[MOJOK.CO] “Urusan ngerem supir metromini sesungguhnya juga perlu distandardisasi.”
Wakil Gubernur DKI Jakarta kembali menggebrak. Kali ini menyikapi soal rencana beroperasinya kembali becak di Jakarta, Sandiaga Uno mengeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberikan pelatihan kepada para pengemudi becak, salah satunya tentang cara genjot yang baik dan benar untuk meningkatkan standar pelayanan.
Netizen yang selalu benar pun sontak menertawakan ide Sandiaga Uno. Padahal justru birokrasi Indonesia, memang sedang berbenah. Baru hari Rabu (24/1) yang lalu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) memberikan penghargaan kepada beberapa instansi pelayanan publik. Menurut website menpan.go.id, evaluasi pada tahun 2017 dilakukan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), DPMPTSP Provinsi, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kantor Pertanahan, Balai Besar/Balai POM, dan Polres/Polresta/Polrestabes di seluruh Indonesia.
Evaluasi tersebut berada dalam naungan Kedeputian Bidang Pelayanan Publik KemenPAN-RB yang saat ini dijabat oleh Ibu Diah Natalisa. Buat yang nggak paham, Bu Diah ini adalah kakak kandungnya Tito Karnavian. Kalau ada yang nggak tahu nama ini, sana ke laut aje.
Jadi jika ada evaluasi reformasi birokrasi di bidang pelayanan publik di semua Kementrian/Lembaga, yang ditanyakan pertama adalah standar pelayanan. Kalau nggak ada, berarti reformasi birokrasinya lemah. Nah, Sandiaga Uno kan menekankan tentang standar pelayanan, kok ya netizen yang budiman ini menjadikannya bahan bercanda? Sudah jelas-jelas konten pembicaraan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu serius kok.
Nah, dengan akan digagasnya standar pelayanan untuk becak, saya hendak ikut mengusulkan beberapa hal lain yang juga perlu distandardisasi kembali. Terutama dalam konteks transportasi di Jakarta.
Ya, siapa tahu membantu Bapak Wakil Gubernur untuk membuat standar pelayanan yang lebih komprehensif.
- Mengetuk Koin yang Benar
Standar ini perlu diterapkan dalam transportasi berbasis mobil umum seperti metromini, kopaja, bahkan bis. Di dalam mobil itu, kita akan menjumpai segala hal berbau rakyat. Pedagang yang menaruh kacang di pangkuan sebelum kemudian mengambilnya lagi, pengamen, eksekutif muda di Sudirman yang ogah naik turun tangga TransJakarta, pemakan silet yang selalu berargumentasi ‘daripada saya ngerampok bapak-ibu’, hingga copet.
Nah, alat transportasi yang ini, sebagian besar menggunakan sistem berhenti yang sangat unik bin ciamik, karena mengandalkan suara ketukan koin dengan dinding kendaraan. Kernet mengetuk, mobil berhenti. Kernet mengetuk koin berkali-kali, mobil nggak akan ngegas jauh, tapi maju perlahan-lahan.
Hal ini seringkali menciptakan prahara ketika driver tidak mendengar dengan jelas suara ketukan koin itu, apalagi dalam jahanamnya jalanan Jakarta. Hal itulah yang seringkali bikin penumpang kebablasan terlalu jauh atau malah harus lari-lari mengejar kendaraan. Sungguh berbahaya. Jadi, perlu kiranya dibuat standar jumlah ketukan koin, kekuatan ketukan koin, bahkan kalau perlu koin untuk mengetuknya dibuat standar, kayak mainan yang lagi ramai belakangan ini.
- Atret dan Ngetem yang Berbudaya
Mengingat program Pemprov DKI Jakarta, OK Otrip yang melibatkan angkot, maka bagian yang satu ini sangat diperlukan. Karena kalau sukses, bisa diadaptasi di kota-kota lainnya yang juga mengandalkan angkot, seperti Palembang. Kalau Jogja nggak masuk, karena angkot Minomartani dan Jalur 16 kesayangan saya saja sudah nyaris musnah. Kalian keji!
Angkot adalah jalur paling mudah bagi saya untuk jarak dekat ketika hendak minggat dari kantor ke bank, misalnya. Bahkan dulu sebelum era ojek online, angkot adalah harapan utama untuk bermobilisasi. Dari pengalaman naik angkot di berbagai jalur, saya sering mendapati beberapa angkot akan mundur jika melihat orang jalan dari dalam gang. Masalahnya, kadang mundurnya kurang berbudaya. Asal mundur tanpa aba-aba dan menyebabkan saya yang beralih profesi jadi pengendara motor kaget bukan kepalang dan nyaris nabrak. Standar jarak yang diperbolehkan untuk dapat mundur menjadi penting, termasuk hal-hal yang perlu dipastikan sebelum mobilnya mundur.
Apalagi tentang urusan ngetem. Di era mobilitas tinggi seperti sekarang ini, saya berkali-kali masuk angkot dengan omongan “langsung jalan”, tetapi baru benar-benar jalan 20 menit kemudian. Bahkan beberapa kali, begitu 3-4 orang masuk, supirnya malah mematikan mesin dan keluar mobil. Jadi bersamaan dengan standar menggenjot becak, urusan ngetem ini juga perlu distandardisasi demi kebaikan bersama, penumpang dan juga pengelola angkot.
- Menawarkan Jasa Tapi Menolak Calon Pengguna Jasa
Bagian ini sering bikin saya putus asa di Stasiun Tanah Abang. Kalau sering lewat sana, pasti pada tahu bahwa begitu keluar, ada puluhan ojek pangkalan akan menyambut kedatangan kita sembari menawarkan jasa ojeknya.
Masalahnya, sebagian ojek hobinya pilih-pilih, sebuah kelakuan yang bikin sebagian ojek lain yang tidak pilih-pilih jadi terkena imbasnya. Dari Tanah Abang, kalau saya sebut ‘Salemba’, maka jari-jari yang menawarkan ojek tadi turun tiba-tiba dan berubah jadi tunjuk-tunjukan. Berbeda jika saya menyebut ‘Gambir’ atau ‘Sudirman’, tidak ada tuh tunjuk-tunjukan.
Hal yang sama juga berlaku kalau saya turun di Palmerah dan menyebut ‘Johar Baru’. Sering juga berakhir tunjuk-tunjukan dan ujungnya nggak ada yang mau. Jadi, kadang saya merasa tujuan saya itu hina bagi para pengemudi ojek ini. Sedih, Kak, ditolak-tolakin melulu.
Kalau saja ada standar, bahwa ojek yang menawarkan jasa tidak boleh menolak tujuan. Atau dibuatkan standar tujuan-tujuan mana yang boleh ditolak, sekaligus bikin klasterisasi ojek-ojek yang mau terima tujuan-tujuan hina dan yang tidak. Maka penumpang pun pasti akan sangat berbahagia.
Sekali lagi, Sandiaga Uno mungkin tampak melucu, tetapi di balik itu, Pak Wakil Gubernur sedang membahas salah satu komponen penting reformasi birokrasi. Kalian saja para netizen yang nggak paham. Kalau soal sesederhana genjotan becak ini saja kalian tidak paham, bagaimana kalian akan memahami soal KEBERPIHAKAN? Hah?