MOJOK.CO – Terakhir kali lembar uang Rupiah bergambar presiden berkuasa itu sekitar 20-an tahun lalu. Kalau gambar wayang? Terakhir ya 60-an tahun lalu.
Sudah dari dulu, lembaran Rupiah itu bagi orang Indonesia senantiasa terlihat tak seindah aneka valas milik negeri-negeri seberang. Dibanding Dolar Amerika, Poundsterling, Euro, Riyal, Dolar Singapura, Dolar Australia, ataupun Ringgit, mata uang Rupiah Indonesia terkesan kurang menarik.
Bagi yang serius menghindari jalan riba ataupun menekuni investasi logam mulia, lembaran Rupiah pasti tampak tak segagah kepingan Dinar-Dirham. Bagi generasi kiwari pun Rupiah juga kalah seksi dari duit-duit kripto semacam Bitcoin dan semacamnya.
Namun, berhubung Rupiah masih sah dipakai untuk aneka transaksi di republik ini, mau seburuk apapun reputasinya dibanding beberapa mata uang lain, orang-orang juga masih penuh sukacita jika dompet atau dompetnya berkelimpahan Rupiah.
Setidaknya Rupiah toh tidak sampai sebapuk mata uang Zimbabwe atau Venezuela kan? Masih bisa dipakai beli beras sampai boba, bayar tukang parkir sampai nyemplungin kotak amal, atau dipakai politisi untuk kasih serangan fajar. Meski begitu—entah dengan mata uang negara lagi—Rupiah ternyata memiliki suatu mitos yang unik. Mitos yang rada-rada klenik.
Nah, klenik tersebut muncul berkaitan dengan perkembangan politik serta geger yang dihubungkan dengan sejumlah pecahan uang Gulden yang diedarkan Pemerintah Kolonial Belanda akhir 1930-an hingga awal 1940-an.
Ada sejumlah pecahan Gulden/Rupiah yang diedarkan Pemerintah Pendudukan Jepang pada 1942-1945. Ada juga sejumlah pecahan Rupiah yang diterbitkan Indonesia pada periode Perang Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 dan 1950 serta 1964, juga suatu pecahan Rupiah yang diterbitkan Indonesia pada 1993 dan 1995.
Semuanya tadi konon memiliki keterkaitan atau bahkan tuah negatif yang dibawa penggunaan gambar wayang orang dan atau gambar presiden yang berkuasa. Boleh percaya atau tidak penggunaan dua macam gambar tadi ternyata konon dapat mendatangkan petaka bagi negeri (dalam hitungan selambatnya setengah dasawarsa).
Nah, jika mengecek data numismatika, Anda akan menyadari bahwa Indonesia terakhir kali menerbitkan lembaran uang Rupiah bergambar presiden berkuasa sudah lebih dari seperempat abad lalu, dan terakhir kali menerbitkan lembaran uang bergambar kesenian wayang orang adalah hampir enam dasawarsa silam.
Oleh sejumlah orang yang percaya mitos klenik semacam itu. Bahkan, otoritas keuangan republik ini pun terkesan memilih berpantang menggunakan dua macam gambar tadi di lembaran Rupiah.
Gambar wayang orang dapat memicu bubarnya negara
Bank sentral Koloni Hindia Belanda, De Javasche Bank, menerbitkan suatu seri uang kertas Gulden bergambar tokoh-tokoh wayang orang pada 1938.
Tak tanggung-tanggung, seri tersebut terdiri atas 8 pecahan duit Gulden, yakni 5, 10, 25, 50, 100, 200, 500, serta 1000. Empat tahun dari penerbitan seri Gulden bergambar wayang orang tadi, yakni 1942, Hindia Belanda runtuh ditaklukkan Bala Tentara Kekaisaran Jepang.
Pemerintah Pendudukan Jepang sebagai pengganti Kolonial Belanda menerbitkan sejumlah uang Gulden/Rupiah sebagai pengganti uang-uang Gulden Belanda. Dua di antara pecahan uang terbitan Pemerintah Pendudukan Jepang itu ternyata juga memuat gambar wayang orang.
Pecahan 10 Rupiah bergambar Gatotkaca, sedangkan pecahan 100 Rupiah bergambar jata makutha supit urang yang memang lazim dikenakan sebagai penutup kepala sejumlah pemeran dalam pertunjukan wayang orang. Masa pendudukan Jepang pun ternyata hanya bertahan 3,5 tahun.
Pemerintah Indonesia pada 1961 dan 1964 menerbitkan juga dua pecahan Rupiah bergambar wayang orang, yakni Rp1 dan Rp2 ½.
Nyatanya Indonesia dilanda geger politik besar pada 1965-1966. Sukarno yang pada awal 1960-an tampak begitu perkasa, mencetuskan dua kampanye militer besar terhadap Belanda di Papua, juga terhadap Inggris di Malaya dan Kalimantan Utara, ternyata mengalami kemerosotan kekuasaan, lalu kehilangan jabatan pada 1967.
Pengalaman buruk yang dialami Hindia Belanda, Pemerintah Pendudukan Jepang, maupun Rezim Demokrasi Terpimpinnya Sukarno pada medio 1960-an, rupanya membuat jeri para penguasa Indonesia pada tahun-tahun setelahnya.
Toh sampai sekarang tidak ada yang berani menerbitkan duit Rupiah memakai gambar wayang orang kan?
Gambar presiden bikin yang bersangkutan lengser
Sepanjang menjabat Presiden pada 1940-an hingga medio 1960-an, Sukarno merasakan pengalaman bahwa wajahnya digunakan untuk menghiasi lembaran Rupiah yang diterbitkan Republik. Selama Revolusi Kemerdekaan 1945-1947, ada banyak pecahan Rupiah yang diterbitkan Pemerintah Pusat maupun oleh Daerah memakai wajah Sukarno.
Pada tahun-tahun tersebut stabilitas negara jauh dari kata baik. Belanda tercatat dua kali meluncurkan kampanye militer besar—Agresi I dan Agresi II—yang merebut banyak wilayah Republik. Dalam Agresi II, Sukarno dan Hatta bahkan sampai ditawan pasukan penyerbu Belanda yang berhasil merebut ibukota Indonesia.
Masuk era Republik Indonesia Serikat, Rupiah kembali memiliki pecahan 5 dan 10 yang bergambar Presiden Sukarno.
Negara yang baru saja mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda dan berhasil masuk jadi anggota PBB ini diguncang beberapa pemberontakan besar sekaligus: APRA di Bandung, DI/TII yang terutama membakar Jawa Barat, Peristiwa Andi Aziz di Makassar, juga Republik Maluku Selatan di Maluku.
Indonesia kembali menerbitkan pecahan-pecahan Rupiah yang bergambar sang presiden petahana, Sukarno, sejak 1960.
Nah, tadi saya sudah cerita tentang uang-uang Rupiah terbitan 1961 dan 1964 yang bergambar wayang orang. Lembaran uang tersebut juga sekaligus bergambar wajah Presiden Sukarno.
Jadi Sukarno kehilangan jabatan Presiden hanya berselang 3-6 tahun dari penerbitan seri uang Rupiah yang dalam lembarannya memuat secara sekaligus gambar potret dirinya serta gambar tokoh wayang orang.
Berjarak sekitar tiga dasawarsa dari penerbitan terakhir uang Rupiah yang dihiasi gambar presiden petahana, Pemerintah Indonesia era Orde Baru menyusul menerbitkan lembaran Rp50.000 bergambar Presiden Soeharto. Pecahan bergambar Soeharto itu sekaligus memuat gelar “Bapak Pembangunan Indonesia”.
Pecahan tersebut boleh dibilang merepresentasikan kepercayaan diri Soeharto pada paruh pertama 1990-an sebagai sosok penguasa besar Indonesia. Kala itu, sebuah media Luar Negeri bahkan sempat menyebutnya sebagai Pemimpin Terkuat di Asia.
Namun, siapa sangka (sebenarnya nyangka juga sih) berselang lima tahun sejak terbitnya lembaran Rupiah berpotret dirinya, Soeharto dipaksa mundur dari jabatannya, terhempas badai krisis ekonomi dan gelombang reformasi.
Hal inilah yang kemudian oleh beberapa orang dibaca sebagai salah satu mitos rupiah. Kalau gambar wayang negara bakal geger, kalau gambar presiden petahana, maka yang bersangkutan bakal segera lengser.
Oleh sebab itu, buat Anda-anda yang ingin melakukan kudeta, monggo, ini salah satu langkah kecil yang bisa dicoba. Ketimbang otran-otran kudeta lewat militer, mungkin bisa dibuka jalur baru dalam bentuk kudeta tapi dari jalur otoritas penentu gambar di lembar mata uang negara.
Dari sana lalu bikin dua lembar mata uang Rupiah, gambar presiden yang lagi menjabat dan wayang. Dalangnya sih nggak perlu. Coba aja dulu bikin kebijakan dadakan begitu. Bener nggak mitosnya. Soal hasil tinggal pikir belakangan.
Kan lumayan. Kalau berhasil bisa menguasai negara dan melahirkan salah satu cabang kudeta terbarukan. Kalau gagal? Yah, setidaknya nggak bakal kelewat malu karena nggak banyak juga orang di republik ini yang tahu.
BACA JUGA Ramalan Jayabaya Tidak Dibuat oleh Raja Jayabaya dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.