MOJOK.CO – Malang nggak hanya soal gunung dan laut, juga soal wajah-wajah warga yang murung dan pikiran-pikiran yang kalut karena menderita.
Ketika Sal Priadi merilis lagu terbarunya berjudul “Malang Suantai Sayang” beberapa hari lalu, ada perasaan hangat ketika mendengarkan lagunya. Lagu Sal membawa nostalgia kecil-kecilan tentang betapa menyenangkannya kota itu. Selain itu, lagu Sal menjadi persembahan dan penegasan identitasnya sebagai representasi Kota Apel di blantika musik nasional.
Eh, Malang akhirnya dibahas lagi. Sal membahasnya dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara yang suantai.
Maka nggak heran jika banyak orang merayakan lagu “Malang Suantai Sayang” sedemikian rupa. Sebagian dari kami bersorak bahagia, beberapa tenggelam dalam haru dan nostalgia.
Sal seakan mengajak kita untuk merayakan tanah kelahirannya. Termasuk saya, yang juga senang ketika ada yang merayakan Malang lewat sebuah lagu.
Menolak larut dalam perayaan
Namun, saya sebagai orang Malang nggak mau terlalu larut dalam perayaan “Malang Suantai Sayang”. Saya mengakui, di satu sisi, lagu ini memang agak melenakan kita dari sumpeknya hidup, beratnya mencari sesuap nasi, dan rentetan problematika nyata yang menghantui Malang.
Saya mungkin terdengar seperti seorang party pooper. Tapi percayalah, bahwa Malang nyatanya nggak sesantai itu, kok. Alih-alih santai, kota ini makin ruwet, semrawut, dan nggak tahu arahnya mau ke mana. Setidaknya ada dua hal yang masih bikin Malang ini ruwet dan amburadul: kemacetan dan masalah tata kota.
Baca halaman selanjutnya: Malang tak seindah lagunya Sal.












