Meme ‘Blok Goblok’ dalam Semesta Emak-emak Boomer dan Tanggung Jawab Generasi Milenial

Meme ‘Blok Goblok’ dalam Semesta Emak-emak Boomer dan Tanggung Jawab Generasi Milenial

Meme ‘Blok Goblok’ dalam Semesta Emak-emak Boomer dan Tanggung Jawab Generasi Milenial

MOJOK.COMerasa pesenannya tak pas, seorang emak-emak viral usai ngata-ngatain kurir dengan kalimat puitis, “Blok goblok!”

“Blok goblok” jadi salah satu quote yang viral dan menggema di jagat medsos belakangan ini.

Diucapkan secara sadar oleh emak-emak berkerudung kuning yang ngomel-ngomel tak terima dengan paket yang sudah diantar oleh kurir. Si emak-emak marah karena menganggap barangnya tidak sesuai pesanan. Kata mutiara itu pun langsung viral di Twitter dengan belasan ribu kali cuitan.

Di video dua menit empat belas detik yang direkam oleh si mas-mas kurir, emak-emak ini mengatakan kalimat blok goblok berulang kali sambil menunjukkan barang pesanan yang sudah ia unboxing.

“Kok Ibu ngata-ngatain saya goblok?” tanya mas kurirnya.

“Iya goblok lu. Dari tadi diajak ngomong nggak paham,” semprot emak-emak itu.


Situasi yang paling mungkin terjadi adalah si ibu belanja online di e-commerce dengan sistem COD di mana pembayaran dilakukan setelah barang diterima, tapi menolak bayar karena pesanan tak sesuai harapan. Kasus semacam ini beberapa kali terjadi dan viral di media sosial.

Emak-emak dan teknologi merupakan satu PR besar yang sepertinya luput dari perhatian. Misalnya, jarang ada materi atau pelatihan khusus di PKK tentang cara menyaring informasi yang anti-hoaks. Pelatihan digital sering kali menyasar generasi milenial dan generasi Z yang dianggap lebih tangkas mencerna informasi.

Bahkan yang terbaru, Dikti wacanakan kurikulum digital startup sebagai salah satu mata kuliah wajib. Tentu, ini merupakan kabar baik agar generasi sekarang lebih agile dengan dunia teknologi yang memudahkan mereka mendapatkan pekerjaan di era global. Tapi dengan adanya kasus “blok goblok” di atas kok ya rasanya ketimpangan literasi digital antar-generasi ini semakin jelas.

Setidaknya, kita bisa melihat dari hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2019-2020 mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa.

Jumlah ini meningkat 23,5 juta atau 8,9 persen dibandingkan pada 2018 lalu. Angka yang sangat besar karena kini orang tua kita pun sudah mulai ikut-ikutan main internet meskipun baru di tahap sharing stiker di WhatsApp keluarga. Di tingkat yang lebih tinggi mereka sudah mulai kepo dengan eksistensi e-commerce.

Saya sebagai seorang sobat Shopee yang cukup sering mendapat teriakan, “MISI PAKEEET,” di siang bolong harus menjelaskan panjang lebar ke mama saya setiap beliau nanya, “Itu caranya beli online gimana sih?” atau sesederhana, “Siapa yang gaji bapak kurirnya kalo gratis ongkir terus?”

Menjelaskan ke mama saya tentu perlu analogi khusus yang mudah dipahami. Saya mengibaratkan e-commerce sebagai sebuah mal dengan berbagai macam jenis dagangan, mulai dari makanan, skincare, baju, sepatu, notes lengkap dengan stikernya yang lucu-lucu hingga pakan anabul, semuanya ada.

Lalu muncul pertanyaan dari beliau, “Berarti penjualnya di Jakarta semua ya?”

Saya menghela nafas sambil berpikir analogi lanjutan untuk pertanyaan ini. Kalau mal kan sebuah bangunan yang mendiami suatu lokasi. Tapi e-commerce kan beda, penjualnya bisa dari mana-mana bahkan dari Cina, hehe.

Pertanyaan-pertanyaan dari orang tua kita ini perlu dialihbahasakan dengan sederhana, kadang saya merasa cukup intelek dengan memahami istilah-istilah gaul per-sosmed-an fa-fi-fu-was-wes-wos digital 4.0 tapi saat harus menjelaskan ke orang tua dengan bahasa yang mudah dipahami aja sudah megap-megap. Hiks.

Kembali ke kasus emak-emak berkerudung kuning dengan kalimat mutiara blok goblok tadi. Padahal—kita sama-sama tahu—bahwa sistem COD itu, kalau barang yang diterima nggak sesuai bisa langsung mengajukan retur dengan menghubungi customer service.

Saya paham, mungkin si emak-emak ini nggak ngerti caranya dan keburu emosi duluan, tapi hey di video itu ada anaknya! Alih-alih bantuin menjelaskan atau paling nggak konfirmasi ke seller-nya. si anak malah ikut ngomporin ibunya menyalahkan kurir sambil nge-videoin. Hadeh.

Harusnya dengan angka 190 juta pengguna internet dari total 260 juta penduduk Indonesia ini, ada semacam tanggung jawab moral bagi generasi yang cukup melek literasi digital seperti kita-kita ini untuk mengedukasi generasi tua seperti bapak, ibu, bude, pakde.

Belum kelar mengedukasi soal hoaks yang biasa tersebar di grup WhatsApp kompleks atau sesederhana memberitahu tutorial connect ke wifi lengkap dengan cara mengetik password-nya, kini kita dibuat waswas dengan adanya aplikasi belanja online.

Bisa jadi mereka tiba-tiba kepencet pesen GoFood dalam jumlah banyak atau secara nggak sadar kepencet belanja di e-commerce tapi nggak ngerasa pesen barang itu jadi nolak bayar. Hiii, kan ngeri jugak.

Sudah saatnya kita bergandengan tangan dan me-niat-ingsun-kan diri untuk nggak capek atau gampang nyerah menjelaskan ke orang tua diskursus seputar teknologi ini, Gaes.

Bayangin aja, misal anaknya berprofesi sebagai socmed specialist yang kalo bikin konten harus riset minimal sepuluh jurnal, tapi justru ibunya sendiri pelaku penyebar berita bohong soal vaksin di grup WhatsApp keluarga atau suka marah-marah karena nggak sengaja salah pesen. Kan sedih. Hiks.

Oleh sebab itu, siapa yang harus menjelaskan dan mengedukasi emak-emak boomer model begitu kalau bukan kita-kita, generasi milenial atau Gen-Z ini? Yok bisa yok.

BACA JUGA Aturan Pintar COD Shopee, Tokopedia, dan Marketplace Lain untuk Pelanggan yang Bodoh dan ESAI lainnya.

Exit mobile version