Saya seorang “Muhammadiyah kultural”. Saya tahu, istilah itu terdengar agak gimanaaa gitu. Mungkin malah bermasalah secara epistemologis.
NU kultural jelas eksis dan sering disebut. Tapi, Muhammadiyah kultural memunculkan aroma contradictio in terminis. Muhammadiyah kok kultural? Muhammadiyah lahir untuk melawan kultur-kultur yang dianggap tidak sesuai ajaran Islam, hingga muncullah jargon kondang anti-TBC: tahayul, bid’ah, dan churafat. “Muhammadiyah” dan “kultur” rasanya jadi dua hal yang bisa saja sih dijejerkan, tapi nggak bakal rukun-rukun amat.
Ah, lupakan soal tak penting itu. Yang saya maksud dengan Muhammadiyah kultural ya tak lebih dari orang yang lahir dari keluarga Muhammadiyah, tidak pernah aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah, tidak pernah juga belajar di sekolah Muhammadiyah, namun tetap merasa diri sebagai warga Muhammadiyah.
Lantas dari mana perasaan kemuhammadiyahan itu muncul? Entahlah. Mungkin karena saya dibesarkan oleh orang tua muslim yang memegang teguh tiga hal, yakni Quran, Hadis, dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Mungkin karena seumur-umur saya nggak pernah bisa bacaan qunut buat sholat Subuh. Mungkin karena teman saya di waktu kecil adalah Majalah Suara Muhammadiyah, bukan Bangkit, Aula, apalagi Bobo.
Sebagai warga Muhammadiyah informal, saya tak terlalu paham dengan dinamika persyarikatan dan semacamnya. Yang saya amati cuma kecenderungan posisi-posisi politik Muhammadiyah, pernyataan-pernyataan para tokohnya, dan karakter orang-orangnya.
Poin terakhir itulah yang belakangan ini membawa saya kepada kesadaran mengejutkan, yang berujung pada satu pertanyaan terpenting bagi nasib peradaban: kenapa anak-anak muda Muhammadiyah zaman ini jarang ada yang lucu?
Berkali-kali kali saya kepergok dengan jenis yang terlalu tegang begitu. Ndilalah, begitu kegalauan tentang minimnya SDM muda lucu di Muhammadiyah ini saya posting di Fesbuk, banyak sekali teman yang membenarkannya! Hiahaha.
Memang sih, sulit mendefinisikan apa itu kurang lucu. Lucu dan tak lucu adalah perkara yang dirasakan, bukan dijelaskan secara rasional. Namun pastinya, anak-anak muda Muhammadiyah sekarang kebanyakan tegang-tegang, apa-apa dibawa seriuuuus.
Coba, saya pernah bilang waktu Hari Santri 22 Oktober, “Saya mewakili Muhammadiyah Merah, mengucapkan Selamat Hari Santri bagi yang merayakan.” Eh, ada teman Muhammadiyah yang mencecar saya, mengira saya mau memecah belah! Agak panik, saya pun menjelaskan bahwa Muhammadiyah Merah adalah anak Muhammadiyah yang suka pakai kaos merah. Dia pun mingkem dan tenang, hingga saya bisa segera mengambil nafas lega. Fiuuuhhh ….
Ada lagi anak muda Muhammadiyah yang bertanya apa saya masih merokok atau enggak. Saya jawab, iya. Dia langsung menariknya ke fatwa Majelis Tarjih tentang keharaman rokok, lalu mendoakan saya dengan ndridhil agar saya segera lepas dari candu rokok. Saya pun menimpali apa adanya, “Mas, sebenarnya saya nggak pernah mencandu rokok. Ngrokok enak, tapi mencandu enggak. Seminggu nggak ngrokok juga nggak papa kok. Malahan saya lebih kecanduan Fesbuk. Doakan saja agar saya bisa lepas dari candu Fesbuk ya Mas, hahaha.”
Sebenarnya saya berharap dia menyambut kalimat saya itu dengan “Wkwkwk rupamuuu, kalo itu sih aku juga sama broooo …” atau yang semacamnya. Namun, ternyata jawabannya, “Saya doakan semoga Mas Iqbal segera berhenti merokok, dan menjadikan Fesbuknya sebagai sarana untuk meningkatkan dakwah Islam ….”
Allahuakbar. Benar-benar jawaban yang sangat Muhammadiyah. Serius bingiiittt. Saya pun langsung merinding dan tak berani menjawab lagi.
Masih banyak contoh kejadian kecil lain, tapi kepanjangan kalau saya ceritakan. Tentu tidak semua begitu, saya tahu. Teman-teman saya di Muhammadiyah Perth juga termasuk yang gayeng-gayeng. Namun, rasanya lebih sering saya ketemu saudara seormas dari versi jidat berkerut, dan agak kurang yoi buat diajak bercanda.
Pada generasi bapak-bapak kita, rasa-rasanya kok tidak sekenceng sekarang ini. Teman-teman di Jogja tentu kenal Pak Musthofa W. Hasyim, Pak Harwanto Dahlan almarhum, atau yang dari mBantul ya Pak Syaebani van Melikan yang lucunya ngudubilah itu. Di generasi atasnya lagi, yang jauh lebih fenomenal ya Ketua PP sendiri, yaitu KH AR Fakhruddin alias Pak AR.
Pak AR memang lucu dan menyenangkan. Masih terekam di ingatan saya, waktu kecil saya sering diajak Almarhum Bapak untuk ikut pengajian Pak AR di halaman SD Muhammadiyah Mrisi. Tentu saya tak ingat apa saja yang disampaikan Pak AR. Tapi, lumayan membekas di memori saya bahwa beliau adalah sosok yang berwibawa namun bersahaja, sejuk raut wajahnya, empuk suaranya, dan lucu-lucu guyonannya.
Beliau juga sangat apa adanya. Pada masanya, ketua ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu masih suka melayani sendiri orang yang beli bensin eceran di rumahnya, bepergian ke mana-mana dengan sepeda motor Yamaha bututnya, dan kalau ngisi pengajian masih tetap sambil kebal-kebul dengan kreteknya.
Sampai di sini saya jadi tercenung. Rokok! Jangan-jangan itu jawabannya! Mungkinkah anak-anak muda Muhammadiyah jadi hilang lucunya sejak muncul fatwa haram rokok dari Majelis Tarjih? Oh ….
Waktu Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tujuh tahun silam di Jogja, saya juga sempat usil. Saya jualan kaos di ajang muktamar. Salah satu desain kaos saya itu bergambar Pak AR sedang duduk pegang rokok, dan di bawahnya terpampang tulisan gede: “KH AR Fakhruddin: The Smoking Kyai of Muhammadiyah”.
Saya merasa ide itu sangat jenial, dan saya ngakak-ngakak sendirian. Namun, begitu kaos itu saya tawarkan ke seorang pengunjung, bukannya mecucu sambil muring-muring “Wuooo, asem kowe, dab, tak laporke Ustadz Yunahar lhooo!” atau ekspresi begituan, dia malah memaparkan dengan nada datar dan dingin bahwa dirinya bergabung sebagai salah satu relawan di Klinik Berhenti Merokok-nya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Omaigat ….
Jangan terburu sensi, saya tidak serius menuding fatwa haram rokok sebagai musabab hilangnya selera lucu anak-anak muda Muhammadiyah. Itu terlalu subversif. Ada hal lain yang saya temukan, masih dari ajang Muktamar Satu Abad.
Ceritanya, siang itu saya memeriksa stan-stan yang saya titipi kaos saya. Ada Gus Indi Aunullah bersama saya. Dia seorang pemuda NU yang ikut inves di gelaran kaos saya. Nah, setelah keliling sana-sini, wajah Gus Indi mengernyit. “Kok sepi banget?”
Weits. Saya kaget. Buat saya, suasana hari itu sudah lumayan. Minimal cuaca sedang bersahabat.
“Lha kalau Muktamar NU tuh rame terus tiap hari je,” kata Gus Indi, masih dengan raut tak habis pikir.
Berangkat dari situlah kami mengolah deretan fakta, lalu menemukan peta yang sangat penting untuk pemahaman sosiologis atas NU dan Muhammadiyah.
Pendeknya, di Muktamar Muhammadiyah cuma ada dua hari saja yang ramai: pembukaan dan penutupan. Pada hari-hari di antara dua even itu para muktamirin sibuk mengikuti agenda acara, dan para penggembira sibuk jalan-jalan ke lokasi wisata di sekitaran lokasi muktamar. Itu beda jauh dengan Muktamar NU. Gus Indi yang alumnus PP Lirboyo itu menyaksikan, dulu waktu muktamar digelar di almamaternya, para penggembira tiap hari ngideeer terus di ajang muktamar. Kenapa begitu?
Jawabnya: barokah para kyai. Benar, Muktamar NU adalah ajang ratusan kyai sepuh, tuan guru, ajengan, hingga para gus kumpul tumplek bleg. Tanpa harus sowan dari pesantren satu ke pesantren lain di seantero wilayah Nusantara, ribuan warga nahdliyyin cukup datang ke muktamar. Sepekan penuh bisa habis dialokasikan untuk memburu berkah, dengan menciumi tangan beliau-beliau para kekasih Allah itu. Nah, sambil setiap saat menunggu papasan dengan para kyai, warga nahdliyyin nongkrong. Maka ribuan perjumpaan pun terjadi, jutaan percakapan tercipta.
Itu agak beda dengan di Muktamar Muhammadiyah. Boro-boro cari berkah, karena itu bid’ah. Papasan sama Profesor Doktor Haji Muhammad Amien Rais saja paling-paling cuma manthuk “Monggo, Paaak …,” gitu, atau maksimal salaman. Kalau mau cium tangan beliau bisa-bisa malah nganu.
Barangkali di sinilah kuncinya, kenapa kelucuan tak cukup terproduksi secara masif di kalangan Muhammadiyah. Anak-anak Muhammadiyah itu kurang nongkrong. Itu dia. Mereka berkumpul cuma untuk rapat organisasi, atau untuk pengajian. Rasanya tak cukup banyak kesempatan dan ruang-ruang buat cangkrukan nggak penting. Padahal dari glenyengan begituan, akan muncul beragam peristiwa, anekdot-anekdot, cerita tutur, dan khazanah folkor. Kalau kerangkanya selalu rapat dan diskusi, skill untuk menanggapi realitas dengan style glenyengan sambil menertawakan diri sendiri juga mustahil tumbuh subur.
Saya tahu, krisis kelucuan nggak bakalan masuk dalam agenda rapat Pimpinan Pusat. Namun, bagi saya dan jutaan orang lain seperti saya, aspek kehangatan semacam itu yang justru hadir dengan sangat riil, dan akan mewarnai cita rasa hubungan kasih sayang kami (ehem) dengan organisasi.
Dalam hal ini, bibit-bibit muda Muhammadiyah rasanya perlu berendah hati untuk belajar dari kawan-kawan NU, dan jangan melulu menjadikan PKS dan HTI (yang sama sekali nggak lucu itu) sebagai kawan seiring seperjuangan. Tanpa kelucuan, kehangatan kehidupan berormas dan beragama akan sulit terbangun.
Tenang saja, meski saya merokok, dan meski berkali-kali ada oknum intelektual muda nahdliyyin menawari saya KartaNu, saya tetap Muhammadiyah. Bagi saya perkara ormas ini pokoke pejah gesang ndherek simbok hahaha! Selama emak saya masih fanatik Muhammadiyah, saya akan terus di situ. Dan meski saya tetap ogah masuk struktur, kalau sudah pulang ke mBantul saya kepingin nongkrong ra mutu bareng teman-teman muda Muhammadiyah.
Sembari itu, saya mau menulis buku Kumpulan Humor Muhammadiyah. Tapi … apa bahannya ada?