Selepas TGIPF membuat laporan terkait Tragedi Kanjuruhan, nyatanya tanda pagar #usuttuntas hanya omong kosong belaka. Tagar tersebut tidak pernah benar-benar mencerminkan niat klub untuk mendorong pengusutan tragedi lebih lanjut. Ramai di media sosial, lalu maknanya hilang begitu saja.
Nyatanya, sampai saat ini, Arema FC sebagai pelaksana dan penanggung jawab Tragedi Kanjuruhan malah adem ayem. Mereka asyik mencari segala cara untuk bisa ikut main bola lagi. Kemanusiaan, bagi mereka, harus selalu kalah. Titik.
Lucunya, sanksi PSSI untuk mereka itu sangat ringan. Padahal kita semua sama-sama memahami betapa besar dampak dari Tragedi Kanjuruhan. Ibu dan bapak kehilangan anaknya. Istri di rumah kangen almarhum suaminya. Bapak muda meninggalkan anaknya yang masih kecil untuk selamanya.
Tragedi kemanusiaan semacam ini tidak pernah masuk kalkulasi mereka. Keberadaan Iwan Budianto, pemegang saham Arema FC merangkap sebagai Wakil Ketua PSSI, ditengarai menjadi sebab tumpulnya hukuman.
Arema FC dan Aremania yang ada Yuli Sumpil di dalamnya memang abai dan tidak peduli terhadap Arek Malang yang memperjuangkan keadilan bagi korban. Mereka sibuk memikirkan diri sendiri dan kepentingan Iwan Budianto. Berkat mereka, Liga 2 dan Liga 3 sempat akan dihentikan. Akibatnya, seluruh peserta Liga Indonesia harus memikul kesalahan satu klub (dan suporter tuwekan yang nggak punya hati).
Kemarin, saya geram sekali ketika PSSI dan PT LIB ikut-ikutan goblog ketika melanjutkan Liga 1 namun menghentikan Liga 2 dan Liga 3. Goblog, karena mereka menghapus sistem degradasi dan promosi.
Bagi orang-orang aneh ini, Liga Indonesia ibarat mainan saja. Seperti fun football pegawai kantoran di ujung pekan. Hilangnya sistem degradasi itu sangat tidak profesional. Meningkatkan peluang “jual dan beli pertandingan” demi meraih gelar juara.
Kini, di Liga 1, terjadi penundaan demi penundaan pertandingan. Kejadian ini melahirkan gosip murahan bahwa ada tekanan di PT LIB untuk mengakomodasi kepentingan Arema FC. Semoga gosip ini tidak benar. Kalau benar adanya? Ya kiamat saja sepak bola kita.
Suka sekali memelihara dualisme
Dulu, saya mendengar bahwa Tragedi Kanjuruhan akan menjadi momentum bersatunya Aremania. Terutama dalam menyikapi dualisme yang terjadi sejak lebih dari satu dekade yang lalu.
Kemunculan Arema FC (dulunya Arema Cronus) milik Iwan Budianto dengan dukungan finansial dari Bakrie Group menggusur Arema Indonesia, klub yang didirikan oleh almarhum Lucky Acub Zaenal. Arema versi Iwan Budianto lebih menarik bagi Aremania karena dipandang sustainable.
Maklum, dana yang mengalir memang melimpah dan mampu mendatangkan pemain bintang. Siapa yang tak ingin menjadi suporter klub yang selalu punya peluang juara setiap musimnya?
Kenapa harus mendukung klub asli jika hanya main di Liga 3? Lebih baik mendukung klub yang selalu menjadi langganan perebut gelar Liga 1 meski palsu. Terkadang, suporter sering silau dengan gemerlap Liga 1 karena di sana terdapat ajang eksistensi dan pengakuan berada.
Tragedi kemanusiaan yang seharusnya menjadi pelajaran, mempererat persatuan dan persaudaraan, justru tak bisa ditangkap dengan baik oleh Aremania. Mereka justru terpolarisasi, berkubu-kubu yang berseberangan, saling tuduh dan fitnah.
Sebuah kebohongan besar
Nama Aremania ikut terseret menjadi bagian yang bobrok. Terutama setelah berkumpulnya para tetua Aremania macam Yuli Sumpil di Kandang Singa (julukan kantor PT AABBI), kemudian menentang pembubaran klub dan mensakralkan logo Arema FC.
Arema, Aremania, hingga Kota Malang akhirnya menjadi bahan hujatan dan lelucon publik. Arema FC disebut sebagai klub tanpa empati yang tak peduli nasib korban Kanjuruhan. Mereka merepotkan semua klub karena menjadi anak emas “Sang Bapak di PSSI”.
Kelompok Yuli Sumpil, yang identik sebagai golongan tua, dikenal sebagai loyalis Iwan Budianto. Jadi maklum kalau dia lebih memilih Arema FC sebagai induknya. Faktor ekonomi? Coba Anda jawab dan analisis sendiri.
Dualisme Arema ini mengingatkan saya kepada konsep Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi. Konsepnya adalah argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai big lie yang artinya ‘kebohongan besar’.
“Sebarkan kebohongan secara masif dan terus-menerus, hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.” Sebuah konsep yang sederhana, efektif, namun mematikan. Arek Malang sudah dininabobokan oleh Iwan Budianto dan Arema FC.
Kehormatan yang sirna
Tahukah kamu kalau Kota Malang itu memiliki semboyan yang disebut “Malang Kucecwara”. Semboyan ini diusulkan oleh seorang cendekia bernama Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka.
Semboyan “Malang Kucecwara” ini mulai dipakai sejak peringatan 50 tahun berdirinya Kota Praja Malang pada 1964. Semboyan Malang Kucecwara merupakan singkatan dari kata mala, angkuca, dan icwara.
Mala berarti ‘segala sesuatu yang kotor’, ‘kepalsuan’, atau ‘kebatilan’. Angkuca memiliki arti ‘menghancurkan’ atau ‘membinasakan’. Sedangkan icwara berarti ‘Tuhan’. Jika digabungkan, Malang Kucecwara berarti ‘Tuhan menghancurkan yang batil’.
Lantas, apakah perang melawan kebatilan itu akan berhasil? Apakah kehormatan itu masih bisa diperjuangkan? Hanya Tuhan dan Arek Malang yang tahu.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Yuli Sumpil dari Fans Persis Solo yang Pernah Mengagumi Arema dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Yungyung Krisna Wardhana
Editor: Yamadipati Seno