MOJOK.CO – Angkatan 2020 yang baru merayakan kelulusan, tak layak disebut “lulus dari jalur give away”. Mereka adalah angkatan martir revolusi pendidikan!
Yakinlah, mereka yang nyematin sebutan lulusan jalur give away pada angkatan 2020 ini sebenarnya sedang mengungkapkan rasa iri, dengki, dan hasad secara berjamaah.
Ini betulan, kalian lebih layak menyandang sebutan lain yang lebih menawan. Misalnya: “Angkatan Katalis” atau “The Catalyst”.
Coba ketik dulu di Google, yang muncul paling atas itu adalah lagu tak biasa dari Linkin Park edisi rohani. Coba dengerin lagunya sembari nyimak tulisan ini. Hal itu yang akan membantu kalian merefleksikan betapa kerennya Angkatan 2020.
Kita mulai dari sesuatu yang besar dulu di mana kondisi saat ini pernah digambarkan oleh Yuval Noah Harari sebagai sebuah laboratorium eksperimen sosial skala besar. Dan kalian, Angkatan 2020, sedang berada di dalamnya.
Kalian telah menjadi penanda lompatan peradaban yang menjungkir-balikkan hal yang tadinya penting jadi tidak penting—atau sebaliknya.
Lihat aja, alokasi dana BOS langsung mewujud menjadi wastafel yang berjejer di setiap muka kelas dan lobi. Lengkap sabun dan tisu gulungnya hanya dalam hitungan hari. Pemandangan yang sebelumnya tidak pernah muncul di rencana anggaran sarpras di pojok bawah kanan sekalipun.
Wastafel yang biasanya disembunyikan di belakang, mendadak naik kasta menjadi wajah sekolah sehingga wajib dipoles sedemikian rupa dengan desain artsy. Ingat, ini hanya terjadi pada Angkatan 2020. Sebuah milestone yang bakal melekat di angkatan kalian.
Kelak kalian berhak bercerita bahwa wastafel-wastafel itu dibuat pada Angkatan 2020. Pada masa depan nanti, kalian berhak komen di medsos, “Cuma angkatan 2020 yang bisa paham sama beginian!”
Hebatnya, itu semua terwujud tanpa guru-guru seperti saya perlu ikut rapat rencana angggaran belanja sekolah, tanpa perlu demo, bahkan tanpa perlu debat kusir. Semua berjalan cukup dengan rebahan di rumah.
Selanjutnya, meski yang ini hanya jadi masalah di negara kita aja, tapi pencapaian ini tetap monumental: akhirnya UN resmi dihapus.
Perjuangan berdarah-darah dari generasi ke generasi selama tiga dekade lebih akhirnya mencapai ujungnya. Inilah tonggak reformasi pendidikan, Kamerad.
Jika kalian belum ngeh seberapa berartinya ini. Lihat betapa susah payahnya para mantan Menteri Pendidikan berusaha menghapus UN.
Konon, ada jejaring yang sukar ditembus dan tidak bisa diurai yang melibatkan banyak faktor. Entah ini hanya konspirasi wahyudi remason, yang jelas tidak ada satupun Menteri Pendidikan yang berhasil menghapusnya.
Memang sempat ada menteri yang agak bisa menjinakan UN, dengan cara membuatnya bukan sebagai penentu kelulusan. Main alus doang sih, saya tahu. Namun harus diakui, progresnya ada. Mending lah.
Kemudian dilanjutkan dengan main alus part II oleh penggantinya yang kali ini hanya mengubah make up wajah UN dari yang awalnya kertas jadi komputer. Dua-duanya sih masih tetap sama, masih harus mengeluarkan dana besar. Namun setidaknya berita-berita serem siswa yang depresi menjelang UN hampir tak ada lagi.
Nah, Angkatan 2020 milik kalian ini adalah katalisnya. Wacana yang baru diwacanakan untuk tahun 2021, dimajukan menjadi milik angkatan kalian. Cukup dengan berdiam di rumah, rezim UN benar benar menyerah tanpa syarat.
Selain itu, saya kasih lagi alasan betapa Angkatan 2020 begitu luar biasa.
Kemarin ada rapat pleno kelulusan. Rapat pleno itu forum resmi lho, dan berkekuatan hukum. Jadi kalau ada menyebut istilah give away untuk menggantikan keputusan kelulusan kalian, kalian bisa tuntut tuh.
Rapat pleno kali ini memang agak beda. Tanpa seremoni pembukaan amplop hasil UN kiriman BSNP oleh kepsek. Tidak ada raut wajah tegang juga. Tidak pula ada pembahasan serius yang diiringi perdebatan dengan suara bergetar untuk menentukan lulus semua atau tidak. Snack pun sama sekali tidak diperlukan untuk mencairkan suasana, karena ini bulan Ramadhan. Semua berjalan biasa saja, tapi berakhir luar biasa. Semua siswa lulus 100%.
Setelah 2,5 tahun belajar secara konvensional, tapi diakhiri secara epik dengan pembelajaran modern yang merdeka. “Merdeka belajarnya,” kata-kata Menteri Nadiem terwujud dalam tempo kurang dari setahun masa kerja.
Pencapaian nasional yang monumental ini terjadi lagi-lagi pada Angkatan 2020. Dan menjadi yang pertama itu hal penting lho.
Selain itu, belajar-di-rumah-aja pada Angkatan 2020 jadi revolusi pendidikan luar biasa.
Februari kemarin pelajar masih pakai pulpen untuk nyalin materi di layar proyektor. Buku paket lima mapel sehari yang bikin beban tas berpotensi bikin skoliosis tak ada lagi. Siswa di beberapa sekolah yang masih melarang pakai hape, tiba-tiba dipaksa menggunakannya. Klisenya, pelajar shock (dalam konotasi positif).
Gadget yang sebelumnya dipandang banyak mudaratnya justru menjadi jalan terbaik agar proses belajar tetap berjalan. Padahal jika kondisi tetap normal, proses belajar seperti ini butuh uji coba berlapis untuk diterapkan. Sekaligus makan duit APBN untuk percobaan bermiliar-miliar.
Menjelaskan bahwa gadget itu membuat pembelajaran lebih efisien, efektif, dan murah pada generasi boomer sama susahnya seperti membujuk percetakan buku paket untuk membuat e–book aja—yang bisa diunduh di Playstore gitu.
E–book itu enak lho. Siswa jadi terbebas dari denda pengganti buku hilang tiap akhir tahun ajaran. Petugas perpus juga bisa fokus ngelakban halaman novel-novelnya Tere Liye yang mruthul, atau ngelap debu di novel-novelnya Pram di lemari pojokan.
Toh meskipun UN tidak ada, jangan dikira Angkatan 2020 lulus gratisan.
Ujian sekolah ada, ujian akhir semester juga. Nilai rapor kan harus di-input, bukan sulap-sulap banget gitu. Ijazah juga tetap berupa angka, bukan kata-kata, “Terima kasih Anda telah menyelesaikan studi dan lulus dengan hasil MEMUASKAN.”
Bedanya, semua instrumen sekolah dipaksa berevolusi. Hape yang dulunya dilarang keras dibawa ke ruang ujian, justru jadi syarat utama mengikuti ujian.
Ujian di rumah, dengan protokoler yang luwes namun tetap termonitor ketat. Aplikasi yang dipakai juga dibuat sendiri oleh tim guru menggunakan platform gratis yang easy–user. Tidak perlu pelatihan dulu, apalagi penataran.
Kalaupun bingung cukup lihat tutorial di Google atau Youtube yang juga gratis. Server biasa cukup tanpa perlu upgrade. Protokol ujian disusun dengan lebih humanis. Tim penguji di sekolah memantau ujian sambil ngopi, siswa ngerjain soal sambil ngemil. Ujian akhir yang rileks.
Jangan pula meragukan validitas hasil ujiannya. Nyontek itu masa lalu, Bro. Bad Genius itu film jadul yang udah nggak relevan lagi.
Bayangkan kamu nyontek tanpa keberadaan teman di sebelah, soal yang muncul acak, dan batas waktu ketat. Kamu bahkan nggak bakalan sempet mengingat tadi soal ke-3 kamu jawab apa.
Etapi kan bisa lihat buku? Oh, malah bagus, soal HOTS itu penalaran, bukan hafalan. Lihat buku malah bagus—kalau sempet.
Lagian, nyontek di buku juga perlu keahlian khusus. Jika kamu bisa ngerjain sambil buka buku, nemu materi yang dibutuhkan dengan cepat, dan dapet nilai bagus, berarti kamu memang layak mendapatkannya. Skill semacam itu justru akan sangat berguna nanti, yakin.
Tiba-tiba saya kebayang kalau model homeschooling menarik juga. Banyak hal seru justru bisa dilakukan dengan membiarkan siswa berada di luar pagar sekolah. Konten materi tidak lagi menjadi inti tunggal, melainkan sebagai sarana agar pelajar mampu mengembangkan kemampuannya.
Anak-anak bebas bereksplorasi, melakukan studi kasus, membuat proyek, dan menyelesaikan suatu problem dengan mengelaborasikan dengan materi yang diperolehnya tanpa harus terpaku pada target nilai berupa angka yang sebenernya murah.
Anak-anak bebas mempergunakan sumber daya yang dimilikinya, ataupun yang dimiliki sekolah sebagai penunjangnya. Kemudian, interaksi guru dan siswa terjalin dengan lancar, nyaman, dan setara. Bounding anak dengan orangtua juga bisa terjalin.
Meski ada satu kekurangan, yakni anak-anak mungkin cenderung jadi individualis karena minimnya interaksi dengan sesamanya.
Namun bagaimana kalau homeschooling dipadukan dengan sekolah konvensional?
Kata Kak Seto itu bisa sekali. Beliau pernah menawarkan wacana 3 days school. Belajar 3 hari di sekolah, 4 harinya di rumah. Bukan libur ya? Kurikulum milenial namanya. Sayang, ide ini dicuekin bahkan oleh guru-guru yang dulu girang sama fullday school.
Idenya sederhana padahal. Anak dibuat seneng dengan sekolah. Kangen berangkat sekolah. Bener juga sih, belajar di rumah seperti sekarang bikin kangen ke kantin sekolah kan?
Wacana ini sekarang menjadi menarik untuk dibicarakan. Pada masa depan, jika wacana ini terealisasi, yang paling diingat adalah Angkatan 2020 sebagai martirnya. Kalau kalian nanti menjadi generasi yang sukses, bukan tak mungkin cara ini bakalan dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.
Ketika saya menulis ini, SMA/SMK sedang mengumumkan kelulusan via online dengan tambahan hastag #janganKeSekolah. Selamat atas kelulusannya untuk kalian Angkatan 2020.
Lupakan niat untuk melakukan hal-hal wagu semacam coret-coretan dan konvoi. Lulus itu mudah dan memang momen biasa saja. Hanya salah satu fase dari rentetan ritual wajib belajar 12 tahunmu.
Meskipun kali ini lebih spesial tanpa iuran perpisahan dan kalian terpaksa melewatkan syahdunya kesempatan nyanyi lagu “Sampai Jumpa”-nya Endank Soekamti sambil nyalain flare di tengah lapangan upacara… nggak apa-apa, nyanyi “The Catalyst”-nya Linkin Park aja.
…the sins of our young.
No!
BACA JUGA Urusan Menyalahkan Generasi, Orang Dewasa Jagonya atau tulisan Slasi Widasmara lainnya.