MOJOK.CO – Tak ada yang salah dengan sikap Gatot Nurmantyo, ia memang begitu dan sudah seharusnya begitu.
Mantan Panglima TNI Pak Gatot Nurmantyo mendadak batal hadir dalam acara penganugerahan Bintang Mahaputera yang digelar pagi ini, 11 November 2020, di Istana Negara. Ketidakhadirannya tersebut tentu saja cukup mengagetkan banyak pihak, mengingat sehari sebelumnya, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menyatakan bahwa Pak Gatot Nurmantyo sudah mengambil undangan dan pernyataan kesediaan tanda kehormatan.
Pak Gatot pun diketahui sudah mengirimkan surat kepada Jokowi perihal ketidakhadirannya tersebut.
“Ya mungkin isinya ada beberapa yang beliau tidak setuju, mungkin kondisi Covid, harus banyak memberikan perhatian kepada TNI. Di suratnya seperti itu dan juga kepada bapak presiden,” terang Heru kepada para wartawan.
Walau Pak Gatot tidak menghadiri acara penganugerahan Bintang Mahaputera, namun pihak Istana menyatakan bahwa penghargaan Bintang Mahaputera untuk Pak Gatot Nurmantyo tetap bakal diberikan dengan dikirim melalui sekretaris militer.
Bagi saya, dan mungkin bagi banyak orang lainnya, ketidakhadiran Pak Gatot Nurmantyo bukanlah ketidakhadiran biasa. Dalam penangkapan saya, ketidakhadiran Pak Gatot merupakan sebuah bentuk “penolakan” kultural.
Banyak yang mengartikan keputusan Pak Gatot untuk tidak hadir dalam acara penganugerahan Bintang Mahaputera sebagai sikap tak tahu diri dari sang mantan panglima. Walau sering mengkritik dan bersuara keras pada pemerintah, Presiden Jokowi tetap berbaik sangka dan bermurah hati untuk memberi Bintang Mahaputera kepada Pak Gatot. Sudah selayaknya Pak Gatot Nurmantyo untuk tidak menerima niat baik tersebut.
Alasan Pak Gatot batal hadir yang melibatkan faktor Covid-19 juga dianggap sebagai alasan semu belaka.
Lha gimana, Pak Gatot menolak hadir salah satunya dengan alasan Covid-19, namun di sisi yang lain, ia bersama beberapa kawan sealiran dan sepemahaman, beberapa waktu lalu ikut dalam acara pendeklarasian KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Deklarasi yang menuai berbagai komentar negatif, karena dilaksanakan di tengah pandemi, dan mengabaikan protokol kesehatan.
Mau tak mau, sentimen masyarakat pun kian meninggi. Banyak yang kemudian membahas hal-hal negatif tentang Pak Gatot. Ia dianggap tak punya cukup prestasi yang mentereng saat menjabat sebagai Panglima TNI. Selama menjabat, Sang Jenderal dianggap lebih dikenal dengan berbagai kontroversinya. Mulai dari memerintahkan jajaran bawahannya untuk mengadakan acara nonton bareng film G-30S/PKI, sampai aktif mewacanakan isu-isu kebangkitan komunis.
Itu masih belum termasuk ejekan-ejekan tidak relevan semisal menyangkut-pautkan namanya yang ‘Gatot’ itu sebagai akronim dari ‘gagal total’.
Lengkap sudah.
Nah, sebagai pribadi yang berhati putih, sejujurnya, saya cukup berempati pada Bapak Pak Gatot. Apa salah beliau sehingga harus menerima berbagai hujatan dari netizen tiada akhlak? Sosok seperti Pak Gatot tak seharusnya menerima nyinyiran-nyinyiran netizen yang memang pedih dan berkaret dua itu.
Saya sendiri mencoba untuk memahami sikap Pak Gatot ini sebagai sebuah kewajaran belaka. Kalau kita mau melihat lebih dalam pribadi Pak Gatot Nurmantyo melalui weton dan shio, niscaya para penyinyir Pak Gatot Nurmantyo itu pasti tak akan tega untuk menyinyiri Pak Gatot Nurmantyo.
Begini, menurut data yang tersebar di internet, Pak Gatot Nurmantyo lahir pada 13 Maret 1960 Masehi, atau 15 Poso 1891, menurut penanggalan Jawa. Dari situ, bisa diketahui bahwa weton Pak Gatot adalah Minggu pon.
Nah, dilansir dari situs sutresna Jawa ki-demang.com, orang yang lahir di hari Minggu memiliki sifat tekun, mandiri dan berwibawa. Lalu, weton pon menandakan orang tersebut bicaranya banyak diterima orang, suka tinggal di rumah, tidak mau memakan yang bukan kepunyaannya sendiri, suka marah kepada keluarganya, jalan pikirannya sering berbeda dengan pandangan umum, suka berbantahan, berani kepada atasan, serta rezekinya cukup.
Nah, dari sasmita-sasmita tersebut saja sudah kelihatan bagaimana sikap seorang Pak Gatot Nurmantyo. Kita patut menggarisbawahi bagian jalan pikirannya sering berbeda dengan pandangan umum, suka berbantahan, dan berani kepada atasan. Cocok dengan Pak Gatot, bukan?
Saat menjadi Panglima TNI, ia tak ragu untuk berseberangan dengan atasannya. Sampai-sampai (entah ada hubungannya atau tidak), ia diberhentikan sebelum masa jabatannya usai.
Hingga sekarang, ia masih tetap tak ragu untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Mungkin bukan kebetulan juga, para pentolan KAMI, seperti Din Syamsudin, Said Didu, dan Syahganda Nainggolan, sama-sama berweton pon.
Ia juga memiliki jalan pikiran yang berbeda dengan pikiran umum. Bila orang pada umumnya akan menerima dengan senang hati bila diberi penghargaan, apalagi sekelas Bintang Mahaputera, maka tidak demikian dengan Pak Gatot. Ia tetap keukeuh pada pendiriannya. Ia tak ingin integritasnya terganggu, karena diberi penghargaan.
Lalu, tentang shio, dari tahun kelahirannya, diketahui bahwa Pak Gatot ber-shio tikus. Orang dengan shio tikus merupakan orang-orang cerdas, mempesona, cepat tanggap, praktis, ambisius, dan pandai berhemat, serta sering aktif dalam kegiatan sosial.
Kita patut menyorot sifat ambisius dan sering aktif dalam kegiatan sosial. Dua hal yang juga dimiliki Pak Gatot.
Siapa yang tak ingat dengan keinginan Pak Gatot untuk menjadi capres di pilpres 2019, yang lalu? Sayangnya belum ada partai yang mau meminangnya. Dalam hubungannya dengan penganugerahan Bintang Mahaputera, saya yakin, keinginan Pak Gatot bukanlah untuk berperan sebagai penerima, namun sebagai sang pemberi anugerah tersebut.
Tentu saja ini adalah ambisi mulia yang tak bisa dipahami netizen. Menerima bintang itu sudah biasa. Memberi bintang, itu yang luar biasa. Dan itulah yang sedang ingin dicapai oleh Pak Gatot. Itulah sebabnya, Pak Gatot akan menanti hingga suatu saat nanti menjadi presiden, dan dapat menjadi sang pemberi penghargaan. Menantinya sampai kapan? Entah, hanya semesta yang paham.
Adapun terkait dengan poin sering aktif dalam kegiatan sosial, hal tersebut bisa tampak jelas pada sosok Pak Gatot saat ia tergabung dalam KAMI. Ini tentu saja adalah manuver yang berkaitan erat dengan poin pertama tadi. Siapa tahu, dengan aktif dalam kegiatan sosial bersama KAMI, hal tersebut bisa menjadi jalan yang dapat mengantarkannya pada misi mulia beliau.
Kalaupun tidak ada ada parpol yang mendukungnya, KAMI juga tak haram untuk bertransformasi menjadi parpol, kok. Kalau Nasdem saja bisa, kenapa KAMI tidak?
Nah, dari peninjauan weton dan shio Pak Gatot Nurmantyo di atas, maka sudah selayaknya bagi kita untuk mulai mengubah perspektif dalam memandang seorang Pak Gatot Nurmantyo.
Kita sudah seyogianya memandang Pak Gatot sebagaimana Pak Gatot apa adanya. Dia, mau bagaimanapun, ya memang begitu itu orangnya.
Berempatilah sedikit padanya. Ingat, sudah banyak kekecewaan yang menghantam dirinya. Endapan-endapan kekecewaan itu bisa terbaca jelas pada gurat-gurat sendu di wajahnya yang sampai-sampai membuat bibirnya susah betul untuk tersenyum.
Kalau bukan kita yang membuat Pak Gatot Nurmantyo tersenyum kembali melalui energi-energi empati, lantas siapa lagi?
BACA JUGA Kegiatan yang Seharusnya Dilakukan Gatot Nurmantyo Ketimbang Bikin Pernyataan Sembrono tentang Corona dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.