ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Lulusan Hukum yang Paling Cocok Jadi Petani Jaman Now

Oktavolama Akbar Budi Santosa oleh Oktavolama Akbar Budi Santosa
24 September 2017
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Sebagai bangsa yang masih makan produk pertanian karena share-share-an hoax dan komen di FB belum bisa ditongseng atau dikukus, September hari ke-24 yang merupakan Hari Tani Nasional justru bergaung kecil. Padahal, sebagai penduduk negara agraris, orang Indonesia masih menyebut negerinya “tanah air”.

Saya cucu seorang petani. Jadi, ada rasa wajib untuk meramaikan peringatan ini. Hari ini saya ingin cerita tentang suka duka kehidupan saya yang meski bukan lulusan IPB, tapi tidak juga menjadi petani ataupun mengerti dunia pertanian.

Jadi cucu maupun anak petani jaman now singkatnya seperti ini: nggak tahu-tahu banget soal siklus tanam, nggak tahu-tahu banget gimana cara ngurusin tanaman, nggak tahu-tahu banget soal pupuk-pupukan, nggak tahu-tahu banget soal hama-hamaan. Yang saya tahu adalah cara selfie yang baik, menyuburkan jumlah like, dan menyemai bibit-bibit debat nirfaedah di media sosial.

Lalu bedanya dengan anak kota apaan? Tempat pacarannya. Titik.

Memang begitulah adanya, meski nggak semua anak/cucu petani kayak gitu. Kebanyakan anak/cucu petani malah nggak mudeng babar blas sama dunia pertanian. Pada diri saya, yang demikian bisa terjadi justru karena saya mengikuti apa yang kakek-nenek dan orang tua harapkan: sekolah, sekolah, sekolah. Kerja, kerja, kerja. Nikah, nikah, nikah.

Ketika kecil, saya cukup sering diajak ke sawah, semacam trip field begitu, melihat langsung apa yang kakek nenek kerjakan. Sambil menatap bahagia diselingi senyuman kepada generasi penerus, simbah berkata, “Begini lo, Le, caranya nanam padi,” atau  “Begini lo, Le, caranya bersihin rumput.” Tapi, itu informasi untuk sekadar tahu, besok-besok saya tidak perlu melakukannya kalau tidak terpaksa, atau melakukannya hanya sebagai selingan. Karena petani kok saya rasa oleh orang desa saya tidak dianggap sebagai pekerjaan, tetapi lebih sebagai jalan hidup. Seperti Naruto yang memilih jalan hidup untuk menjadi seorang hokage.

Maka, wajar apabila anak cucu petani lebih didorong untuk berprestasi di sekolah daripada tahu ilmu menanam padi agar nasinya nanti enak dimakan. Hal penting seperti itu tidak diajarkan di sekolah, tapi ya bodo amat, anak-anak nggak perlu tahu, yang penting bisa kerja kantoran. Nasihat-nasihat yang muncul kemudian, “Sudah, kamu mikir sekolah aja, urusan sawah biar aku saja”. Celakalah ketika semua anak petani akhirnya jadi pintar di sekolah tapi ketika disuruh bantu menanam ataupun panen tak berguna sama sekali.

Dan itulah yang saya alami.

Sawah simbah saya cukup banyak dan terletak di dua desa berbeda. Tiga petak ada di dekat rumah, dua petak ada di desa lain yang jaraknya 5 km. Untuk mengurus sawah ini, karena cucunya useless, simbah sering meminta bantuan beberapa tetangga ataupun saudara. Karena nggak bisa bantu praktik di sawah, hal yang bisa saya bantu di antaranya ialah memasak dan mengantarkan makanan untuk mereka yang bekerja di sawah, dan ketika panen memaksimalkan timbunan lemak tubuh untuk ikut mengangkut hasil panen ke lumbung. Prestasi saya sebagai cucu petani mentok di situ.

Di saat menjadi useless seperti itulah kadang saya membatin, mbok ya muatan lokal di sekolah itu jangan cuma bahasa daerah, tetapi juga pelajaran yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kalau di lingkungan petani ya pelajaran tentang tanam-menanam, hama dan membaca iklim serta cuaca, kalau di lingkungan pantai ya tentang ikan begitu. Soalnya orang-orang tua yang petani maupun nelayan ya nggak bakal mengajarkan kecuali si anak kepepet menjalani pekerjaan yang sama dengan orang tuanya.

D sisi lain, meski cucu dan anak petani jaman now lebih melek teknologi dibanding tentang jagung, kacang, dan padi, bukan berarti nggak ada gunanya juga sih. Dulu gapoktan (gabungan kelompok tani) di desa saya terpilih untuk mengikuti lomba tani tingkat provinsi. Salah satu yang harus disiapkan adalah membuat video dokumentasi. Oleh sebab bapak ibu petani ini lebih fasih memegang cangkul dibanding memegang kamera, mereka membutuhkan bantuan pihak lain. Menyewa jasa pembuatan video jelas memakan biaya banyak, apalagi waktunya sudah mepet. Walhasil, salah satu pengurusnya yang notabene tetangga saya sendiri meminta bantuan kepada saya. Di situlah saya merasa bangga bisa ikut andil dalam dunia pertanian meski dengan cara yang berbeda.

Memang apa yang saya lakukan di atas bukanlah langkah untuk mengurangi kekhawatiran bakal berkurangnya jumlah petani di masa depan, tetapi membuka suatu jalan baru bahwa pendekatan pertanian dengan teknologi sudah tidak bisa dianggap remeh lagi. Mungkin petani sekarang jarang mengajarkan ilmunya kepada keturunannya tetapi itu bisa diakali dengan membuat video tutorial, misalnya. Yang kayak gini kan disukai oleh generasi sekarang.

Untuk itu, saran aja sih ya buat pemerintah, kalau ingin anak muda mau bertani, jangan cuma memperbanyak sekolah formalnya saja, tetapi juga sekolah informal yang dikolaborasikan dengan teknologi. Saya yakin sih kids jaman now itu kalau sudah ada embel-embel teknologi terkini bakal tertarik. Ini bukan hanya PR-nya menteri pertanian, tetapi juga menteri pendidikan dan menteri komunikasi.

Tapi … usul itu jadi nggak berguna kalau kondisi petani masih kayak sekarang: disibukkan dengan urusan ke pengadilan karena tanahnya dijadikan tambang, pembangkit listrik, wilayah konservasi, perkebunan, tempat latihan militer, bandara, hingga kota/pulau baru. Itu kelihatan kok ketika menyaksikan bagaimana petani merayakan Hari Tani dari tahun ke tahun. Bukan dengan festival, pesta, atau perayaan kegembiraan, tapi dengan aksi demonstrasi.

Memang ya, sudah benar itu mahasiswa pertanian IPB nggak cocok jadi petani jaman now. Anak-anak lulusan Fakultas Hukum yang lebih pantas. Siang nyangkul, malam nyusun berkas pengadilan. Itu pun kalau anak hukumnya nggak jadi lawyer korporat.

Terakhir diperbarui pada 25 September 2017 oleh

Tags: hari tanihari tani nasionalhukumipbpetani
Iklan
Oktavolama Akbar Budi Santosa

Oktavolama Akbar Budi Santosa

Pengulas mie di @nyaaarimie

Artikel Terkait

Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB), Rico Juni Artanto. MOJOK.CO
Kampus

Kedermawanan Alumni IPB bikin Asrama Gratis untuk Mahasiswa Kurang Mampu

16 Mei 2025
bti, petani, tani.MOJOK.CO
Ragam

Rumus “3S-4J-4H” Wajib Dijalankan Pemerintah Kalau Mau Petani di Indonesia Maju

28 Januari 2025
Alih Fungsi Lahan Jadi Masalah Serius Petani di Sleman, Tapi Malah Diabaikan Bupatinya.MOJOK.CO
Ragam

Petani Indonesia Belum Merdeka, Di Hari Kemerdekaan RI ke 79 Petani Malah Nelangsa

18 Agustus 2024
kuliah ipb pindah umy.MOJOK.CO
Kampus

Buang Biaya Kuliah IPB Rp30 Juta Demi Pindah ke UMY, Lulus Bukannya Cepat Kerja Malah Nganggur Lama

24 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Memilih Sutradara Terbaik untuk Film Pengkhianatan G30S/PKI Reborn

Memilih Sutradara Terbaik untuk Film Pengkhianatan G30S/PKI Reborn

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pengalaman konyol pertama kali nginep di sebuah hotel di Malang MOJOK.CO

Pertama Kali Nginep di Hotel: Berlagak Kaya Berujung Malu karena Kegoblokan, Bingung Cara Buka Pintu Kamar

21 Mei 2025
Mahasiswa UIN Jogja, UIN Sunan Kalijaga.MOJOK.CO

Derita Jadi Mahasiswa UIN Jogja: Dianggap Tahu Segalanya oleh Warga Desa, Disuruh Ruqyah sampai Melacak Uang Hilang, padahal di Kampus Belajar Matematika

21 Mei 2025
Renungan sistem pendidikan sekolah hari ini atas Palagan Ki Hadjar Dewantara MOJOK.CO

Renungan atas Palagan Ki Hadjar Dewantara: Sekolah Hanya Sekadar Meluluskan tapi Belum Mendidik

15 Mei 2025
Dakwoh membuktikan bahwa hijrah nggak harus ninggalin dunia lama. Simak perjalanan hidupnya yang penuh tantangan dan inspirasi

Motivasi Hidup Ala Dabwok: Hijrah Nggak Harus Ninggalin Musik

17 Mei 2025
Kos dekat UII, Jogja dengan harga murah. MOJOK.CO

Kenikmatan Ngekos Dekat Kampus UII, Cocok untuk Slow Living di Jogja dan Lebih Hemat Biaya

21 Mei 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.