MOJOK.CO – Panggung bagi seorang selebriti memanglah sesuatu yang harus dicari, tapi tentu saja jangan gunakan cara yang menyebalkan.
Delapan bulan sudah pandemi Covid-19 merangkul kita dengan mesra. Selama kurun waktu tersebut, di antara tumpukan berita tentang kenaikan jumlah kasus positif dan kebijakan pemerintah seputar penanganan pandemi (yang kita semua tahu sendiri hasilnya seperti apa), beberapa selebriti tanah air tampil menarik perhatian publik melalui perilaku dan gerak-geriknya. Mulai dari isu konspirasi, ramuan ajaib, sampai sambal cireng.
Berbicara tentang selebriti dan bencana, selebriti selama ini banyak disorot dalam peran-peran filantropi sebagai pemain utama penggalang dukungan dan simpati publik. Posisinya menguat lewat momentum konser kolosal Live Aid yang digagas oleh penyanyi, penulis lagu, aktor dan aktivis politik Bob Geldof pada tahun 1985 untuk membantu korban kelaparan di Afrika.
Disaksikan 1,5 milyar penduduk bumi, Live Aid disebut oleh Mark Paytress dalam bukunya I Was There: Gigs That Changed The World sebagai gelaran terbesar yang pernah ada di bumi.
Di Indonesia, peran filantropi selebriti mulai kentara pasca bencana tsunami Aceh tahun 2004. Didukung oleh puluhan musisi dengan lagu utama “Kita Untuk Mereka”, Indonesian Voices merilis album dengan judul yang sama yang keuntungan penjualannya disumbangkan untuk para korban tsunami Aceh. Indonesian Voices sendiri merupakan kumpulan musisi di bawah perusahaan rekaman Sony Music Indonesia.
Kecenderungan selebriti untuk terlihat sebagai sosok penting ini tidak lepas dari upaya peneguhan diri supaya perannya terlihat signifikan. Internet serta media sosial yang mengiringinya kemudian menjadi karpet merah bagi individu untuk menjadi tenar sekaligus mendapat lampu sorot sebagai selebriti.
David Giles dalam Illusions of Immortality: A Psychology of Fame and Celebrity menjelaskan ketenaran dan selebriti merupakan satu keterkaitan. Ketenaran merupakan proses bagaimana individu dikenal dalam satu lingkaran interaksi tertentu. Ketika sorotan media hadir, individu dengan ketenaran tadi memperoleh statusnya sebagai selebriti.
In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes. Lebih dari lima dekade berselang sejak seniman eksentrik Andy Warhol mengeluarkan pernyataan tersebut dalam eksibisi karyanya di Stockholm, Swedia pada tahun 1968. Jika masih hidup, Warhol mungkin akan meralat perkataannya itu mengingat saat ini hanya perlu 15 detik (atau ketikan 280 karakter) untuk menjadi tenar. Setidaknya bagi Jerinx, Anji, dan yang terakhir, Rina Nose.
Giles, dalam bukunya tadi menyebut ada kecenderungan selebriti untuk terlihat sebagai sosok gila atau mad scientist. Jerinx melakoni peran eksentrik dengan meyakini bahwa Covid-19 adalah konspirasi Bill Gates dan Rockefeller untuk menyongsong tatanan dunia baru. Anji menggandeng ilmuwan “edan” bernama Hadi Pranoto untuk mempromosikan obat Covid-19 yang prosedur medisnya pun masih dipertanyakan. Setidak jelas dari mana gelar profesor di depan nama Hadi Pranoto itu didapat. Sementara Rina Nose lebih sadis lagi sebab ia sendiri yang menjadi ilmuwan edan itu dengan melakukan percobaan nge-swab (sic!) sambal cireng dengan alat diagnostik tes cepat antigen serta diperkuat temuan dari percobaan serupa yang telah dilakukan oleh… politisi.
Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) menyebut serangan terhadap ilmu pengetahuan dan semburan informasi palsu terkadang memang jadi hiburan. Namun ketika selebriti dan tokoh masyarakat lain yang tidak memiliki kredibilitas pengetahuan berbicara dan memanfaatkan berita palsu untuk keuntungan pribadi, sesungguhnya masyarakat ada di ambang bahaya yang seharusnya bisa dicegah.
Banyaknya penggemar atau pengikut membuat seorang selebriti seolah punya otoritas untuk melakukan apa saja dan berbicara apa saja, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya mereka tak paham sama sekali.
Bukan hal sulit bagi mereka untuk mendapat perhatian publik. Namun yang menjadi persoalan, keduanya justru membuat kegaduhan yang tidak perlu di saat publik butuh informasi tentang apa yang harus dilakukan di masa pandemi seperti ini.
Ketika Covid-19 jelas dinyatakan sebagai krisis kesehatan global, Jerinx justru meminta supaya tidak perlu takut karena Covid-19 hanyalah akal-akalan. Saat ilmuwan masih berpacu menemukan vaksin yang efektif, Anji dengan percaya diri mengumumkan bahwa telah ditemukan ramuan ajaib yang bisa menjadi solusi atas permasalahan pandemi Covid-19. Sementara saat test dan tracing masih terus dikejar agar sesuai angka ideal WHO, Rina Nose malah menganggapnya sebagai guyonan belaka.
Kita perlu menyadari bahwa perilaku selebriti, bagaimanapun, hanyalah permainan peran satu dari peran lainnya seperti kata sosiolog kesohor Erving Goffman.
Ujung-ujungnya tak lain dan tak bukan adalah keuntungan pribadi melalui penguasaan algoritma. Kita memang harus sama-sama paham, sektor hiburan termasuk yang paling terpukul oleh pandemi ini ini. Panggung dan job syuting berkurang. Lantai dansa dingin karena jarang dipanaskan. Namun tak perlulah cari panggung sampai sebegitunya.
Dunia showbiz memang keras seperti tulang, tapi tentu saja tak perlu bertindak seanjing itu.
BACA JUGA Dangdut Koplo Via Vallen di Tanah Anarki Jerinx dan tulisan Fakhri Zakaria lainnya.