MOJOK.CO –Pertanyaannya bukanlah; “kok bisa keren sih, sosok muslimah kayak Dewi Nur Aisyah, Dalia Mogahed, sampai Malala Yousafzai?” namun; “yang lain ke mana ya?”
Kebetulan, baru kemarin saya berkesempatan menjadi satu dari ratusan peserta kajian kemuslimahan nasional sebuah kampus. Dari pemilihan temanya, Being an Outstanding Muslimah till Jannah, sepertinya target peserta acara itu mahasiswa (baru) yang haus motivasi berprestasi.
Not really my cup of tea, actually, tapi karena sudah kadung ngefans sama pembicaranya, jadilah perjalanan 20 kilometer lebih itu saya tempuh demi mendekati sumber ilmu.
Masyaallah tabarakallah.
Lalu saya dikenalkan dengan Dewi Nur Aisyah melalui algoritma Instagram. Ukhti Dewi ini muslimah muda yang cukup langka di belantara promotor hijrah dan nikah muda. Dengan gaya anti riya’ Ukh Dewi kerap berbagi inspirasi kepada 70 ribuan pengikutnya.
Misalnya tentang mesin pendeteksi tuberkolosis pertama yang diciptakannya bersama Tim Garuda 45. Atau penelitiannya soal Hepatitis yang berkontribusi penting sebagai bahan review kebijakan Pemerintah Inggris, tempatnya menyelesaikan studi doktoral di University College London.
Juga ketika setiap pertikaian soal halal dan haram vaksin mencuat ke publik, dengan keilmuan dan kepercayaannya Ukh Dewi bisa menjelaskan kenapa dia lebih memilih memberi vaksin anaknya.
Selama talkshow Ukh Dewi kerap mengulang pengalamannya mengikuti berbagai forum bergengsi internasional sebagai satu-satunya muslim yang… satu-satunya muslimah yang… satu-satunya hijaber yang…
satu-satunya.
Pertama kali mendengar, saya jelas auto-kagum. Bangga dong, saudara muslimah kami keren sekali! Dari ratusan peserta, dia satu-satunya muslimah dan—tentu saja—berjilbab!
Masyaallah tabarakallah.
Akan tetapi setelah merenungkannya kembali masak-masak, saya justru merasa sedih. Ketika bertahun-tahun Ukh Dewi kerap menjadi satu-satunya peserta muslimah di even bergengsi internasional, pertanyaannya bukanlah; “kok bisa keren banget sih, Ukh?” melainkan; “muslimah lainnya ke mana, Ukh?”
Bahkan di luar bidang keahlian Ukh Dewi (kesehatan), referensi muslimah berprestasi atau berpengaruh di dunia juga—bisa dibilang—minim sekali. Beberapa yang kemudian dianggap “muslimah luar biasa” bahkan sebenarnya biasa saja. Hal yang jika dilakukan laki-laki atau perempuan umum adalah biasa, mendadak jadi jauh lebih hebat ketika dilakukan seorang muslimah.
Misalnya, Dalia Mogahed di Amerika Serikat. Ukhti Dalia menjadi viral karena menjadi muslimah pertama yang bekerja di Gedung Putih semasa Pemerintahan Barack Obama. Sebagai muslimah berdarah Mesir, Ukh Dalia menjadi penasihat isu-isu umat Islam di Amerika dan Timur Tengah.
Ukh Dalia dianggap luar biasa karena sebelumnya memang belum ada satu muslimah pun yang pernah bekerja di Gedung Putih—apalagi sampai jadi penasihat presiden. Padahal sebagai anak Kajian Amerika, tidak bermaksud mengecilkan peran Ukhti Dalia, dalam publikasi sosok muslimah tersebut malah Barack Obama yang sebenarnya luar biasa.
Sebab, sepanjang sejarah Amerika, Pemerintahan Obama dikenal paling akrab dengan komunitas Muslim. Merekrut muslimah berhijab sebagai staf Gedung Putih nggak cuma bagus buat mendukung citraan itu. Secara profesionalisme, pengalaman, dan perspektif, Ukh Dalia sebagai muslimah berfungsi efektif untuk merancang kebijakan bagi warga Amerika yang muslim dan urusan Timur Tengah. Hal yang bisa jadi tidak dimiliki Obama kalau merekrut warga Amerika non-muslim.
Selain Ukh Dalia, di beda belahan dunia lain ada juga sosok Malala Yousafzai. Ukhti Malala pernah viral sebagai peraih Nobel Perdamaian termuda pada usia 17 tahun. Pengakuan ini diberikan untuk mengapresiasi keberaniannya dalam memperjuangkan hak pendidikan perempuan di tengah serangan Taliban.
Meski begitu, ada hal kemudian muncul dalam benak saya. Seperti halnya yang dilakukan Ukh Dewi dan Ukh Dalia, kalu dipikir lebih dalam lagi sebenarnya hal yang dilakukan Ukh Malala juga biasa saja. Maksudnya, secara esensi bukan sesuatu yang belum pernah dilakukan muslimah terdahulu. Tapi kenapa ketika sekarang hal-hal itu dilakukan perempuan, apalagi muslimah, seolah jadi spesial sekali?
Jawaban pahitnya adalah karena saat ini jarang sekali ada muslimah yang melakukan hal-hal “biasa” itu. Kenapa jarang? Jawaban pahit selanjutnya adalah karena muslimah tidak pernah benar-benar diberi kesempatan.
Nggak usah ngeles, Mz. That’s the fact.
Harus diakui, ruang gerak perempuan masih dibatasi oleh alam patriarki yang sesungguhnya sangat nggak nyunnah. Iya sih, muslimah boleh sekolah tinggi, tapi ketika mau memanfaatkan ilmunya selain sebagai madrasatul ula, pemandangan bakal ditentang sampai ditakut-takuti jadi pemandangan biasa.
Pada akhirnya muslimah lemah ghirah buta sirah bakalan menyerah sebelum memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Masalahnya, di beberapa wilayah dengan kekuasaan Islam yang mengontrol, entah kenapa justru pemandangan ini jamak terjadi. Paling tidak, kita bisa berkaca dari tempat tinggal Ukhti Malala, di mana muslimah bahkan dilarang sekolah.
Makanya ketika Ukh Malala berani melawan larangan diskriminatif tersebut, sosoknya menjadi luar biasa. Padahal kalau kita mau ingat lagi peristiwa pada zaman Nabi, salah satu cendekia terbaik yang pernah dimiliki umat Islam juga merupakan sosok perempuan, yakni Sayyidatina Aisyah.
Narasi yang berseliweran akan berbunyi; muslimah juga boleh kerja di ruang publik, tapi hanya sebagai karyawan. Mau jadi pemimpin? Eit, tunggu dulu.
Ada semacam gelas kaca yang membatasi gerak vertikal bagi perempuan. Bahkan bagi perempuan pada umumnya dan muslimah pada khususnya, upaya naik jabatan sebagai sarana upgrade diri saja cenderung sangat (diper)sulit.
Apalagi di lembaga islami di mana “amanah rumah” sering dijadikan alasan muslimah tidak diberi jabatan strategis layaknya laki-laki. Sayangnya untuk beban kerja (bukan jabatan) ketidaksetaraan ini nggak berlaku. Ini bukan perkara nggak ikhlas mengabdi apalagi gila jabatan, ya Akhi. Ini perihal apresiasi prestasi dan sikap profesional. Tentu tidak semua lembaga islami begitu sih, but mostly.
Sedihnya justru di lembaga sekuler, di mana “syariat” meritokrasi pekerjaan yang sempurna, para muslimah malah bisa mengembangkan diri lebih baik. Sebagaimana Ukhti Dewi, Ukhti Dalia, dan Ukhti Malala diapresiasi komunitas sekuler. Sementara bisa jadi oleh saudara muslim sendiri mereka dianggap melanggar fitrah.
Padahal pada zaman Kekhalifahan Umar, muslimah juga diangkat untuk posisi strategis publik seperti pengawas pasar yang disebut asy-syifa. Sedangkan saat ini, kita sangat paham betapa pentingnya peran pasar pada masa itu.
Kisah Sayyidatina Aisyah dan asy-syifa sudah terjadi ratusan tahun lalu. Wajar sepertinya kita mulai lupa pada teladan “muslimah biasa” itu dan justru melompat mundur.
Keadaan muslimah hari ini yang kemudian membuat kita jadi begitu mudah kagum melihat muslimah hijaber berprestasi. Lalu ramai-ramai membahas agama dan jilbabnya. Bukan keahliannya. Duh, kan syedih.
Padahal seingat saya—kecuali acara fashion—dalam forum akademik atau profesional internasional, orang-orang tidak membicarakan apa pakaianmu, apa yang ada di balik jilbabmu, melainkan isi kepala dan cara berpikirmu. Di ruang kerja profesional, orang tidak melihat apa agamamu atau seberapa lebar ukuran jilbabmu. Sepanjang kamu berkualitas di bidangmu, kamu akan dihormati sebagai manusia yang setara.
Nah, kalau setiap ada muslimah berjilbab berprestasi internasional kita kagum dengan terus-terusan hanya berbincang perihal bagaimana dia bisa bertahan dengan mengenakan jilbabnya, maka selamanya kita nggak akan ke mana-mana, Ukh.
Meski begitu, harus diakui, motivasi saya ikut kajian semacam ini awalnya karena kekaguman kepada sosok Ukh Dewi. Soalnya ya kayak kalian-kalian itu, saya juga lebih nyaman bertepuk tangan di bawah panggung sambil berujar; “Masyaallah tabarakallah!” ketimbang menjalani laku itqon (profesional) dan jiddiyah (sungguh-sungguh) di bidang masing-masing.
Lagipula kalau semua jadi muslimah luar biasa bukannya nanti malah jadi biasa saja ya? Eh.