Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kita Memang Nggak Kebelet Nikah, tapi Sedihnya Orang Tua yang Jadi Skakmat

Dian Dwi Anisa oleh Dian Dwi Anisa
3 November 2017
A A
beban Perempuan

beban Perempuan

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Saya agak sebal saat membaca artikel Mojok.co tertanggal 12 Oktober 2017 berjudul “Jadi Perempuan Lajang Bukan Dosa!” yang ditulis oleh Sis Maria Fauzi. Membaca tulisan tersebut bikin saya ngedumel panjang dan berakhir dengan kalimat, “Jadi jomblo/nggak nikah nggak segampang itu, Sis!”

Begini. Saya turut senang ketika para lajang akhirnya bisa bahagia meskipun belum atau tidak menikah. Toh bagi perempuan, menikah bukan satu-satunya jalan keluar untuk berbahagia. Saya setuju itu.

Saya sendiri seorang perempuan lajang yang sebentar lagi berusia 27 tahun. Dilahirkan ibu dari Jawa dan dibesarkan dengan budaya Jawa yang sangat kental. Waktu usia saya masih 23 tahun, ibu saya pernah bilang bahwa sebaiknya seorang perempuan menikah di usia 25 tahun. Lebih dari usia itu, konon aura keperempuanan saya akan pelan-pelan memudar. Menurut beliau yang menikah di usia 21 tahun, kalau sudah lewat usia 25 tahun, seorang perempuan tidak bebas memilih laki-laki yang bisa dinikahinya.

Khawatir? Sekarang sih masih khawatir, meski sedikit. Ibu saya yang lebih khawatir karena di usia sekarang, saya tak kunjung menikah.

Bagi keluarga saya yang Jawa banget dan orang-orang Jawa lainnya, menikah itu kewajiban. Saya bisa saja menyangkal dengan berbagai alasan ketika Ibu atau Bapak menyuruh saya segera mentas (bahkan pilihan kata mentas saja sudah bias. Apakah perempuan jomblo sedang berada dalam kubangan?). Mengelak bahwa saya harus menyelesaikan kuliah dulu, atau menyiapkan diri lahir batin dulu supaya siap dipinang pacar. Tapi, ada satu waktu ketika alasan untuk mengelak itu habis juga.

Buat saya, pertanyaan “kapan nikah” dari siapa pun adalah pertanyaan paling annoying setelah “Tesismu udah sampai bab berapa?”. Rasanya seperti mendapat premenstrual syndrome mendadak yang menyebabkan tingkat sensitivitas meningkat seribu kali lipat. Dan saya yakin, semua perempuan lajang yang usianya sudah matang akan risih setiap kali ditanyai kapan menikah. Mula-mula terganggu. Semakin lama semakin terbiasa. Terbiasa terganggu.

Memutuskan menjadi lajang atau menunda pernikahan, buat perempuan, adalah hal yang sungguh sulit sekali. Selain ditanyai hal yang sama berulang kali, saya (dan juga situ) harus siap dicap macam-macam.

“Nggak mau dandan sih. Muka kucel gitu siapa yang mau?”

“Udah rakus, nggak pernah olahraga, badan melar. Ya wajar aja masih perawan.”

“Jangan-jangan tuh cewek lesbi?”

“Inget, nanti kematengan malah jadi busuk.”

“Pantesan galak, nggak ada yang ngelonin.”

“Kayaknya punya trauma sama laki deh, makanya nggak nikah-nikah.”

Berat ya, gaes?

Iklan

Orang-orang Jawa mengenal istilah “dadi wong”. Jika dibahasaindonesiakan, berarti ‘menjadi orang’. Menjadi orang yang bagaimana nih? Tidak ada definisi yang pasti tentang istilah ini. Bagaimanapun, diucapkan atau tidak, keluarga Jawa mendidik anak-anaknya, laki-laki atau perempuan, untuk dadi wong. Satu kunci tentang dadi wong adalah mandiri. Mandiri secara ekonomi, sosial, dan psikologi.

Mandiri secara ekonomi berarti situ harus mampu menghidupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan sendiri. Bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Biarpun masih ngontrak atau ngekos, asal biaya sewa dibayar pakai hasil keringat sendiri, berarti situ sudah selangkah lebih dekat masuk dalam lingkaran “orang sukses” versi Jawa.

Mandiri secara sosial berarti harus pandai-pandai bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Harus rajin srawung. Nah, supaya situ bisa menempatkan diri dengan baik dengan lingkungan, berarti situ juga harus mandiri secara psikologis. Ora kakehan curhat, sambat, lan ngrepoti wong liyo. Berarti kondisi psikologismu harus stabil. Dan sebagai perempuan ini sulit.

Saya sadar betul Sis Maria Fauzi memberikan contoh Wallada binti al-Mustakfi–yang memerdekakan diri dari batas-batas yang sengaja diciptakan orang lain dan memutuskan melajang–supaya kami para perempuan juga seberani itu.

Tapi … Mbak Wallada ini kan hebat. Sedangkan saya perempuan biasa-biasa aja. Pinter kagak, cantik kagak, kaya kagak. Standar. STD. Dan saya yakin banyak perempuan bernasib sama seperti saya. Baiklah, ini kesalahan kami karena “menjadi biasa-biasa saja”. Barangkali kami kurang bekerja keras sehingga tidak bisa tampil cemerlang sebagai lajang berbahagia yang memiliki daya tawar tinggi.

Barangkali nih, barangkali kita bisa saja mengikuti jejak Wallada untuk membebaskan diri dari kultur yang mengharuskan perempuan untuk menikah. Masalahnya adalah tahapannya tidak lantas berhenti di situ. Saya dan juga para lajang (terutama yang dibesarkan dengan kultur Jawa) juga harus pelan-pelan memberikan pemahaman, terutama pada orang tua. Dan itu yang tidak gampang.

Dadi wong tidak akan pernah berhasil disematkan pada orang-orang yang belum atau tidak menikah. Bagi orang Jawa, menikah adalah tanda kedewasaan, di mana situ dianggap sudah mampu memikul tanggung jawab. Laki-laki dan perempuan yang sudah menikah dianggap sudah merasakan suka dan duka kehidupan. Sedangkan orang lajang dianggap baru merasakan sukanya saja.

Salah satu hasil riset Risa Permanadeli dalam bukunya, Dadi Wong Wadon, menyebutkan bahwa masyarakat akan menganggap bujangan sebagai orang yang tidak memenuhi tugas mereka sebagai orang Jawa. Orang tersebut belum lengkap. Belum utuh.

Dan setiap orang tua kemungkinan besar akan merasa sedih ketika melihat anak perempuan mereka belum lengkap (baca: belum menikah). Situ boleh saja sudah sanggup membeli sepatu harga jutaan secara lunas, rajin srawung atau justru bisa disambati teman-teman, dan sudah tidak cengeng karena drama-drama kehidupan. Tapi tetap saja, situ belum masuk kategori dadi wong ketika belum menikah.

Barangkali situ bisa berkelit lagi, “Ah, aku nggak perlu dadi wong kok”. Atau barangkali (puji Tuhan) bapak ibumu akan menerima keputusanmu untuk menunda atau tidak menikah. Tapi, siapa yang tahu jika ternyata mereka kecewa dan sedih atas keputusan kita. Dan apakah membuat orang tua kecewa dan bersedih bukan termasuk dosa?

Dan beban ini mesti ditanggung siapa pun, laki-laki maupun perempuan.

Terakhir diperbarui pada 3 November 2017 oleh

Tags: jomblolajangmenikahNikahperempuanperempuan jawa
Dian Dwi Anisa

Dian Dwi Anisa

Artikel Terkait

Tepuk Sakinah saat bimbingan kawin bikin Gen Z takut menikah. Tapi punya pesan penting bagi calon pengantin (catin) sebelum ke jenjang pernikahan MOJOK.CO
Ragam

Terngiang-ngiang Tepuk Sakinah: Gen Z Malah Jadi Males Menikah, Tapi Manjur Juga Pas Diterapkan di Rumah Tangga

26 September 2025
Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4
Video

Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4

24 Februari 2025
Paksi Raras Alit: Begini Bedanya Feminisme Perempuan Jawa Jika Dibandingkan dengan Feminisme Barat
Video

Paksi Raras Alit: Begini Bedanya Feminisme Perempuan Jawa Jika Dibandingkan dengan Feminisme Barat

25 Januari 2025
Cerita Mahasiswa Jatim Rela Melepas UGM Demi Masuk Jurusan Kependidikan di UNY, Menyesal Kemudian karena Dapat UKT Selangit dan Lingkungan Kuliah Toksik.mojok.co
Kampus

Cerita Mahasiswa UM Malang Nyaris Gagal Nikah Gara-gara Wisuda Mundur Hampir Setahun, Ada yang Rugi Jutaan Rupiah

29 Februari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.