di Mandalika. Belum selesai debat panas tentang ritual penyatuan air dan tanah seluruh Indonesia di IKN yang belum lama dilakukan institusi resmi negara kita, eh sudah muncul kasus yang mirip. Media sosial memang tak pernah kehabisan gorengan meskipun minyak sedang mahal.

Perdebatan menjurus ke arah labelisasi ilmiah vs non ilmiah. Modern vs tradisional. Religius vs klenik. Tapi, sekali lagi. Sudut pandang agama tidak akan saya singgung.

Seru sekali menyaksikan pertarungan opini ilmiah vs tradisional tentang si pawang hujan di Mandalika. Kaum ilmiah menuntut penjelasan tertulis yang komprehensif dan empirik, mengenai teknologi modifikasi cuaca di Mandalika. Sementara kaum tradisi (yang lalu dianggap sebagai lokal dan lisan) agak kesulitan menjelaskan secara tertulis dan ilmiah apa yang dilakukan Mbak Rara. Ya, karena memang mereka tradisinya lisan. Tidak punya dan kadang tidak perlu referensi tertulis untuk menjelaskan kejadian di dunia ini.

Atas nama modernitas dan rasionalitas, kaum ilmiah selalu berada di atas angin. Keilmiahan menempati posisi yang hegemonik dalam pertarungan tersebut. Situasinya serba mendukung untuk itu.

Teknologi modern, literasi dan informasi yang melimpah, tingkat keterdidikan masyarakat yang semakin tinggi, adalah kondisi yang memosisikan bahwa keilmiahan seolah menjadi tolok ukur utama dalam pola pikir dan tatanan masyarakat guna menyikapi realitas-realitas yang ada di kehidupan sehari-hari. Sementara itu, pawang hujan yang merupakan indigenous, kearifan lokal dari tradisi lisan, susah payah memosisikan diri dalam tatanan tersebut.

Tapi, fenomena Mandalika memutarbalikkan posisinya. Tradisi lokal sementara waktu mengungguli keilmiahan dalam hal teknologi, yakni rekayasa cuaca. Eksposure akan hal ini luar biasa di media. Bahkan akun resmi motoGP ikutan mengamini ini dengan postingannya—institusi yang semestinya sangat ilmiah karena memang sangat “barat” dan modern.

Mbak Rara, lewat praktiknya di sirkuit, berhasil menunjukkan bahwa ada kenyataan di dunia ini yang ternyata sukar dijelaskan secara ilmiah. Kearifan lokal berupa mantra, ritual, dan permainan bunyi (dari bejana yang menjadi instrumen performatifnya), yang merupakan hasil teknologi masyarakat tradisi lisan, dipertontonkan ke seluruh dunia.

Diakui atau tidak, di bangsa timur, khususnya Asia, apalagi Indonesia, tradisi pawang hujan ini masih tetap hidup, lestari, dan diwariskan hingga hari ini. Meskipun, hidup dalam kalangan atau komunitas tertentu, kadang pula teknologi ini hanya “disimpan” dalam ingatan “pemiliknya”, tidak ditulis, dibukukan, lalu dikaji. Teknologi yang bersifat sakral dan hanya ditransmisikan atau diwariskan secara turun-temurun dan tidak ke sembarang orang.

Hanya orang terpilih yang dianggap mampu yang akan memperoleh transfer pengetahuan ini dari pendahulunya. Sehingga muncul kesan eksklusif, minoritas, di mana tidak semua khalayak yang mayoritas ilmiah, punya akses untuk itu. Jadi dianggap tidak lumrah atau umum, dan dilabeli tradisionalitas. Padahal, pengetahuan ilmiah sebenarnya juga milik kalangan terbatas, diwariskan secara ekslusif pula.

Lihat saja seleksi ujian masuk perguruan tinggi. Bukankah kuliah juga bukan milik semua orang? Hanya, sekali lagi, kaum terseleksi secara ilmiah jumlahnya lebih banyak, mayoritas, jadi keilmiahan seolah-olah lumrah dan umum, yang pada akhirnya terlabeli dengan modernitas.

Iklan

Kontestasi kedua ideologi tersebut, moderenitas dan tradisionalitas, berkelindan setiap waktu dalam kehidupan ini. Seringnya, modernitas memenangkan kontesnya. Lalu kita hidup dalam kultur berpikir seperti itu. Kita terbiasa dan terobsesi menjelaskan segala sesuatu secara ilmiah dan modern.

Tapi bukankah secara ilmiah (di kampus) kita diajari untuk berpikir kritis melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang? Kita dilatih untuk menelisik gejala-gejala realitas yang terjadi di sekitaran kita? Kita dibimbing untuk tidak terburu-buru menyimpulkan segala sesuatu sebelum melakukan penelitian dan memahaminya dengan benar?

Barangkali yang terjadi di Mandalika hanyalah sebuah gejala yang perlu kita kritisi dan teliti lebih lanjut (secara ilmiah jika memang dituntut untuk itu) di mana ternyata manusia mampu merekayasa cuaca. Bisa saja hal itu merupakan realitas di sekitar kita yang belum kita pahami. Kita tidak boleh menafikan kenyataan tersebut. Karena memang ada, dan diakui worked oleh orang barat yang modern.

Jika memang belum bisa dijabarkan secara ilmiah, barangkali pembacaan kita saja yang belum sampai ke situ. Atau malah keilmiahan belum mampu mendefiniskan pawang hujan, atau justru tidak perlu didefinisikan secara ilmiah? Mungkin dalam memahaminya, tidak butuh teori ilmiah dan akademis khas barat yang menjadi standar berpikir kita. Meskipun saya akui tulisan ini juga terjebak dalam hegemoni keilmiahan barat.

Penjabaran tentang tradisi lokal dan lisan di atas adalah risalah teori akademisi barat Walter J. Ong, Albert Lord, Homi K. Bhabha, J.J. Ras, Pierre Bourdieu. Huuft… bahkan untuk menjelaskan tentang timur saja butuh pemikiran orang barat.

Mengutip beberapa ceramah guru-guru timur:

“Tidak semua hal di dunia ini harus diukur dengan rasio. Otakmu ra bakal nyandhak mikirke iku.”

Serta ada nasihat untuk senantiasa rendah hati dalam menuntut ilmu, karena makin banyak yang kita pelajari, sebenarnya makin banyak yang tidak ketahui. Hidayah ilmu itu seperti jodoh, rejeki, dan kematian. Datangnya kapan kita tidak pernah tahu. Barangkali hari ini saja kita belum paham tentang pawang hujan di Mandalika. Siapa tahu besok lalu paham.

Mungkin yang lokal, yang tradisional itu memang tidak harus dipikir, mungkin realitas pawang hujan di Mandalika ini harus disikapi melalui pendekatan rasa. Kalau sudah begitu, ya sudah percaya saja. Seperti kamu percaya hal-hal di luar logika dalam praktik ritual agamamu.

BACA JUGA Teror Mistisisme Jawa Bikin Warga Jogja Selalu Narimo Ing Pandum dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Paksi Raras Alit

Editor: Yamadipati Seno

Terakhir diperbarui pada 21 Maret 2022 oleh

Tags: klenikMandalikamotoGP mandalikaPawang Hujanpawang hujan mandalika
Paksi Raras Alit

Paksi Raras Alit

Seniman dan pegiat aksara Jawa.

Artikel Terkait

Safari Dharma Raya Wujudkan Cita-cita Anak NTB Kuliah di Jogja MOJOK.CO
Otomojok

Berkat Bus Safari Dharma Raya, Mahasiswa NTB Berhasil Mewujudkan Cita-citanya untuk Kuliah di Jogja

23 Januari 2025
Ritual Unik di Fesmo 2024 yang Bikin Ramalan Hujan BMKG Meleset.MOJOK.CO
Ragam

Ritual Tak Biasa di Fesmo 2024 yang Bikin Ramalan Hujan BMKG Meleset

11 November 2024
Kisah Pawang Hujan Membuat Cuaca di Luar Prediksi BMKG MOJOK.CO
Ragam

Kisah Pawang Hujan Membuat Cuaca di Luar Prediksi BMKG

1 Februari 2024
MotoGP di Sirkuit Mandalika Memang Balapan Jancok! MOJOK.CO
Esai

MotoGP di Sirkuit Mandalika Adalah Simulasi Neraka. Sebuah Pengalaman Menonton Balapan yang JANCOK Banget!

25 Oktober 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
UGM MBG Mojok.co

Gadjah Mada Intellectual Club Kritisi Program MBG yang Menyedot Anggaran Pendidikan

28 November 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.