Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Meredam Panas Palu-Arit: Belajar dari Pendekar Khilafah

Iqbal Aji Daryono oleh Iqbal Aji Daryono
15 Mei 2016
A A
Meredam Panas Palu-Arit: Belajar dari Pendekar Khilafah

Meredam Panas Palu-Arit: Belajar dari Pendekar Khilafah

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ribut simbol-simbol PKI terus memanas, dan membawa akibat-akibat lanjutan. Oke, mungkin memang ada kekuatan yang bermain, untuk menjalankan agenda ini-itu. Tapi melihat satu-dua kasusnya, semisal anak muda yang pamer kaos palu-arit dalam sebuah aksi buruh, situasi ini bukan semata bikinan. Banyak juga akibat kecerobohan.

Aksi kalian yang hora-hore pakai kaos palu-arit dan di-share ke mana-mana itu blas bukan tindakan ideologis, kalau saya bilang. Wong palingan juga cuma kaos oleh-oleh para borjuis kecil yang habis pelesiran ke Vietnam, kan? Itu semua tak lebih dari kelakuan caper dan childish dari orang yang mengidap krisis aktualisasi.

Nggak usah manyun ngambek gitu, Mas. Bahwa kalian memang ingin turut menghapus stigma-stigma bikinan Orde Baru, oke lah. Bahwa kalian menuntut negara meluruskan sejarah yang dimanipulasi kekuasaan, boleh. Bahwa kalian ikut memperjuangkan agar kejahatan kemanusiaan dibongkar, ayo aja. Tapi kalau beneran sederet visi itu yang dikejar, chibi-chibi pakai kaos palu-arit justru akan mengacaukan semuanya.

Begini maksud saya. Permintaan maaf negara kepada keluarga korban kejahatan kemanusiaan (oleh negara juga) di tahun 1965-1966 itu satu hal prinsip, dan saya pun sepenuh hati mendukungnya. Namun itu sama sekali berbeda dengan permintaan maaf negara kepada PKI, apatah lagi sedangkal menuntut negara menerima tren fashion yang bau-bau PKI.

Pada satu titik, gegayaan caper pakai kaos komunis malah akan semakin mengaburkan kejernihan pemahaman publik awam, yang memang masih sangat terbatas pengetahuannya. Sebab seiring perjuangan melawan impunitas dan pelurusan sejarah, kalian nongal-nongol memajang simbol yang—harus diakui—dibenci oleh jutaan manusia se-Nusantara.

Seturut hukum psikologi classical conditioning ala Ivan Pavlov (dia ini sama sekali nggak ada hubugan darah sama Ivan Gunawan, lho ya), publik pun akhirnya jadi gagal memilah antara “melawan impunitas atas kejahatan kemanusiaan oleh negara” dengan “mengampanyekan komunisme”. Hasilnya, kedua hal yang sangat berbeda itu jadi rancu campur aduk.

Daaan… salah satu yang bikin rancu justru malah aktipis-aktipis gatel, yang merasa keren show off pakai kaos palu arit hehehe.

Tidak berhenti sampai di situ, Kawan. Yang terbaru, tindakan-tindakan caper demi gegayaan kalian itu langsung disambar dengan trengginas oleh mereka-yang-punya-agenda. Hanya karena kalian caper, para-pemilik-agenda itu jadi dapat rejeki nomplok, berupa legitimasi nyata. “Lihat! Komunis sudah berani terang-terangan menampakkan diri! Mereka tak takut lagi kepada kita! Umat Islam dan TNI harus bersatu menghadang! Rapatkan barisan! Ayo bergerak!” Modiar. Bodhol bakule slondok.

Buntutnya, apa yang selama ini sudah berhasil kita capai dengan menyenangkan, jadi malah mulai mawut-mawut lagi.

Pencapaian yang saya maksud adalah kebebasan membicarakan seputaran ‘65 melalui buku-buku. Benar bahwa penayangan film yang mengkritik sejarah resmi 1965 pada dilarang di mana-mana. Benar bahwa pertunjukan apa pun yang bisa disenggolkan sedikit dengan komunis pada dibubarkan (kecuali di Bandung, yang berhasil dilindungi Kang Ridwan Kamil—pemimpin muda yang sama sekali tak pernah dituduh sebagai anak PKI itu). Tapi untuk buku-buku, selama ini sebenarnya baik-baik saja, to? Maka pasca-Suharto kita sudah bebas mengakses buku-buku Ben Anderson, Ruth McVey, Olle Tornquist, hingga sejarawan dari negeri sendiri semisal Asvi Warman Adam hingga Hilmar Farid.

Tapi semua nikmat itu sekarang terancam amburadul di depan mata. Sweeping buku kiri sudah terjadi lagi di sini dan di sana. Memalukan, sekaligus mengerikan. Dan jangan harap orang-orang itu sudi (dan mampu) diajak berdiskusi. Tahu sendiri, lah. Pada titik ini, kita butuh berkompromi.

Tenang saja, saya tidak hendak menuding kaosan-palu-arit sebagai satu-satunya penyebab sweeping buku kiri. Toh itu sebenarnya soal kecil saja. Tapi kalau saya melihat pamer kaos sebagai pemantik yang memperkeruh suasana, apa ya sepenuhnya salah to, Mas?

Jujur saja, Kamerad, sebenarnya saya tidak terlalu peduli kalau ada razia kaos palu-arit. Toh saya pribadi juga bukan simpatisan komunis. Masalahnya, kalau sudah garukan buku-buku, mau buku kiri mau buku tengah mau buku kanan, itu malapetaka besar bagi Indonesia dan otak manusianya.

Maka demi menyelamatkan buku-buku, kalian nggak keberatan kan, kalau kaosnya sekarang disimpan? Ngeksisnya disetop dulu deeh. Defensif-nya juga. Ini saatnya menata strategi bersama.

Iklan

Jujur lho ya, Saya ini mumet memikirkan bagaimana cara meredam suasana panas ini. Saya bukan pakar strategi-taktik macam Puthut EA. Namun dari keresahan itu, tiba-tiba saya teringat sebait ratapan sakral. Tolong simak baik-baik dalam posisi duduk tasyahud.

“Ya Allah, hamba bisa membuang semua celana jeans pinsil hamba dan menggantinya dengan gamis lebar. Hamba sanggup meninggalkan mantan gebetan demi Engkau meskipun hati teriris-iris. Hamba sanggup meninggalkan kongkow sampai tengah malam. Hamba sanggup nggak telpon-telponan lagi berjam-jam sama teman-teman yang bukan mahrom. Hamba bisa meninggalkan bioskop dan tak tertarik dengan satu film pun untuk hamba tonton. Tapiiii…. maapin hamba yaa Allah. Hamba nggak bisa menahan godaan untuk nonton AADC 2. Film ini sudah hamba impi-impikan dari zaman SMA. Sepertinya hamba akan segera cabut untuk hunting tiket AADC 2 yaa Allah. Pliissss ampuni hamba, godaan AADC 2 begitu berat yaa Allah…“

Betapa menyentuh. Sangat menguras air mata. Magnificent. Three thumbs up.

Berulang kali saya baca-baca kembali munajat suci itu. Saya menemukannya melintas di dinding Fesbuk saya, dan ditulis langsung oleh seorang akhwat pejuang khilafah yang senantiasa gegap gempita. Sebutlah namanya Khumaira. Ia seorang garis keras yang berkali-kali bentrok sama saya, saling sikat dalam berbagai isu, tapi ujung-ujungnya berjumpa dalam satu muara keagungan yang sama: melankolia.

Engkau pun mungkin merasa berbeda dalam nyaris segala hal dengan seorang pendekar khilafah, mulai pakaian hingga jalan pikiran. Tapi ternyata AADC 2 mempertemukan kalian. Luar biasa, bukan? Sangat mungkin mbak-mbak berjilbab lebar di sebelah bangkumu waktu nonton AADC kemarin adalah Ukhti Khumaira!

Subhanallaaah, tepat pada saat itu, tepat saat saya menemukan sisi melankolis itu, saya lupa bahwa Khumaira adalah tentara pembela Tuhan yang meledak-ledak. Saya melihat ia semata sebagai entitas yang sama dengan saya: manusia.

Oooo, Bukaaaan, bukan. Saya tak hendak meminta kalian para aktipis-fashion-palu-arit untuk ikut latah memuja AADeCe. Saya cuma mau bilang, bikinlah publik yang gampang diprovokasi oleh mereka-yang-punya-agenda itu mendingin dulu kepalanya, lalu menemukan bahwa kalian pun sama-sama manusia—bukan iblis haus darah sebagaimana imaji bentukan Orba.

Jadi coba, sekarang selfie lagi, dan sebarkan lagi. Tapi kali ini pakailah kaos yang lebih friendly, yang akan membuat kalian tampak sempurna dalam keunyuan sebagai homo-melancholius. Ayolaaah, jangan gengsi gitu.

Bisa misalnya pakai kaos pecinta kopi yang kemarin itu. Setiap kekasih Tuhan pasti sepakat, kopi adalah fondasi kemanusiaan kita. Kopi juga selalu efektif sebagai instrumen paling penting dalam setiap upaya rekonsiliasi dan perdamaian dunia. Tapi karena sudah jelas singkatan “Pecinta Kopi Indonesia” jadi sumber masalah, bikinlah versi romantis. Saya kira tak mengapa sedikit mengompromikannya jadi “Penikmat Kopi dan Kesunyian”. Singkatannya PKK. Syahdu, kan?

Kurang mantep? Kalau “Peminum Kopi Sedunia”, gimana? Meski nggak usah disambung pakai “Bersatulah!” di belakangnya (Itu bau Marxis!), setidaknya akronimnya jadi asik: PKS. Logo palu-arit nyemplung cangkir diganti sekalian jadi biji kopi yang diapit bulan sabit kembar. Minat? Dih.

Ah, ketimbang bingung, pakai kaos lain juga bisa. Order saja kaos “Saya Pembaca Mojok”, misalnya. Atau boleh juga yang tulisannya tagline “Sedikit Nakal Banyak Akal”. Dijamin keren, dan bisa jadi sebagian tukang sweeping pun memakainya. Kalau berminat, hubungi saja Nody Arizona di akun Fesbuk-nya.

Terakhir diperbarui pada 21 Juni 2017 oleh

Tags: atribut pkiKhilafahPKI
Iqbal Aji Daryono

Iqbal Aji Daryono

Penulis dari Bantul. Lulusan Sastra Jepang, UGM.

Artikel Terkait

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah
Video

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah

27 September 2025
bti, petani, tani.MOJOK.CO
Ragam

Rumus “3S-4J-4H” Wajib Dijalankan Pemerintah Kalau Mau Petani di Indonesia Maju

28 Januari 2025
Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah MOJOK.CO
Esai

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah

30 September 2024
seni berpemilu ala pki jasmerah mojok
Video

Begini Strategi PKI Memenangkan Suara di Jawa Tengah pada Pemilu 1955

21 Desember 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.