MOJOK.CO – Melihat data yang dirilis Kompas, orang Jogja memang terlihat susah jadi orang kaya. Semuanya karena ongkos transpor. Nelangsa.
Liputan khusus Kompas soal ketiadaan akses transportasi publik bagi sebagian warga di Pulau Jawa membuka mata banyak orang. Borok menahun itu akhirnya terbuka juga.
Lewat liputan khususnya yang terbit Kamis (17/3) kemarin, Kompas menyoroti gaji kecil masyarakat kelas menengah dan menengah ke bawah yang tergerus ongkos transportasi. Kondisi yang membuat mereka nggak boleh mimpi jadi orang kaya. Mimpi saja nggak boleh. Nelangsa.
Bukan kebetulan pula, data studi kasus diambil dari warga di empat kota besar di Jawa, yakni Bandung, Semarang, Surabaya, dan daerah yang terkenal dengan permasalahan upah minimumnya yang ajaib itu hampir di setiap tahun; Daerah Istrimewa Yogyakarta alias Jogja.
Ini permasalahan laten yang terjadi di kota besar mana saja, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia. Namun, ketika itu terjadi di kota seperti Jogja, dampaknya bisa jauuuh lebih terasa dibanding di Jakarta. Dalam hal ini, ketika kita melihat perbedaan angka UMR di antara keduanya.
Lingkaran setan transportasi
Rasa-rasanya nggak perlu jadi pakar untuk bisa tahu dan sadar betapa ongkos transportasi ini diam-diam jadi salah satu alasan kenapa kita sulit sekali hidup cukup. Yah, untuk tidak mengatakan bahwa kita mustahil untuk jadi orang kaya.
Karena pernah dan masih merasakan hidup di perantauan, jarak rumah ke tempat bekerja, umumnya jadi faktor utama seseorang memilih tempat tinggal. Namun, privilege memilih tempat tinggal pun kian lama kian sulit didapatkan. Ketika harga properti kian naik, otomatis harga sewa rumah atau sewa indekos pun mengikuti, meski tak selalu signifikan.
Ketika permasalahan itu terjadi di Jogja, rasa-rasanya ini menjadi masalah yang akan terasa sekali dampaknya karena UMR yang… terlalu bersahaja.
Begini contohnya. Sejak ada Trans Jogja, praktis angkutan kota (angkot) mulai tersisihkan. Meski keberadaannya kerap bikin pusing pengendara lain, angkot adalah solusi murah meriah untuk menyambungkan warga dari kantung-kantung wilayah yang tidak terjangkau halte Trans Jogja.
Nah, sebagai solusi mengatasi ketiadaan moda transportasi untuk membawa mereka ke halte terdekat, warga kemudian menemukan solusi yang mereka pikir ideal; orang Jogja beli motor. Disadari atau tidak, ini bukan jalan keluar, tapi bisa kita anggap sebagai rute baru menuju lingkaran setan. Lingkaran gelap yang membuat mimpi jadi orang kaya itu jadi tabu.
Selain sifatnya yang liabilitas dan bukan aset, biaya transportasi juga bakal membengkak justru ketika kita memutuskan beli motor dan berpaling dari moda transportasi umum. Belum paham?
Sederhananya, karena liabilitas, kita umumnya diharuskan mengeluarkan uang untuk barang tersebut. Berbeda dengan aset, di mana barang tersebut akan menghasilkan uang untuk pemiliknya. Sudah begitu, harga pasaran motor sudah pasti akan jatuh jika dijual kembali.
Secara praktiknya, beli motor, apalagi dengan skema kredit, membawa kita pada kewajiban cicilan selama, katakanlah tiga tahun. Meski dengan motor bisa mem-bypass kebutuhan untuk naik Trans Jogja atau ojek online, tapi biaya maintenance untuk kendaraan ini tidak sedikit.
Selain bensin yang tentu jadi kewajiban harian atau mingguan, pemilik motor juga masih harus bayar pajak tahunan, biaya servis, biaya tak terduga (ban bocor, ganti ban, atau motor kena banjir), potensi motor rusak karena kena klitih, hingga bayar parkir.
Jangan salah, nggak cuma orang Jogja, masih banyak orang yang meremehkan biaya parkir yang terlihat kecil itu. Meski cuma seribu atau dua ribu untuk sekali parkir, tapi kalau dikalikan secara konsisten tiap hari, angkanya bisa melangit.
Mengutip hasil riset Litbang Kompas, biaya transportasi pengguna motor pribadi di Jogja selama sebulan ada di angka Rp1.102.000 atau sekitar 60% dari pendapatan setara UMR warga Jogja ada di angka Rp1,8 juta. Angka ini jelas mengerikan sekali. Berdasarkan standar Bank Dunia, ambang batas pengeluaran transportasi bulanan yang ideal harusnya mentok di angka 10% saja dari pendapatan bulanan (gaji). Mau nabung biar cepat jadi orang kaya? Nelangsa.
Revolusi transportasi umum adalah keniscayaan, tapi kapan?
Ada kutipan bagus dari mantan Wali Kota Bogota, Gustavo Petro, yang kini menjadi salah satu kandidat Presiden di Pilpres Kolombia. Dia bilang:
“A developed country is not a place where the poor have cars. It’s where the rich use public transportation”, kata Petro pada 2013 silam.
Diakui atau tidak, permasalahan transportasi di sini sudah mengakar dan nyaris sulit dicari jalan keluarnya. Ekspektasi masyarakat modern yang kini dijejali tontonan transportasi publik yang estetik ala drama Korea, akhirnya membuat mereka punya standar tinggi bahwa angkutan umum massal di Indonesia haruslah aman, nyaman, murah, dan mudah dijangkau masyarakat. Bukan hal yang mustahil, memang, dan itu adalah harapan semua rakyat Indonesia, tapi ya bakal lama sekali menuju ke arah sana.
Di konteks Jogja, dengan tidak adanya angkot yang menghubungkan wilayah-wilayah terjauh dari halte dan berharap pada Trans Jogja sebagai solusi tunggal masalah transportasi, membuat warga lagi dan lagi terjerembab pada lingkaran setan seperti yang saya tulis di atas.
Selain telat mengantisipasi revolusi angkutan umum, Jogja juga terlihat terlalu berharap pada Trans Jogja yang terbukti tidak mempan mengatasi masalah ini karena aksesnya belum bisa menyeluruh.
Padahal idealnya, angkutan umum seperti angkot yang kini langka bahkan nyaris nggak ada di Jogja, adalah salah satu solusi paling make sense untuk pelan-pelan membenahi masalah ini. Karena pada prinsipnya, angkot lebih mampu menjangkau kawasan permukiman yang tidak terjangkau Trans Jogja yang rutenya lebih memanjakan wisatawan (yang pada akhirnya malah lebih memilih transportasi daring).
Dan jelas sudah, orang Jogja memang sulit jadi orang kaya!
Dan dengan semua masalah transportasi di atas, seperti yang sudah-sudah, kita akan kembali ke titik awal yang dipermasalahkan banyak orang yang tinggal di Jogja: susah jadi orang kaya! Wis angeeel, angeeel!
Jogja, apesnya, selalu diromantisasi oleh orang-orang luar Jogja yang tidak jarang berseloroh: “Mau gaji Jakarta, tapi tinggal di Jogja.” Weh! Ngawur!
Orang dengan gaji Jakarta jelas ke Jogja bukan hanya untuk berlibur menikmati kota sambil jalan kaki, tapi ikut menambah volume kendaraan di jalanan. Yang mana bukan jadi solusi, malah nambah pikiran!
Jadi ya, mau nggak mau memang harus diakui bahwa orang Jogja sulit jadi orang kaya karena pendapatan bulanannya habis buat ongkos transpor. Itu masalah penting kedua, selain UMR Jogja yang naudzubillah itu.
Lha piye, kalau kita pakai data Kompas yang tadi saja, Rp1 juta sekian dari total Rp1,8 juta habis tiap bulannya hanya untuk transportasi. Padahal, ya namanya manusia tentu butuh makan, minum, ya kadang ngudud, ya to? Lha wong tumbuhan saja butuh makan, apalagi manusia.
Itu baru masalah makan alias pangan. Belum mikir sandang dan papan. Kerja kan juga butuh baju rapi dan seperti normalnya orang, ya tentu kita butuh tempat tinggal.
Kita bukan bekicot yang rumahnya portable alias bisa dibawa-bawa ke mana saja. Kalau buat makan saja susah, mana ada duit buat beli baju layak, boro-boro beli rumah.
Kalau semua serba-cekak begini, mau 30-40 tahun lagi, nyaris mustahil orang Jogja bisa jadi orang kaya. Satu-satunya cara buat kaya ya jadi afiliator binary option kayak Indra Kenz, itu pun berisiko karena besar peluangnya masuk penjara plus di-paido sak-Indonesia.
Pripun, masih mau tinggal di Jogja? Sing tenang mazseee….
BACA JUGA UMR Jogja Harusnya Berapa? Percobaan Bikin Hitungan Realistis dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno