MOJOK.CO – Bagi saya, di bawah neraka jahanam, masih ada neraka paling laknat lagi, yaitu Stasiun Manggarai. Memang dajjal stasiun ini.
Lagi dan lagi, Stasiun Manggarai mencuri perhatian warganet. Kamis, 6 April 2023, perbaikan wesel di jalur 7 stasiun yang berada di Jakarta Pusat tersebut, bikin penumpukan penumpang membludak. Tidak beroperasinya jalur 7 selama sementara waktu di pagi hari berimbas pada pergerakan penumpang yang terpaksa menyeberang ke jalur 4 dan membuat keadaan sempat chaos.
Namun, chaos di Manggarai sejatinya bukan hal baru. Jadi ya, jujur, nggak aneh juga. Malah kalau nggak chaos, kita yang merasa aneh. Jika ada ungkapan di atas langit masih ada langit, buat saya, beda lagi kalimatnya. Bagi saya, di bawah neraka jahanam, masih ada neraka paling laknat lagi, yaitu Stasiun Manggarai.
Stasiun yang baru direnovasi dan sejujurnya, belum siap-siap banget jadi stasiun transit besar ini, menyimpan banyak masalah. Buat saya yang termasuk anker (anak kereta) newbie, berada di line Bogor dan harus menerima nasib transit di Manggarai, adalah salah satu kesialan hidup yang saya sesali tapi nggak bisa apa-apa juga. Manggarai itu benar-benar sukses mengejawantahkan segala hal tentang Indonesia; rumit dan ruwet.
Tidak ada satu saja hal yang ideal dari Manggarai
Pertama, infrastruktur. Kalau kamu masuk Manggarai, kamu akan lihat proyek pembangunan masih berjalan masif. Tiang di mana-mana. Akses jalan sempit, utamanya di peron bawah nomor 6, 7, dan 8. Tangga, elevator, dan lift masih sangat sedikit dan ukuran lebarnya tidak pernah cukup untuk semua penumpang yang transit. Bagaimana bisa stasiun transit besar, yang digadang-gadang akan menjadi pengganti Gambir, begitu cepat dipaksakan untuk beroperasi ketika nggak semua infrastruktur siap?
Kedua, sesat pikir pembuat kebijakan. Protes terkait chaos berhari-hari di Manggarai bukan sekali ini saja. Sudah berkali-kali, sejak penerapan kebijakan transit di Manggarai resmi berlaku, keluhan penumpang sudah nyaring terdengar.
Buat saya dan kawan-kawan yang sehari-hari harus membelah ibu kota, Manggarai adalah keniscayaan. Inilah yang terjadi ketika kamu membuat kebijakan tanpa pernah turun ke lapangan. Data bisa diakali, tapi fakta di lapangan, mana bisa diakali oleh sebuah kebijakan di atas kertas?
Ketiga, masalah makin runyam ketika rencana PT KAI Commuter Indonesia (KCI) untuk impor kereta bekas mendapat penolakan dari DPR. Penolakan ini yang kemudian bikin sejumlah kereta yang stand by di jam sibuk, terasa berkurang cukup masif.
Sejatinya ini stasiun potensial
Jujur saja, sejatinya, Manggarai memang cukup potensial. Secara lokasi, ia dekat ke mana-mana. Dari Tebet ia dekat, dari Kuningan juga cuma sepelemparan batu. Kalau melipir ke arah Sudirman atau Gatot Soebroto, jaraknya juga relatif masih terjangkau. Tapi, meski ramai, Stasiun Manggarai sejatinya ramai bukan karena ia jadi pilihan penumpang. Tapi karena lewat “pemaksaan kebijakan”, ia membuat penumpang hanya punya satu opsi yaitu opsi wajib transit di Manggarai.
Idealnya, tempat publik itu ramai karena ia fungsional dan bermanfaat. Aksesnya mantap dan lokasinya pun menunjang dan memadai. Tapi Manggarai? Benar bahwa ia ramai, tapi ketahuilah, orang-orang tetap memilih naik KRL dari Manggarai sesimpel karena kami tidak lagi punya pilihan. Ingat pernah viral berita pegawai resign karena nggak kuat mental transit di Manggarai tiap hari? Itulah, bung dan nona, realitanya.
Tapi tenang, manusia itu rajanya beradaptasi. Ketika jutaan tahun yang lalu dinosaurus punah ketika Bumi dihantam meteor besar, manusia tetap ada dan beranak-pinak sampai sekarang. Dan menghadapi Manggarai, kita harus selalu punya strategi.
Bertahan hidup menghadapi Manggarai
Pertama, kalau kamu line Bogor seperti saya dan berkantor di kawasan Sudirman, saya punya trik cukup oke. Karena malas berurusan sama stasiun dajjal itu, saya biasanya mengakali turun di Stasiun Tebet dan lanjut dengan ojek online ke kantor. Ya memang, sih, agak boncos banyak sampai Rp400.000 ribu lebih buat ongkos transport, tapi buat saya, itu sepadan demi bisa menghindari Manggarai.
Nanti pulangnya, saya nggak mau lewat Manggarai. Dari Kuningan, saya biasanya naik TransJakarta dan turun di Stasiun Tebet untuk selanjutnya naik kereta line Bogor sampai Stasiun Bogor. Enaknya lagi, kalau kamu beruntung, karena Tebet adalah stasiun pertama setelah berhenti di Manggarai dari Jakarta Kota, biasanya penumpangnya masih cukup sepi… kalau kamu pulang di atas pukul 7 malam ya, hehehe.
Kedua, hal ini berlaku kalau kamu dalam arah pulang ke line Cikarang. Kalau kebetulan kamu berkantor di Sudirman, kamu bisa naik MRT dari Menara Astra dan turun di Dukuh Atas. Dari sana, kamu jalan kaki ke arah Stasiun BNI City. Di stasiun tersebut, kamu bisa menjemput bola lebih dini. Sebabnya, ketika KRL line Cikarang berhenti di BNI City, biasanya kondisinya masih lengang karena ia belum mengangkut penumpang di Stasiun Sudirman dan Stasiun Manggarai. Jadi kuncinya adalah kamu harus pro-aktif menjemput kursi untuk duduk di Stasiun BNI City. Kalau beruntung, kamu bisa duduk sampai Bekasi hingga Cikarang.
Opsi ketiga; resign. Sudah, tinggalkan pekerjaanmu kalau itu bikin kamu harus transit di Manggarai. Persetan dengan gaji besar, tapi tiap hari harus lewat celah selebar kurang dari 10 meter dan harus dilewati ratusan orang tiap harinya sambil khawatir sewaktu-waktu bisa terjungkal ke rel kereta kalau apes.
Bukan kebetulan, saya akhirnya ambil opsi ketiga. Hehe.
BACA JUGA Semoga Kita Semua Bisa Bernapas di Manggarai dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno