MOJOK.CO – Damai dan toleransi sebaiknya tidak kita maknai sebatas rukun dan tak ada konflik. Jangan-jangan, justru ada ketimpangan kuasa di dalam prosesnya.
Barangkali sudah jadi rahasia umum bahwa masyarakat kita cinta damai. Ditilang minta damai. Oknum TNI memukul anggota Polri berakhir damai. Pengendara moge gebukin orang juga berakhir damai.
Tidak hanya cinta damai. Kita juga toleran. Di bulan puasa, segelintir orang yang puasa tapi tidak tahan godaan menuntut warung-warung untuk toleran dan tutup di siang hari. Kita juga tidak segan memenjarakan orang yang mengeluh soal speaker rumah ibadah karena dianggap mengganggu toleransi mayarakat.
Bukannya nyinyir, tapi kenyataannya konotasi “damai” dan “toleransi” dalam masyarakat kita memang demikian. Kita sering menyederhanakan makna “damai” dan “toleransi” sebagai sekadar “rukun” atau “tidak ada konflik”. Pokoknya damai itu kalau nggak ada orang berantem, nggak ada orang berselisih pandang.
Pandangan ini keliru. Kenapa? Pasalnya memaknai damai dan toleransi sebagai ketiadaan konflik menunjukkan bahwa kita hanya peduli pada hasil dan mengabaikan proses. Dua masyarakat A dan B bisa terlihat sama-sama damai, rukun, dan tanpa konflik tapi proses mencapai kedamaian dan kerukunan itu bisa beda jauh.
Di masyarakat A mungkin kita menemukan kedamaian yang orisinil, yang sejati. Kedamaian atau kerukunan sejati hanya bisa dicapai kalau semua pihak yang berkepentingan ada dalam posisi setara dan sama-sama sepakat untuk menyelesaikan perseteruan atau perbedaan dengan tanpa adanya kekerasan.
Sebaliknya, di masyarakat B mungkin kita menemukan kedamaian yang KW alias palsu. Ketiadaan konflik di masyarakat seperti ini disebabkan bukan oleh kesepakatan pihak-pihak setara, tapi oleh pemaksaan pihak yang kuat agar pihak yang lemah diam dan tidak bikin ribut.
Contoh damai model masyarakat B banyak. Kasus Agni misalnya. Katanya kasus perkosaan ini berakhir damai. Lah, di mana letak damainya kalau dari awal Agni sudah mengalami tekanan dan posisi negosiasi antara Agni, UGM, dan terduga pelaku HS tidak setara? Di mana letak damainya kalau dari awal UGM memang sudah terlihat tidak berpihak kepada korban dan lebih tertarik melindungi nama baik yang sudah terlanjur tercoreng?
Contoh lain? Pemotongan nisan salib di Yogya. Bapak Selamat, beragama Katolik, meninggal. Warga memotong salib nisannya karena pemakaman dan warga sekitar mayoritas Muslim. Kata orang perkara ini berakhir damai karena keluarga toh tidak keberatan dan merasa relasi dengan warga baik-baik saja.
Lah, di mana letak damainya jika dari awal tidak ada kesetaraan posisi negosiasi? Di mana letak damainya jika dari awal keluarga Pak Selamat tidak ada pilihan lain, selain mengiyakan salibnya dipotong?
Ketika yang kuat atau banyak memaksakan posisinya, sehalus atau sesantun apapun, itu bukan damai. Itu namanya koersi.
Salah pikir soal damai ini juga ada dalam pemahaman kita tentang toleransi. Waktu mengajar di suatu kampus di Jakarta, saya tanya pada mahasiswa, “Menurut kalian apa itu toleransi?” Jawaban mereka macam-macam: “kerukunan”, “saling menghormati”, atau “saling menghargai.”
Saya yakin nilai PPKn mereka pasti bagus-bagus. Pasalnya itu adalah jawaban yang diajarkan di PPKn. Tapi itu bukan definisi toleransi di ilmu sosial. Toleransi adalah kesediaan menghargai mereka yang berbeda. Ia sifatnya satu arah, bukan dua arah. Toleransi itu kita bersedia menghargai, nggak peduli yang dihargai menghargai balik atau nggak.
Dua pengertian toleransi ini punya implikasi beda. Implisit dalam definisi toleransi sebagai saling menghargai adalah anggapan bahwa kalau yang lain tidak menghargai kita, maka kita tidak perlu menghargai mereka.
Pandangan demikian membuka ketimpangan kuasa. Yang punya kekuatan atau kuasa tentu akan merasa lebih berhak dihargai. Punya kekuatan atau kuasa di sini bisa dimaknai macam-macam. Bisa dari segi ekonomi (yang punya uang yang kuat), bisa juga dari segi koneksi (yang punya saudara pejabat yang kuat). Tapi untuk mudahnya, kita asosiasikan saja kuasa atau kekuatan dengan jumlah massa. Yang kuat ya yang banyak. Yang mayoritas.
Terkait merasa lebih berhak dihargai ini, dapat dimengerti kalau umat Muslim di Indonesia menginginkan presiden beragama Islam. Mereka mayoritas. Mayoritas Kristen di Amerika juga mengharapkan presiden Kristen, dan semua presiden sejauh ini memang beragama Kristen.
Persoalannya, ketika yang minoritas dianggap gagal memenuhi keinginan mayoritas untuk dihargai, pengertian toleransi sebagai saling menghargai memberi justifikasi bagi mayoritas untuk tidak menghargai minoritas. Sama seperti senior di SMA yang galak karena merasa tidak dianggap, mayoritas bisa menolak menghargai minoritas karena merasa tidak cukup dihargai.
Sebaliknya, definisi toleransi sebagai menghargai yang berbeda sifatnya satu arah. Ia tidak mensyaratkan timbal balik. Dalam pengertian ini tanggung-jawab toleransi akan lebih banyak di mayoritas. Mayoritas bertanggung-jawab untuk menghargai minoritas dan mereka yang berbeda. Mayoritas bertanggung-jawab untuk tidak memaksakan pandangan hidupnya.
“Ah, pandangan seperti ini nggak adil terhadap mayoritas!” Kita mungkin protes. Kenapa mayoritas harus menghargai minoritas lebih dari minoritas menghargai mayoritas? Karena mayoritas punya kekuasaan dan pengaruh lebih untuk memaksakan pandangannya, baik lewat kebijakan atau lewat cara yang lebih koersif. Lantas semua privilege, kuasa, dan pengaruh ini datang dengan tanggung-jawab yang besar.
Dengan demikian, di Amerika, tanggung jawab toleransi sebagian besarnya akan jatuh ke tangan orang Kristen dan orang kulit putih. Di Brazil, ke tangan orang Katolik. Di Indonesia, tanggung-jawab akan jatuh ke tangan orang Islam. Sedangkan di daerah yang mayoritas Kristen seperti NTT atau Papua, toleransi sebagian besarnya adalah tanggung-jawab orang Kristen.
Tentu saja, mayoritas dan minoritas di sini tidak melulu soal agama. Mayoritas-minoritas bisa juga soal gender, suku, atau orientasi seksual. Poinnya adalah, selalu ada unsur relasi kuasa dalam definisi kita tentang “damai” dan “toleransi”.
Sayangnya, aspek relasi kuasa ini masih sering luput di mata masyarakat dan pemerintah. Orientasi kebijakan kita masih mengidentikkan damai dan kerukunan dengan ketiadaan konflik atau baku hantam. Makanya kita punya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Makanya pula Kementerian Agama rajin buat indeks kerukunan umat beragama.
Kalau sudah nggak ada yang berantem berarti rukun. Kalau rukun berarti baik. Kita sering lupa mempertanyakan bagaimana “damai” dan “rukun” itu dicapai. Apakah lewat konsensus pihak-pihak yang setara ataukah lewat koersi halus maupun kasar belaka?
Kita bisa belajar dari mereka yang menganggap bumi ini datar atau vaksin itu konspirasi Wahyudi. Sengotot apapun mereka, bumi tetap bulat dan vaksin itu invensi genius manusia. Penyangkalan mereka tidak bisa mengubahnya.
Kita pun bisa menutup mata, memilih tidak peduli, dan menganggap damai—apapun bentuknya—tetaplah damai. Tapi semanis apapun kita membungkusnya, kita tahu damai dan kerukunan yang lahir dari pemaksaan yang kuat terhadap yang lemah bukanlah damai dan kerukunan yang sesungguhnya. Penyangkalan kita tidak bisa mengubahnya.