MOJOK.CO – Setiap anak yang punya kakak atau adik setidaknya pernah merasa dirinya cuma anak pungut. Merasa bahwa orang tua sudah berlaku tidak adil karena lebih sayang kepada saudaramu.
Saya yakin banyak anak pernah merasa dibanding-bandingkan dengan anak lain, bisa dengan tetangga kompleks bisa pula saudara kandung si bocah. Saya misalnya, saat orang tua saya (secara tidak langsung atau langsung) membandingkan saya dengan anak tetangga, pernah saya ingin nyeletuk, “Lha wong Ibu aja nggak sama kayak ibu tetangga kok.”
Ya tentu saja keinginan itu cuma muncul di dalam hati. Saya tidak pernah punya nyali untuk dikutuk ibu saya jadi batu.
Saat masih remaja sampai usia awal dua puluhan, saya juga menduga-duga bahwa saya adalah anak paling tidak disayang oleh orang tua saya. Bagaimana tidak? Orang tua—terutama ibu—rasanya senang betul menasihati saya. Hidup ini kok macam selalu salah saja buat saya? Sesuatu yang jarang saya lihat pada adik dan kakak saya.
Lantas dugaan itu terus berkembang dan berujung pada kesimpulan bahwa penyebab sikap pilih kasih orang tua ini karena saya satu-satunya anak di keluarga yang tidak pernah masuk pesantren. Iya, saya dari dulu menolak sekolah di pesantren.
Ilmu agama saya minus dan merasa masuk pesantren hanya sia-sia belaka saja, percuma juga toh saya juga tidak pernah minat. Ditambah lagi kelakukan saya kerap malas-malasan saat waktu salat tiba atau sekadar ikut pengajian di rumah dan di kampus.
Sampai suatu hari, meledaklah konflik batin saya ini. Saat sedang bertiga dengan Ibu dan kakak perempuan, saya protes. Keluarlah segala keluhan yang saya tanggung selama bertahun-tahun. “Ibu dan Bapak tidak adil. Mentang-mentang saya nggak mau masuk pesantren dan pemalas, lantas saya dianaktirikan. Ibu Bapak lebih sayang sama kakak perempuan yang alimnya luar biasa dan si adik bungsu.”
Kolokan memang.
Barangkali ibu saya kaget mendapat serangan mendadak seperti itu. Lalu beliau mencoba meluruskan bahwa beliau dan Bapak berusaha seadil mungkin terhadap anak-anaknya. Tidak lupa menyelipkan kata maaf yang ditujukan pada saya.
Setelah mulai bicara agak tenang bersama dengan kakak, lha jebul kakak perempuan saya merasakan hal yang sama. Dia sama-sama merasa dianaktirikan jika dibandingkan dengan kedua adiknya. Dari suasana yang tadinya sempat tegang, pelan-pelan berubah menjadi cair.
Saat itu saya berkesimpulan bahwa adik saya juga pasti merasa dianaktirikan. Dan jauh di kemudian hari, hal ini terbukti. Bertahun-tahun kemudian, saya lebih maklum jika orang tua terlihat lebih sayang pada salah satu anaknya. Pasti ada alasan tersendiri mengapa mereka melakukan itu.
Sampai suatu hari, saya menyempatkan diri mengikuti bedah buku Lambe Akrobat-nya Agus Mulyadi di Warung Mojok beberapa waktu lalu. Bahagia benar saya ketika pembicaranya adalah bapaknya Agus yang ternyata jauh lebih kocak ketimbang anaknya. Pada pertengahan acara, Agus sempat membahas perkara “sikap pilih kasih orang tua” dan bagaimana dia bernegosiasi untuk tidak patah hati diperlakukan demikian.
Kalau tidak salah, bisa saya simpulkan bahwa Agus tahu betul kelebihan dirinya dan adik perempuannya. Pada waktu tertentu, dia adalah raja di rumah dan di kantor mojok.co. Misalnya, saat bersaing memilih menu makanan di keluarganya, Agus kerap juara. Dia berhasil membuat orang rumah memasak dan menikmati santapan variasi jengkol.
Di sisi lain, Agus sadar betul bahwa adiknya adalah anak dengan prestasi akademik yang mumpuni. Berbeda dengan dirinya. Si adik perempuan sudah biasa jadi juara di sekolahnya. Dan saat itu terjadi, Agus “harus mengalah” jadi raja dan memberikan kesenangan disayang orang tua kepada adiknya itu.
Saya tidak tahu apakah dulu Agus pernah merasa dianaktirikan oleh orang tuanya atau tidak. Yang saya tahu, saat ini dia berdamai dengan perlakuan yang berbeda itu dari orang tuanya. Agus menerima fakta bahwa dia dan adiknya memang berbeda. Perbedaan-perbedaan pada perkembangannya kemudian pada akhirnya akan melahirkan perbedaan sikap orang tua kepada masing-masing anak.
Perkara bersikap adil pada anak ini memang pelik. Barangkali orang tua tidak bermaksud membeda-bedakan anak-anaknya. Mereka berusaha mati-matian bersikap adil dengan memberikan fasilitas yang sama baiknya. Walaupun kadang mereka silap dan secara langsung atau tidak, membanding-bandingkan antara satu anak dengan anak yang lain.
Ah, saya jadi ingat. Saya kan belum berkeluarga dan belum punya anak. Belum pernah membagi perhatian dan rasa sayang kepada para junior. Rasanya saya nggak kompeten membahas bagian ini.
Meski begitu, sebagai anak yang pernah suuzon pada orang tua dan saudara kandung, tentu saya kompeten sekali untuk membicarakan ini, ya karena saya merasa pernah jadi “korban”. Dulu mudah buat saya untuk mencari celah kesalahan orang tua saya soal banding-membandingkan ini. Sebab perkara sepele dalam hubungan anak dan orang tua bisa dianggap besar dan substansial pada beberapa hal.
Urusan persaingan antara saudara kandung pun kadang-kadang tidak kalah peliknya. Bagi saya, saudara kandung itu semacam kombinasi antara sahabat baik dan musuh bebuyutan. Mereka bisa jadi orang paling menyebalkan dalam hidup, namun pada akhirnya toh saya akan selalu menyayangi mereka karena memang saya tidak punya pilihan yang lebih baik selain itu.
Perbedaan-perbedaan antara saudara kandung serupa senjata paling ampuh dalam perang mendapatkan perhatian dari orang tua. Saya tentu tidak bisa menuntut orang tua bersikap sama di antara kami. Bukankah sama-sama besar atau sama-sama kecil tidak melulu berarti adil?
Ya sama seperti Agus, saya (dan juga kamu-kamu) sebaiknya mulai menerima fakta bahwa sesama saudara kandung pasti punya sifat dan sikap berbeda. Saudara kandung dan orang tua kadang berubah menjadi orang paling menyebalkan, tapi hanya sedikit yang bisa diingat kalau mereka adalah orang paling menyenangkan.
Saya pikir, pasti ada masanya kok kamu menjadi pewaris yang paling disayang. Hanya saja barangkali kamu tidak sempat menikmatinya ketika proses itu terjadi. Bisa jadi karena ketika kasih sayang itu datang kamu merasa bahwa memang sudah seharusnya orang tuamu melakukan hal begitu kepadamu sejak lama. Nah, saat itu terjadi, ya sebaiknya nikmati saja dan jangan lupa; ditanam juga jadi ingatan yang nggak gampang dilupain.
Lalu, saat kamu merasa seperti anak pungut yang ditemukan di kolong jembatan, ya udah sih, terima saja. Toh, bisa jadi saat itu memang sedang jatah kakak atau adikmu yang dapat giliran. Lagian sudah jadi hukum alam, ketika mendapatkan hal yang enak dan memuaskan, waktu jadi terasa begitu singkat, sedangkan ketika dapat bagian nggak enak, waktu berlalu begitu lama.
Seolah-olah keadaan nggak enak itu terasa abadi sehingga kamu jadi lebih gampang mengingat bagian itu saja, lalu mengutuk dunia yang memang jadi neraka buat kamu tapi merupakan surga untuk kakak atau adikmu.