MOJOK.CO – Kalau ente kritik pemerintah, jadi hal biasa kalau ente dianggap salah satu di antara kampret gagal move on atau kadrun, bagi bucin pemerintahan Pak Jokowi.
Kurva pandemi terus menanjak, seiring jumlah kasus terkonfirmasi, ODP, PDP, dan pasien yang dinyatakan sembuh maupun meninggal juga terus bertambah. Belum ada kepastian tentang vaksinnya, apalagi soal nasib masyarakat yang terancam maupun yang telah menjadi korban terdampak langsung maupun tak langsung dari wabah ini. Tak seorangpun sudi bertanggung jawab atas nasib mereka (dan kita).
Kepastian lainnya, ke depannya kita akan semakin sering menjumpai bucin politik yang militan mengabdikan dirinya demi membela tegaknya citra pemerintahan Pak Jokowi. Termasuk ihwal langkah-langkah dalam menghadapi pandemi—wabilkhusus di medsos. Saking militannya, mereka ini lebih mirip bucin ketimbang lovers. Sejak bertahun lalu, saya lebih suka menyebut spesies hibrida satu ini sebagai bucin politik.
Narasi inti yang diusung itu-itu saja: Pokoknya apa yang dilakukan pemerintah PASTI benar. Ente mengritik pemerintah, ente pasti salah satu di antara kampret gagal move on, kadrun, atau keduanya sekaligus di mata bucin Pak Jokowi. Elu boleh meragukan Tuhan, tapi jangan sekali-sekali berani mencela pemerintahan Pak Jokowi. Kira-kira gitu.
Segala jurus akan dipakai untuk menyangkal kritik. Mulai dari penyederhanaan masalah, hingga pembunuhan karakter. Praktik “kill the messenger” mulai sering kita temukan lagi. Misalnya, ketika Dandhy Dwi Laksono dituding sebagai keturunan dan antek PKI karena gemar mengritik pemerintah.
Lucunya, tak sedikit di antara mereka yang gencar mem-“PKI”-kan Dandhy ini adalah orang-orang yang sama yang tadinya menertawakan isu kebangkitan PKI dan komunisme ketika disuarakan Kivlan Zen dan orang-orang sebarisannya.
Demikian pula dengan Ravio Patra, aktivis lainnya, yang ketika sempat ditangkap aparat, langsung dijelek-jelekkan beramai-ramai, termasuk oleh mereka yang sebelumnya bahkan belum pernah mendengar namanya.
Ketika akhirnya Ravio dilepas karena tidak terbukti bersalah, adakah di antara para bucin dan buzzer itu berani meminta maaf telah menuduhnya macam-macam? Padahal, ketika Pak Jokowi yang diserang, mereka sering sekali berkoar tentang tabayun.
Absurd, kan? Tapi, demi ngebucin, apa sih yang nggak?
Namanya juga budak cinta. Soal cintanya itu akhirnya berbalas indah atau tidak, tidak masalah benar. Yang penting, militan dulu, berpikir kemudian. Apalagi nyesel. Apalagi berubah.
Sama aja kayak sekarang ini, ketika kurva terus menanjak. Berbagai cara dilakukan untuk mendelegitimasi fakta, mulai dari menyangsikan validitas data, integritas WHO dan para nakes yang berjibaku di lapangan, bergunjing soal konspirasi global, hingga menyalahkan masyarakat yang tak mematuhi PSBB.
Bagi bucin politik model begini, semua jadi salah, kecuali… pemerintahan Pak Jokowi.
Demi apa? Ya, selain demi menjaga citra pemerintah, sekaligus mencari pembenaran atas langkah pemerintah menerapkan New Normal tanpa persiapan memadai.
Ketika ada info orang wafat dengan status positif, bucin akan berkata, “Yakin itu karena corona? Siapa tahu dia punya penyakit lain. Mayoritas korban meninggal itu bukan karena coronanya, tapi karena penyakit lainnya. Sudah, tak usah berlebihan.”
Itu analoginya kira-kira sama kayak kalo ada orang wafat akibat tertabrak truk. Bucin ini mungkin juga bakal bilang, “Yakin itu akibat kesenggol truk? Bisa jadi dia meninggal akibat nggak kuat berbenturan sama aspal. Kebanyakan orang meninggal kecelakaan itu bukan akibat ketabrak truknya, melainkan karena gak kuat nahan benturan. Jadi bukan truknya yang bahaya, melainkan aspalnya. Sudah lah, nggak usah lebay.”
Well, bisa saja kita bertanya pada para pakar differential diagnosis misalnya, untuk mencari tahu mana di antara COVID-19 dengan penyakit lain itu yang paling berperan memicu kematian sang pasien?
Tentu, idealnya setiap kasus bisa diperiksa satu per satu.
Tapi, nyatanya kan nggak begitu. Tidak mungkin kita bisa mengotopsi semua jenazah satu-satu. Terlebih ketika Pada saat yang sama pasien baru terus berdatangan. Kita tidak punya cukup sumber daya, waktu, dan kemauan untuk itu.
Apa sih yang mau diharapkan dari negara yang sudah terkenal enggan menelaah dan meluruskan sejarah ini? Apalagi untuk “sekadar” menelaah histori COVID-19.
Lagipula skeptisisme soal validitas data jumlah korban meninggal itu juga bisa dibalik: Bagaimana dengan jumlah mereka yang wafat akibat pandemi tanpa sempat dites, atau wafat sebelum hasil tesnya keluar?
Faktanya adalah, terlepas dari apakah dia wafat karena COVID-19, ataukah pendarahan di otak, terbentur aspal, tersedak muntahannya sendiri, atau apalah itu, orang yang wafat itu terkonfirmasi positif. Jenazahnya wajib dimakamkan dengan protokol COVID-19.
Sama seperti korban tewas dalam kecelakaan tadi. Mau dia meninggalnya akibat murni kesambar truk, atau karena terhempas ke aspal, atau karena jantungan akibat kaget ditabrak, tetap saja dia dicatat sebagai korban kecelakaan tabrakan dengan truk. Dan yang ditangkap ya tetap saja si supir truk, bukan tukang aspalnya.
Faktanya lagi adalah, belum seorangpun yang benar-benar tahu soal COVID-19 dan mampu mengatasinya. Begitu banyak klaim-klaim tentangnya yang terus berubah seiring munculnya temuan baru, menunjukkan betapa misterius dan berbahayanya pandemi ini. Dan akan terus menjadi berbahaya, sebelum tersedia penangkalnya yang bisa diakses oleh segenap manusia.
Jadi, selama penangkal itu belum tersedia, berhentilah mengaku menjadi yang paling tahu untuk membereskan masalah ini, terlepas kubu manapun yang kemarin kalian dukung.
Terimalah kenyataan bahwa kita dipaksa untuk menjalani Normalitas Baru kini, karena pemerintah tak sanggup memilih jalan lain yang lebih baik. Sadarilah bahwa hidup dan mati kita saat ini benar-benar tergantung pada takdir Ilahi dan kedisiplinan kita menjaga diri.
Soalnya di mata bucin pemerintahan Pak Jokowi yang mati-matian dibela itu, bisa jadi nyawa kita tak lebih sekadar angka. Kita baru benar-benar dianggap ada dan berharga ketika tiba waktunya bayar pajak dan coblosan. Sad, but true.
Cukuplah cintai negeri dan bangsanya saja. Pemerintahnya, hormati sewajarnya saja. Contohlah para suporter sepakbola sejati, yang cinta mati pada timnya, namun bukan manajemennya.
BACA JUGA Risiko Kesehatan yang Menghantui Bucin atau tulisan Is Harjatno lainnya.