Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia tapi Berlogat Jakarta

Paksi Raras Alit oleh Paksi Raras Alit
30 Oktober 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Katanya sih biar bhineka tunggal ika, ternyata malah bhineka tunggal Jakarta!

Di Bulan Bahasa kali ini, rasanya tak ada salahnya kita membayangkan suasana debat kongres Sumpah Pemuda 90 tahun lalu. Saat itu, tentu saja jong Batak, jong Jawa, jong Ambon, dan jong-jong lainnya ngomong pakai bahasa Melayu dengan logat daerah masing-masing.

Hmm. Pasti lucu di telinga, ya?

Nah, coba sekarang jong-jong milenial suruh rapat hari ini: isinya pasti ungkapan “lo-gue lo-gue” yang njakarta semua! Apa pasal? Ya biar nggak ketahuan kalau mereka-mereka itu sebenarnya adalah jong daerah, jong-jong yang udik, kampungan, sekaligus ndeso.

FYI aja, Indonesia tercinta punya lebih dari 700 bahasa daerah. Jumlah ini belum ditambah pula dengan hitungan dialek-dialek di dalam bahasa daerah tersebut. Sebagai contoh, bahasa Jawa saja masih terbagi dalam dialek Mataraman, Banyumasan, Tegal, dan lain-lain, plus logatnya. Logat Jogja dan Solo, misalnya, adalah dua logat yang berbeda meskipun sama-sama dialek Mataram.

Dengan banyaknya bahasa lokal di Indonesia, kita jelas beruntung punya bahasa nasional. Coba saja bandingkan dengan India yang punya yang semilyar lebih penduduk dan ratusan (bahkan ribuan) bahasa etnik. Di tengah ‘kehebohan’ itu, India tidak punya bahasa nasional. Mereka memakai bahasa Inggris sebagai bahasa administrasi saja dan tetap menggunakan bahasa masing-masing antaretnis. Bahasa Hindi memang menjadi bahasa yang dominan, tapi tidak semua etnis bisa bicara bahasa Hindi. Mungkin hal ini disebabkan oleh Pandawa-Kurawa dahulu kala di sana sibuk perang, sampai-sampai lupa bikin kongres pemuda untuk memilih bahasa nasional.

Di Indonesia, kita sepakat bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi nasional sekaligus lingua franca alias bahasa pemersatu. Tapi, kenapa logat betawi Jakarta harus menjadi tolok ukur kekerenan dalam berbahasa Indonesia? Bukankah setiap daerah harus mengembangkan potensinya? Tapu kenapa aksen bicara pun harus ikut “pusat”?

Sebelum kita menuduh bahwa semua ini adalah salah Jokowi, ketahuilah bahwa sebenarnya media penyiaran merupakan pihak paling bertanggungj awab dalam pengultusan logat ibu kota itu.

TV adalah biang kerok utamanya. Lihat saja semua presenter, pembaca berita, komentator bola, kuis, komedi, sinetron, hingga Uya Kuya—semua berlogat sama: logat betawi Jakarta! Belum lagi di internet; bahasa untuk nge-vlog di YouTube dan Instagram Story akan terasa lebih enak didenger bila diucapkan dengan logat Jakarta. Alhasil, netizen dari daerah pun berusaha keras meniru logat tersebut.

Radio juga sama saja. Ini pengalaman pribadi saya siaran radio di Jogja. Untuk bisa menjadi penyiar radio gaul di Jogja, syarat utamanya adalah TIDAK BOLEH MEDHOK (harus ditulis medhok supaya membedakan dengan medok yang dalam bahasa Jawa artinya main perempuan). Bahkan jika calon penyiar radio lolos seleksi wajah good looking, pintar, gaul, tapi masih medhok, dia harus mengikuti training khusus untuk menghilangkan medhok–nya yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Malah, penyiar radio di Jogja sekarang ngomongnya sudah “lo-gue lo-gue”!

Logat asli mereka dikebiri hanya supaya terdengar seperti penyiar radio di Jakarta. Memang tetap ada radio dan TV lokal yang penyiarnya medhok, bahkan menggunakan bahasa Jawa. Namun jelas, jumlahnya kalah dibandingkan dengan yang berlogat gaul-gaul itu. Di daerah-daerah lain, gejala pengebirian logat lokal seperti ini juga terjadi. Hal ini membuat saya teringat cerpen Ni Komang Ariani, Lidah, sebuah satir tentang orang-orang Bali yang menghilangkan aksen “th” supaya bisa membaur dengan lidah metroseksual Jakarta.

Di sinilah kesenjangan berbahasa sebenarnya telah muncul. Kebhinekaan dalam bahasa persatuan Indonesia yang katanya ‘tunggal ika’, kini menjelma ‘tunggal Jakarta’.

Yang lebih menyedihkan lagi, logat-logat daerah yang kelihatan udik itu justru dijadikan bahan becandaan,  ece-ecenan di TV. Simak saja, terutama di acara-acara hiburan. Ketika ada artis ngomong pakai logat Batak, Jawa, Tegal, Ambon, Papua, penonton gerrrr—tertawa semua. Lalu artis lain yang berlogat Jakarta akan berusaha menirukan logat daerahnya, yang ternyata salah, dan lucu, dan penonton gerrr lagi. Orang-orang yang nonton TV di rumahnya di pelosok-pelosok nusantara sana pun akhirnya tahu bahwa kalau mereka ngomong pakai logat daerah, jelas akan ditertawai dan diece orang. Haduh!

Perhatikan juga beberapa artis dari daerah. Kalau sudah go nasional, alias jadi artis ibu kota, mereka pun akan berusaha berbicara dengan logat Jakarta juga. Sering kali, mereka beralasan hal tersebut terjadi karena pengaruh lingkungan, tapi… halah, itu mengada-ada! Buktinya, tokoh sekaliber David Beckham juga sudah lama tinggal di Amerika, tapi tetap aja beraksen British, tuh. Malah, doi nggak pernah berusaha menghilangkan lidah lokalnya itu!

Iklan

FYI, meskipun saya termasuk Sheila Gank (penggemar band Sheila On 7), saya sebenernya agak risih juga denger Mas Duta shampoo lain berusaha menyamarkan konsonan “d, dh, t, th” yang jadi ciri khas bahasa Jawa saat bicara di TV nasional. Padahal, dulu saat masa-masa promosi album-album awal Sheila On 7 berlangsung, masih kentara banget lho medhok Jogjanya Mas Duta. Tapi sekarang, logatnya sudah serupa logat ibu kota, Gaes.

Stereotip “yang-lokal-yang-adalah-yang-udik”—terutama dalam kebahasaan—adalah jarak atau ketimpangan yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Tenang saja, tulisan ini tidak bermaksud diskriminatif, ya, jong netizen, jadi tolong jangan di-salty-in di-bully dan dicap merendahkan suku-suku di Indonesia. Justru kita musti otokritik pada diri kita sendiri, Gaes!

Ibaratnya, kalau tidak bisa adil sejak dari jidat, minimal adillah sejak dalam cocotmu dulu saja. Ingat, jangan diskriminatif sama logat aslimu!

Terakhir diperbarui pada 22 Oktober 2020 oleh

Tags: bahasa daerahbahasa indonesiabahasa persatuanbulan bahasasheila on 7
Paksi Raras Alit

Paksi Raras Alit

Seniman dan pegiat aksara Jawa.

Artikel Terkait

Studio Alamanda: Mesin Penghasil Band Legendaris dari Jogja MOJOK.CO
Esai

Legenda Studio Alamanda Jogja: Ketika Sheila on 7 dan Endank Soekamti Jadi Pemuda Kampung Biasa

22 Oktober 2025
Sheila on 7 Legenda yang Sederhana, Bikin Fans Merasa Dekat MOJOK.CO
Esai

Sheila on 7 Menjadi Legenda Bukan Hanya karena Musik, tapi Juga Fashion Mereka yang Sederhana dan Membuat Fans Merasa Dekat

16 Juli 2025
Hal-hal riang di bawah panggung JVWF Music Fest 2025 di Jogja yang hadirkan HIVI! hingga Sheila on 7 MOJOK.CO
Kilas

Sheila On 7, HIVI!, dan Suasana Riang di Bawah Panggung JVWF Music Fest 2025

14 Juli 2025
JVWF 2025 Music Fest Hadirkan Sheila On 7, Catat Tanggal Main dan Rangkaian Acaranya.MOJOK.CO
Hiburan

JVWF Music Fest 2025 Hadirkan Sheila On 7, Catat Tanggal Main dan Rangkaian Acaranya

5 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.