MOJOK.CO – Silicon Valley di San Fransisco punya problem kesenjangan sosial yang lebar. Hal yang familiar di Indonesia, bahkan sebelum ada Bukit Algoritma.
Rencana pembangunan Silicon Valley ala Indonesia di Sukabumi yang habisin dana 18 Triliun emang kedengerannya gigantik, tapi sejujurnya itu angka yang kecil, setidaknya jika dibandingkan dengan hasil yang bisa didapat nanti—kalau proyek itu berjalan dengan baik tapi ya.
Emang sasaran dari (apa yang disebut) “Bukit Algoritma” itu apaan?
Kalau mengutip dari beberapa situs berita, lokasi ini bertujuan menjadi kawasan pengembangan riset dan sumber daya manusia yang berbasis industri 4.0. Harapannya, kawasan ini juga bisa meningkatkan pembangunan infrastruktur di dalam negeri secara berkelanjutan.
Sebentar, saya belum paham-paham amat apa makna industri 4.0.
Jika merujuk pada Encyclopaedia Britannica (2015), revolusi industri keempat ini menandai serangkaian pergolakan sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Ini akan berlangsung selama abad ke-21, membangun pada ketersediaan luas teknologi digital yang merupakan hasil dari revolusi industri ketiga. Pada industri keempat ini sebagian besar didorong oleh konvergensi inovasi digital, biologis dan fisik.
Rumit? Bingung? Sama, saya juga masih meraba-raba.
Jika disederhanakan mungkin gini.
Revolusi 4.0 adalah revolusi yang memadukan teknologi digital dan komputerisasi, infrastruktur fisik, dan kemampuan manusia untuk bekerja. Saya bisa aja salah dan berharap ada yang bisa jelasin dengan sederhana apa itu revolusi 4.0 di kolom komentar. Ya maklum kalau saya salah, saya kan bukan Budiman Sudjatmiko.
Tapi kembali pada bukit algoritma, apa sih yang diharapkan dari pembangunan ini? Apakah sekadar bangunan kompleks atau akan mempersiapkan manusia dan teknologi yang mendampinginya?
Soalnya seingat saya, mimpi untuk ngebangun Silicon Valley ini bukan hal yang pertama. Sebelumnya ada dua isu. Pertama, akan dibangun di Sentul (bahkan rencana dananya mencapai angka 25 triliun); dan kedua, Silicon Valley yang mau dibangun di BSD.
Karena sekarang saya bekerja di perusahaan teknologi informasi, hal itu bikin saya bisa melihat apa sebenarnya kebutuhan kita saat ini untuk menunjang revolusi 4.0. Ya meraba-raba lah. Saya kan bukan cenayang.
Mentor sekaligus CEO saya di kantor, pernah bilang kalau ia melihat gedung mentereng atau komplek perkantoran berbasis teknologi itu sudah obselete. Katanya, yang dibutuhkan agar kita siap bersaing di dunia digital bukan bangunan fisik, tapi sumber daya manusia yang terdidik dan memiliki keterampilan terbaik.
Di San Fransisco sendiri keberadaan Silicon Valley jadi problem. Gentrifikasi, biaya hidup yang mahal, dan kesenjangan sosial membuat warga setempat membenci para pekerja start up ini.
Banyak warga San Fransisco yang terusir karena tak mampu membayar biaya hidup. Bahkan para engineer yang bekerja di start up di Silicon Valley tak mampu membayar biaya hidup di sana. Pertanyaannya: lantas mengapa kita terobsesi kayak gitu di negara sendiri?
Saat ini terjadi mass exodus dari perusahaan-perusahaan start up dan teknologi di Silicon valley. Banyak perusahaan yang tak lagi tertarik membuat perusahaan di sana.
Selain karena biaya hidup yang mahal, ekosistem yang tak sehat (pada belagu dan brengsek), CEO yang foya-foya tak mampu mengurus perusahaan, hingga pajak yang luar biasa tinggi. Semua ini terjadi karena kultus dan mitos yang menganggap Silicon valley adalah tanah suci para inovator.
Sek, kultus apa yang dimaksud?
Sebuah start up akan dianggap bagus jika dibentuk dan didirikan di tempat itu. Silicon valley juga dianggap pusat para engineer terbaik dunia. Ini membuat para pekerja yang ada dibayar sangat mahal.
Namun tak semua engineer suka hidup di sana, biaya hidup yang mahal, pajak yang tinggi, membuat mereka menjauh dari daerah itu dan berada di pinggiran San Fransisco. Ini yang membuat terjadi gentrifikasi baru hidup di Silicon valley.
Biaya hidup mahal, gaji harus besar, gaji besar kena potongan pajak besar, tinggal di daerah satelit, warga setempat terusir lagi.
Mengapa kita terobsesi membangun komplek teknologi dan inovasi yang terpusat? Padahal perusahaan digital yang besar saat ini malah memberlakukan WFH secara total dan permanen.
Twitter menawarkan karyawannya bekerja dari rumah secara permanen, Facebook menawarkan 50 persen pekerjanya bekerja dari rumah, Spotify, Slack, Dropbox, Hawke Media, dan banyak yang lainnya.
Bukan tidak mungkin, kalau situasi pandemi ini belum membaik dan WFH diperpanjang, Silicon Valley akan jadi monumen kosong yang ditinggalkan para pekerjanya. Lalu apa yang dicari dari rujukan Bukit Algoritma itu coba? Semoga bukan mau jadi Candi Hambalang versi 4.0 ya?
Saat ini perusahaan seperti Slack dan Butter (start up asal Denmark) malah membangun sistem bagaimana membuat kerja dari rumah sama efektifnya dengan bekerja di kantor. Misalnya membuat sistem kerja yang terintegrasi dengan video call, meeting, dan work tracking. Setiap orang bisa diketahui sedang melakukan apa, di mana, dan capaian apa saja yang diperoleh.
Oke, itu Silicon Valley di San Fransisco sana. Sekarang kita lihat, negara kita punya rencana apa dengan bukit Algoritma.
Dari berita yang saya baca, tempat ini ditujukan untuk jadi salah satu pusat untuk pengembangan inovasi dan teknologi tahap lanjut. “Misal kecerdasan buatan, robotik, drone (pesawat nirawak), hingga panel surya untuk energi yang bersih dan ramah lingkungan”.
Lho bukankah kita sudah punya LIPI sebagai lembaga riset? Kita punya Pindad dan PT Dirgantara untuk mengembangkan itu semua? Bukannya jadi mubazir kalau mesti membangun lagi? Kenapa tidak mengembangkan yang sudah ada?
Kalau tujuannya membangun Silicon Valley sebagai tempat belajar, kenapa tidak memberikan subsidi video-video pembelajaran programmer?
Menurunkan guru-guru pemrograman ke seluruh Indonesia, memperbaiki jaringan internet, bantuan komputer untuk belajar di balai desa, atau meningkatkan kualitas programmer yang ada. 18 Triliun bisa me-cover itu semua dengan tepat sasaran tanpa jadi bangunan yang arkaik.
Bekerja dari rumah adalah hal yang mudah dilakukan jika para pekerja terampil, teknologi yang ada, dan infrastruktur yang dibutuhkan tersedia. Membangun kompleks gedung dengan nilai 18 Triliun akan berantakan jika satu pohon jatuh bisa mematikan listrik seluruh jawa. Proyek megah 18 triliun akan rusak jika koneksi internetnya byar-pet.
Membayangkan presentasi di kompleks 18 triliun dengan koneksi internet yang dimiliki saat ini saja sudah degdegan. Belum lagi kesiapan para engineer.
Presiden Jokowi sendiri mengakui Indonesia butuh 9 juta engineer/programmer dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Pertanyaannya, berapa jumlah universitas di Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan itu?
Pembangunan Silicon Valley di Sukabumi tahap pertama akan dilakukan dalam 3 tahun ke depan. Setelah selesai, berapa orang yang akan ada di sana untuk bekerja dan mengembangkan segala fasilitas yang ada?
Kalau mau dana 18 triliun yang ada tadi baiknya digunakan untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan. Perbaiki kualitas infrastruktur digital seperti internet dan memasukkan materi pelajaran pemrograman sejak dini.
Untuk bisa menguasai pemrograman seorang anak HARUS menguasai matematika, logika, dan bahasa. Mereka tidak boleh sekadar menghafal, tapi bener-bener paham. Bahkan sampai bermain dalam kehidupan sehari-hari memakai pelajaran-pelajaran itu.
Mengharapkan kita punya dan memiliki banyak programmer/software developer/engineer, tanpa mempersiapkan kurikulum dasar yang benar, ya cuma bikin kita kayak badut.
Bangunannya ada, infrastukturnya ada, tapi orang yang ngisi kagak ada. Kalaupun ada, jumlahnya belum signifikan dan selama ini mereka belajar dan berkembang tanpa bantuan dari negara.
Revolusi 4.0 membutuhkan banyak tenaga terampil, pemikir cemerlang, dan juga infrastruktur yang memadai.
Mau bikin kode, start up, program, software, atau web bagus, kalau internet byarpet di tengah jalan atau tak terjamah di puncak Kaliurang sana ya percuma. Yang ada sih bukan Bukit Algoritma Indonesia, tapi Silicon Valley versi silikonnya.
BACA JUGA Istilah Unicorn Bukan Sekadar “yang Online-Online Itu” dan tulisan Arman Dhani lainnya.