Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Nasib Punya Nama Panjang Amat Kayak Kereta Gerbong buat Keturunan Batak

Basa Nova Tria Manambual Palembang Siregar oleh Basa Nova Tria Manambual Palembang Siregar
21 Februari 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Punya nama kepanjangan itu memang agak merepotkan. Terutama untuk ngisi lembar jawab komputer di UAN. Kolom nama nggak pernah cukup.

Membaca tulisan Pak Sugiyanto mengenai namanya sendiri yang sangat pendek karena terdiri dari satu kata saja, saya tersenyum—ngakak lebih tepatnya. Dalam hati saya bersyukur tidak mengalami hal serupa. Terutama di bagian punya nama cuma satu kata.

Sebab jika orang-orang yang punya nama satu kata “menderita” di berbagai aspek administrasi kehidupan, saya malah berkebalikan 180 derajat soal nama. Bagi saya orang yang punya nama panjangnya kayak kereta gerbong lah yang berhak merasa repot secara administrasi.

Kayak saya—misalnya, yang punya nama terdiri dari enam kata.

Karena orang dengan nama satu kata mengeluhkan kreativitas bapaknya atau orang yang kasih nama, saya awalnya juga merasa (diam-diam) bangga dengan ke-kreatif-an Bapak di rumah. Bapak saya ternyata amat kreatif, visioner, dan sangat modern.

Namain anak aja kayak lirik pantun. Cakeeep.

Tapi tunggu dulu, apa iya memiliki nama lebih dari satu kata menguntungkan? Apa iya harus disyukuri sebegitunya?

Saya pikir-pikir. Saya pikir ulang. Saya ingat lagi pengalaman masa lalu saya, “Ah, nggak juga tuh.”

Repot mah iya. Kepanjangan. Syukurnya repot-repot nama panjang itu saya rasakan mulai SMP. Sebelumnya tidak.

Kenapa gitu? Begini ceritanya.

Sebelum kenal dan ribet dengan berbagai formulir saya hanya tahu nama Nopa sebagai nama saya. Di rumah, di sekolah, di pasar, di kali, di kebun, di sana, di sini, di mana-mana orang-orang memanggil saya Nopa. Yang aselinya ditulis: Nova.

Oke, sejak dini saya sudah ngeh kalau saya orang Batak. Artinya saya punya marga. Jadi sudah pasti saya paham kalau saya punya nama minimal dua kata. Kalau di usia dini itu saya udah punya paspor, bisa tuh dengan sombong saya pamer punya surname.

Bapak yang keturunan Raja Lottung si sia sada ina, na pasia boruna mewariskan marga Siregar ke saya. Jadilah… Nova Siregar.

Itu nama saya yang saya ingat sampai lulus TK.

Iklan

Itu baru dua ya, empat sisanya nanti. Sabar.

Lanjut!

Lalu saat hendak mendaftar les bahasa inggris, di kelas 3 SD, saya tahu nama saya yang lain: Basa.

Tante saya menyebut nama itu sebelum kata Nova. Saya ingat waktu itu yang menulis di buku induk peserta les adalah Bu Dwi. Pengajar di Omega Education Center di Liwa, Lampung Barat, saat saya sekolah.

Bu Dwi awalnya sempat salah nulis, Bossanova.

Satu komentar keluar, “Bapaknya suka jazz nih kayaknya”. Tante saya buru-buru mengoreksi, “B-A-S-A, Bu, ngga ada ‘o’ dan ‘s’-nya satu aja. Terus dipisah sama Nova, Bu.”

Jadilah… Basa Nova Siregar. Itu nama saya yang saya ingat sampai lulus SD. Oke, gerbongnya tambah satu lagi.

Lulus dari SD masa SMP pun tiba.

Di kelas saat pelajaran IPA, saya jadi bahan becandaan seru waktu materi asam-basa. Seru buat mereka dan buat saya. Ada perasaan bangga karena berpikir bahwa ada kemungkinan inilah alasan kenapa nama saya Basa.

“Bapak demen kimia nih kayaknya. Atau malah dulunya jenius kimia tersembunyi kayak Walter White di serial TV Breaking Bad? Waaah.”

Dan sejak SMP itu saya fine-fine aja dengan kalimat-kalimat lontaran kawan macam begini: “Weee, pH nya lebih dari 7.”

“Sini coba pegang kertas lakmus merah, pasti berubah warna.”

“Kamu itu pahit dan licin sekali, Basaaa.”

“Arrhenius itu siapamu, Bas?”; atau…

“Apa bener kalo kamu berendam dalam air bisa menghasilkan ion OH-?”

Maaf ya buat yang SMA-nya IPS kalau kalian nggak paham guyonan anak kimia. Maaf. Ini bukan mau soksokan jadi anak eksak kok.

Masa SMP itu juga adalah masa di mana saya mulai sering mengisi nama lengkap di berbagai formulir. Nama yang harus matching dengan dokumen-dokumen lain.

Di masa ini saya jadi sering melihat dokumen-dokumen pribadi seperti Akta Kelahiran, Surat Baptis, dan Ijasah dari dua jenjang pendidikan sebelumnya.

Ternyata, setelah melakukan penelusuran panjang, jeng-jeng-jeng… nama saya 3 kata lebih panjang dari yang saya ingat sejak kecil. Alamak!

Begini. Setelah Nova ternyata ada Tria. Setelah Tria ada Manambual. Setelah Manambual ada Palembang. Dan barulah Siregar ada di belakang. Benar-benar kereta gerbong ini.

Sekarang saya mikir, waktu Ujian Nasional SD harusnya saya sudah ngeh soal ini kan?

Apalagi pas ngisi kolom nama di lembar jawab komputer yang harus melingkari sampai hitam penuh itu. Sedihnya, saya ngga ngeh dan nggak inget. Cuma inget momen di mana saya harus mengisi kolom identitas saya selalu lebih lama dari kawan lain.

Kalau dalam proses ngisi nama dalam lembar jawab komputer UAN sebagian orang bisa ninggalin dulu dan ngisi belakangan, saya jelas nggak bisa.

Sebab mau sepanjang apa pun kolom nama mereka sediakan untuk lembar jawab komputer, nama saya tak pernah muat. Akhirnya mungkin saat itu saya cuma kasih inisial aja di beberapa kata di nama saya. Itu pun hitungannya masih puuuanjang juga.

Saya sendiri pernah bertanya langsung ke Bapak, “Pak, namaku kok banyak banget? Kepanjangan tahu, Pak.”

“Banyak gitu karena banyak yang sayang, Nop.”

“Maksudnya?”

Bapak langsung berkisah,

“Gini, Nang. Kamu itu dulu kami tunggu lamaaa kali. Sembilan tahun setelah nikah baru datang. Semua keluarga senang waktu kamu lahir. Saking senangnya mereka semua semangat nyumbang nama.”

Saya masih nyimak.

“Opung Balige kasih nama ‘Manambual’ yang (katanya) artinya setia. Uda Simanjuntak kasih nama ‘Tria’. Mamak kasih nama ‘Palembang’ karena wangsit dalam mimpi. Nah, kalau Bapak kasih nama ‘Basa’ karena kamu itu berkat.”

“Kalau Nova?”

“Itu karena lahir di bulan November, Nang.”

“Oh.”

“Bapak ini sih pengennya namamu cuma Basa Nova Siregar, yang berarti ‘berkat bulan November di keluarga Siregar’. Tapi kan nggak boleh egois. Semua saran ya Bapak masukkan jadinya. Dang tabo bah (nggak enak lah).”

“Jadi bukan karena Bapak suka jazz aliran bossanova?”

“Daong (bukan).”

“Bukan juga karena Bapak seneng kimia?”

“Ya nggak lah, kalau zaman dulu ada pembagian kelas IPA-IPS, bapakmu ini sudah pasti masuk IPS.”

Pfft, ealah. Udah kadung bangga padahal.

Terakhir diperbarui pada 21 Februari 2019 oleh

Tags: JazzkimiaLampungnama bataknama panjangsiregar
Basa Nova Tria Manambual Palembang Siregar

Basa Nova Tria Manambual Palembang Siregar

Rimbawati kesayangan Tuhan

Artikel Terkait

Penipuan love scam: ngaku-ngaku jadi pilot di luar negeri, berhasil pikat perempuan Lampung hingga poroti puluhan juta MOJOK.CO
Ragam

Penyesalan Perempuan Lampung, “Tergila-gila” Lelaki yang Ngaku Jadi Pilot di Luar Negeri Berujung Kehilangan Uang Puluhan Juta

7 Mei 2025
Honda Jazz Mobil Honda yang Memberi Rasa Penyesalan di Akhir MOJOK.CO
Otomojok

Road Trip Nekat ke Ujung Kulon Pakai Mobil Honda Jazz: Mulai dengan Gaya, Pulang dengan Rasa Bersalah

31 Maret 2025
Sialnya Mudik dari Jogja ke Sumatra karena Percaya Pelni-ASDP MOJOK.CO
Esai

Nasib Sial Mudik dari Jogja ke Sumatra via Merak-Bakauheni Akibat Terlalu Berharap ke ASDP dan Pelni

26 Maret 2025
Dusun Girimulyo Kulon Progo- Surga di Bukit Menoreh MOJOK.CO
Esai

Dusun Gunung Kelir Kulon Progo, Rumah Kedua Saya yang Sudah Mengamalkan Pancasila Bahkan Sebelum Pancasila Lahir

17 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.