MOJOK.CO – Laki-laki dianggap harus bisa menyetir mobil. Memangnya kalau laki-laki nggak bisa nyetir, terus kenapa? Maskulinitasnya langsung turun drastis, gitu?
Jika ada kompilasi mitos-mitos paling wagu dalam masyarakat perkotaan sekarang yang katanya postmodern ini, barangkali salah satunya adalah bahwa laki-laki dewasa harus bisa menyetir mobil. Tingkat keaiban yang harus ditanggung laki-laki dewasa di perkotaan yang belum bisa mengemudikan mobil, bisa sedemikian berat. Bahkan bagi sebagian laki-laki, pertanyaan ‘kok belum bisa nyetir?’ jauh lebih bikin perih dari pada ‘kapan nikah?’
Level kewaguannya mungkin hanya sanggup disaingi oleh stigma sosial terhadap gadis yang belum menikah ketika sudah dipandang dewasa. Dianggap tidak pantas, tidak pada tempatnya, apalah, apalah. Padahal, relevansinya sendiri masih patut dipertanyakan: lelaki wajib bisa menyetir mobil? Kalau nggak bisa, terus kenapa?
Iya, kenapa, kok, laki-laki perkotaan harus bisa menyetir mobil? Memangnya mana yang lebih penting, bisa nyetir dulu atau punya mobil dulu? Bukankah lebih penting bisa punya mobil dulu? Kalau punya mobil tapi belum bisa nyetir, kan masih ada kesempatan belajar? Belajarnya juga bakal lebih lancar lagi karena ada mobil pribadi. Atau kalau tajiran dikit, meski nggak bisa nyetir, bisa mempekerjakan supir lah untuk nyetirin.
Coba pikirkan baik-baik dan bandingkan dengan jika cuma bisa nyetir tapi belum punya mobil. Akhirnya malah…
…bisa jadi supir pribadinya orang yang punya mobil, tapi belum bisa nyetir tadi. Hehehe….
Begini, ya, memangnya kalau seorang lelaki yang nggak bisa nyetir, lantas dia jadi kurang ‘laki’, kurang maskulin, dan nggak bisa bikin anak atau nyariin nafkah yang layak? Gitu?
Lagipula masyarakat perkotaan ini aneh juga, ya. Mereka sendiri yang mengeluhkan tentang kemacetan yang tak kunjung ditemukan solusinya karena pemerintah seolah enggan menerapkan aturan pembatasan kepemilikan mobil pribadi atau pun pajak yang lebih tinggi untuk kepemilikan mobil. Namun di saat yang sama, mereka juga yang ngebet supaya bisa punya bapak, atau suami, atau menantu, atau pacar, yang bisa mengemudikan mobil. Ya, bisa mengemudikan mobil yang mana endingnya adalah sebisa mungkin dia juga punya mobil. Yang artinya apa?
Yak betul, akan ikut berkontribusi terhadap kemacetan yang sebelumnya dikeluhkan diri sendiri.
Seakan silogismenya adalah, laki-laki dewasa perkotaan yang keren adalah yang bisa ikut-ikutan menambah problematika kemacetan. Sungguh, ramashook blas!
Sedemikian absurdnya semua ini, sampai-sampai kemampuan ini dibawa-bawa dalam ranah profesional. Dalam salah satu interview kerja beberapa tahun lalu, saya ditanya apakah bisa menyetir atau tidak. Padahal, posisi yang saya lamar adalah manajer HRD. Manajer HRD, Saudara-saudara!
Memang, kenapa seorang manajer HRD harus bisa nyetir mobil? Padahal, perjalanan dari rumah ke kantor jauh lebih efisien dan menyenangkan jika ditempuh dengan bermotor. Lagipula, perusahaan itu sendiri juga menyediakan driver kantor untuk mengantarkan orang-orang yang ada keperluan dinas. Jadi, sebetulnya perihal terampil menyetir atau tidak, relevansinya nggak signifikan-signifikan amat.
Katanya masyarakat perkotaan ini berpikiran maju. Mbok ya, kalau bikin standar soal laki-laki itu agak keren dan bermanfaat lah, daripada sekadar bisa nyetir. Setidaknya yang bisa lebih senafas dengan semangat zaman atau kemaslahatan umat lah.
Misalnya, bahwa lelaki sejati saat ini wajib bisa menghormati martabat kaum perempuan, bisa ikutan ngurus anak, atau menguasai skill dasar pertukangan—termasuk berani naik ke genteng di kala hujan demi membetulkan genteng yang bocor, bocor, bocor. Kan ini lebih keren dan tampak sangat laki dan maskulin, ya?
Atau lelaki keren adalah yang menguasai kemampuan mengurai kemacetan, mampu melerai pertikaian dan kekerasan domestik di rumah tetangga, atau memiliki kemampuan penanganan kebakaran beserta penanggulangan hewan buas dan berbisa. Atau dia bisa mendidik keluarganya untuk menjadi insan yang peduli kebersihan, tertib dalam mengantri, dan tidak merokok di area publik, dan area-area yang ada wanita hamil dan anak-anak.
Atau yang lebih sederhana lagi, lelaki terlihat begitu ‘laki’ jika dia nggak takut kecoa terbang dan nggak jijik sama cicak. Tapi, kalau itu ternyata tak sanggup, setidaknya dia mampu menuangkan galon berisi air ke dispenser vertikal tanpa tumpah. Hmmm, bagaimana?
Masih banyak anggapan bahwa lelaki yang dapat menyetir mobil, seolah menjadi seorang lelaki yang maskulin tingkat dewa. Maskulinitas ini akan semakin meningkat jika mobil telah menjadi kendaraan yang ia bawa ke mana-mana. Memang sih mobil menjadi alat transportasi yang cukup nyaman dan aman. Tidak kehujanan saat hujan dan tidak kepanasan saat panas. Meski mobil bukan lagi dikategorikan sebagai barang mewah, apalagi seiring mudahnya sistem kredit angsuran untuk memilikinya.
Namun, bagaimana pun juga, mobil bukanlah sebuah kebutuhan utama, Saudara-saudara. Lagipula, semudah-mudahnya sistem kredit yang katanya meringankan itu, ia tetaplah menjadi sebuah tanggungan. Di mana, kita—dengan gaji selayaknya kaum menengah ke bawah—harus siap dan rela jika jasad, akal, dan mental kita diperbudak lebih keras dan lebih keras lagi. Hanya demi membayar cicilan setiap bulan, sampai jadi tua, sampai jadi debu hingga beberapa tahun ke depan.
Ini masih tentang urusan mobil, belum lagi memikirkan tentang kredit rumah, angsuran haji, dan berbagai macam asuransi untuk keterjaminan masa depan yang bahagia dan sejahtera.
Di sisi lain, kita tahu harga tanah terus melonjak. Lahan—apalagi di perkotaan—semakin mempersempit pilihan kita untuk bisa memiliki rumah di perkotaan dengan harga terjangkau. Jika bukan beli rumah paket hemat, ya harus di luar kota. Atau mempertimbangkan pilihan yang lain seperti, ngontrak berkelanjutan—nggak tahu sampai kapan, beli atau menyewa apartemen ataupun rusun. Atau justru, biar tetep hemat, nebeng orang tua aja. Ya, sekalian jagain mereka~
Jadi kalau ada lelaki yang selain bisa menyetir mobil dia juga nggak takut kecoa dan bisa mengangkat galon ke dispenser tanpa tumpah, oke lah itu baru lumayan.…