Seperti belajar nyetir kendaraan
Artinya, S1 IAT itu laksana kamu belajar nyetir kendaraan. Jika sedikit rileks belajarnya, kamu akan lincah berkendara di segala medan. Maksudnya rileks di sini adalah kamu nggak perlu ngotot dapetin nilai A untuk semua matkul atau ambis harus cumlaude. Sebabnya itu tadi: baca kalimat pertama paragraf sebelumnya.
Sebagai gantinya, di sini kamu harus banyak bergaul dan berjejaring. Juga, baik-baik sama dosennya. Dibanding jurusan lain di UIN, saya rasa IAT punya peluang lebih besar untuk memperluas modal sosial.
Setidaknya setahun sekali, lulusan UIN bisa melakukan exercise of power ketika bulan Ramadan tiba. Entah menjadi Imam salat tarawih atau mengisi tadarus dan kultum keliling di kampu(ng)s yang dengannya mereka bisa memperluas kapital sosial.
Kapital sosial ini, jika membacanya menggunakan perspektif Pierre Bourdieu, bisa melampaui daya magis kapital budaya (baca: ijazah sekolah). Dalam konteks mahasiswa lulusan IAT UIN, kapital sosial ini laksana skill mengendarai berbagai moda transportasi, sebab ia meniscayakan kecakapan komunikasi publik.
Alumni IAT UIN wajib paham teknik gas dan rem
Di fase ini, kamu bahkan tidak harus punya kendaraan. Yang penting ngerti kapan ngerem dan kapan ngegas. Lebih dari itu adalah seni memahami dan menginterpretasi hujaman simbol-simbol di kehidupan sehari-hari supaya tidak terjebak dalam belantara mitos, dalam pengertian Roland Barthes.
Meski begitu, kalau mau punya kendaraan sendiri dan menyetirnya sendiri, kamu minimal harus lanjut S2. Dan, Bung Arman sebagai alumni IAT UIN pun sebetulnya sudah menyadari betul hal ini. Respect!
Sebab, yah, tidak semua orang seberuntung Rocky Gerung yang kuliah S1, tapi ngajarnya S3. Itu saja Rocky Gerung kuliahnya filsafat. Bukan IAT UIN. Dan, dia nggak pernah mengambil gaji mengajar. Jadi Bung Rocky nggak bisa jadi ukuran. Mentok teladan saja. Teladan untuk punya mental pembelajar.
Menghapus jurusan di UIN itu nggak logis
Di titik ini saya rasa usulan beberapa jurusan di UIN dihapus itu kurang logis. Apalagi jika premisnya adalah jumlah pengangguran. Jurusan di UIN yang kurikulumnya melulu teoretis keagamaan memang orientasinya bukan untuk menyuplai industri kapitalis.
Sebaliknya, alumni UIN, terutama IAT, mestinya punya kesadaran sejak dini. Mereka itu, kelak, bisa menjadi agen keseimbangan kosmik. Khususnya di tengah tafsir-tafsir keagamaan yang mengarah ke kutub ekstrem, baik kanan maupun kiri.
Lebih dari itu, lulusan IAT, khususnya UIN, juga punya resiliensi lebih ketimbang lulusan lain dalam menghadapi ontran-ontran kehidupan duniawi. Betapa tidak, sejak semester pertama segenap mahasiswanya sudah mengunyah teks bahwa hidup adalah senda gurau. Karena itu, sedikit kurang make sense kalau kita pusing justru oleh senda gurau besok kerja apa setelah lulus.
Kuncinya, kerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. “Nganggur” itu hanyalah konstruksi sosial masyarakat modern yang apa-apa diukur secara simbolik. Lebih dari itu, fenomena pengangguran di Indonesia menghamparkan realitas yang jauh lebih kompleks, ketimbang sekadar kamu lulusan mana dan apa.
Banyak jurusan di UIN yang masih penting untuk dunia
Menurut pakar statistik BPS, Lili Retnosari, imajinasi tentang kepemilikan pekerjaan tak serta-merta menjamin kehidupan layak. Banyak individu yang tercatat sebagai pekerja, tetapi masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pekerjaan yang tersedia sering tak menawarkan kepastian pendapatan, jaminan sosial, atau kondisi kerja yang memadai.
“Jika pertumbuhan kesempatan kerja tidak diiringi dengan perbaikan kualitas pekerjaan, maka penurunan angka pengangguran menjadi pencapaian yang semu,” tulis Lili lebih lanjut dalam artikel berjudul “Pekerjaan Layak dan Angka Pengangguran” (Kompas, 14/4/2025).
Maka, lepas dari penyesalan Bung Aman yang saya rasa tetaplah valid, Prodi IAT di UIN tetaplah relevan sejauh bangsa ini masih menganggap agama sebagai variabel penting dalam kehidupan mereka. Dan, selama agama masih menjadi mata kuliah/pelajaran wajib di semua level pendidikan, maka alumni IAT UIN pun saya rasa tetap dibutuhkan.
Hormat saya, alumni IAT yang sekarang mengajar di Jurusan Pedalangan ISI, Surakarta.
Penulis: Anwar Kurniawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Berdamai dengan Stereotipe Alumni UIN, Satu-satunya Cara Hidup Tenang Setelah Lulus dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












