Komedian kesohor Charlie Chaplin satu tempo pernah bilang: kehidupan adalah tragedi jika dilihat dari jarak dekat dan komedi jika dilihat dari jarak jauh. Dengan sangat menyesal saya ingin mengatakan kepada akhi-akhi mahasiswa calon peserta demo 4 November besok bahwa bangsa Indonesia hari ini sudah defisit komedi.
Ini bahaya. Bung Karno, si Bung Besar, pernah bilang bahwa hendaknya kita hidup dengan cara vivere pericoloso. Hidup yang nyerempet-nyerempet bahaya. Cukup nyerempet saja. Jangan sampai kita kena bahaya beneran. Nyerempet-nyerempet serius boleh, tapi kalau melulu serius, ini yang menyebabkan bahaya.
Hidup akhir-akhir ini menjadi sedemikian serius. Jika membuka media sosial, kita akan menemui dua kemungkinan, mengernyitkan dahi atau mengelus dada. Dua-duanya tanda keseriusan. Ini bahaya. Sekali lagi: sangat berbahaya.
Terhadap isu-isu tertentu, reaksi masyarakat bisa menjadi sangar dan gahar. Yang belakangan paling mencorong adalah rencana demonstrasi pada 4 November mendatang. Demo tersebut akan dilakukan oleh sejumlah ormas keagamaan untuk menanggapi tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta. Bahkan dai kondang Aa Gym menyatakan akan turun dalam aksi kali ini.
Ini perkara serius.
Zaman Pak Esbeye masih jadi presiden, saya sempat bahagia tatkala meyaksikan sebuah stasiun TV menayangkan berita demonstrasi besar-besaran. Di tengah hiruk pikuk pekik dan pekak demonstrasi itu, saya dengan jelas menyaksikan seorang demonstran yang memakai atribut ikat kepala dengan tenang melenggang sembari memegang seutas tali. Tali itu, Anda tahu, adalah keloan (tali hidung) kerbau yang dituntunnya. Kerbau itu berjalan santai dengan sisi kanan-kiri perutnya dipilok menjadi tulisan “Si Buya”.
Ini lompatan teknologi dalam demonstrasi. Kecanggihan yang laik diapresiasi. Demonstrasi ndak mesti teriak-teriak sehingga membuat otot leher membengkak. Demonstrasi cukup dilakukan dengan cara yang “mojok”. Bawa kerbau, tulisi tubuhnya dengan inisial yang “vivere pericoloso” terhadap subjek yang didemo, habis perkara.
Peduli setan ia tersinggung atau tidak. Yang penting bagi manusia yang cerdas, kaidahnya cukup jelas: yakfi bil isyaroh. Manusia yang otaknya lumayan itu ndak perlu diteriaki, tak perlu dimaki-maki, apalagi dengan cara megap-megap pakai megafon. Cukup pakai isyarat saja ia akan paham.
Sepanggang seperapian dengan kecerdasan penyeret kerbau “Si Buya” itu, pemuda di kampung saya juga melakukan hal yang tidak kalah cerdas. Bertahun lampau, saat jalanan kampung kami yang hanya bisa dilukiskan dengan kata “rusak” atau “rusak sekali” tidak kunjung diperbaiki pemerintah, sekelompok pemuda secara kolosal menanam pohon pisang berjajar rapi di tengah jalan.
Jalanan kampung kami lunas menjadi kebun pisang jadi-jadian.
Di hadapan kejadian yang demikian, demonstrasi bukan saja menjadi komikal dan lucu, lebih dari itu, demonstrasi seperti itu adalah demonstrasi yang parodik, yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memandang kehidupan dari jarak jauh seperti perkataan Chaplin.
Ndak ada kerusuhan, ndak ada kegaduhan. Yang ada justru sebaliknya, kelucuan dan kegembiraan. Jalanan boleh saja tak kunjung diperbaiki, namun jangan pernah sekali-kali merenggut dari kami hak kegembiraan atas hidup. Begitu kira-kira pamflet demonstrasi komikal itu jika dituliskan dalam kalimat.
Saya mencatat dan akhirnya menemukan sebuah pola yang mungkin saja masih kasar, namun setidaknya bisa dijadikan referensi. Demonstrasi, dalam catatan saya, menjamur selepas meletusnya Reformasi. Sejak saat itu, banyak pihak yang kecanduan melakukan demonstrasi. Kalau ndak demo ndak marem (puas). Kalau ndak teriak ndak enak. Pelopornya adalah mereka yang acap menyebut diri agent of change, agen perubahan. Bukan agen minyak tanah apalagi pulsa.
Setelah Reformasi, demonstrasi tumbuh bak cendawan di musim hujan. Melihat kebijakan ndak tepat, kita demo. Melihat diskriminasi, kita demo. Melihat atasan ndak bijak, kita demo. Melihat bawahan ndak rajin, kita demo. Melihat atasan yang ndak pakai bawahan, kita demo. Pokoknya kita maniak demo.
Tapi itu ndak lama, hanya berjalan sekitar 10 sampai 15 tahun saja. Sekira tahun 2010, demonstrasi menurun drastis. Bukan karena tidak ada masalah. Masalah masih cukup banyak, namun lokus dan cara menanggapinya sudah berbeda dan mengalami pergeseran. Mahasiswa sudah pinter-pinter mengemukakan pendapat sehingga mereka ogah teriak-teriak demonstrasi.
Lagian, kebanyakan mahasiswa kan terbelenggu dalam kredo “Berani mati tapi takut lapar”. Sangat mungkin logistik demonstrasi kian hari kian menipis. Bandarnya bangkrut sehingga mereka pensiun dini.
Mahasiswa cepat belajar. Mereka menyadari, meskipun telat, bahwa demonstrasi dengan cara berteriak-teriak apalagi membakar ban bekas segala itu ndak ada gunanya. Mereka bukan lagi turun jalan, melainkan turun pena. Mereka banyak menulis. Mereka banyak menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Mahasiswa tidak ingin mengerjakan hal yang sia-sia. Mereka tidak ingin masuk ke dalam lubang yang sama, yang dulu mereka sendirilah penggalinya.
Celakanya, mahasiwa memang cepat belajar, namun ada jenis kawanan manusia yang justru lambat sekali belajarnya, jika tidak mau dikatakan tidak belajar sama sekali. Saat mahasiswa sadar dan menjauhi lubang demonstrasi yang mereka gali, yang nyatanya ndak membuahkan hasil apa-apa itu, sekawanan manusia ini dalam lima tahun terakhir justru gemar sekali berdemonstrasi. Jihad katanya.
Oalah. Kalau jihad mbok ya lihat-lihat gitu lho, Akhi. Kalau jihad itu yang keren. Cari lawan dan sparing partner yang seimbang seperti zaman dulu saat Resolusi Jihad melawan NICA feat pasukan Sekutu pemenang Perang Dunia Kedua.
Lha sekarang, sampean-sampean mau jihad jalan kaki dari Masjid Istiqlal ke Istana Negara? Sampean jihad lawan siapa? Kebangetan sekali kalau sampean jihad lawannya cuma si Aaahhh… sudahlah.
Ente ndak pintar mengolah tragedi menjadi komedi, Akhi. Makanya, Akhi, sebaiknya pulanglah, baca The Name of the Rose Umberto Eco: Akhi akan tahu betapa dahsyatnya humor dan komedi.