Pasca kekalahan telak 1-7 AS Roma dari Bayern Muenchen, Puthut EA, yang mendaku sebagai Romanisti sejati, (artinya: siap kalah sedia delusi) sebenarnya tidak perlu membuat wawancara eksklusif di media kekinian kayak Mojok.co ini.
Seandainya ia memahami satu saja prinsip sederhana dalam hidup: jangan pernah menyandarkan kepercayaan kepada orang yang belum kita kenal, sebab pasangan yang bertahun-tahun pacaran pun belum tentu siap diajak ke pelaminan. Rudi Garcia, pelatih Roma, dalam jiwa Puthut memang terasa dekat. Tapi kita tahu kejiwaan seperti itu memunculkan fanatisme semena-mena, dan akhirnya seringkali membuat gelap mata.
Klub yang sulit menjuarai apa-apa macam Roma, dari wawancara Puthut, terdengar tetap gagah perwira bak Barcelona, klub kesukaan saya. Saya tidak akan membandingkan Roma dan Barca. Sudahlah, itu percuma. Hanya saja, sebagai orang yang woles dan kritis, saya ingin memberi beberapa saran kepada Puthut.
Meski saya yakin Puthut tak sudi mendengarkannya, siapa tahu, kiat-kiat berikut ini cukup mujarab untuk pendukung Liverpool dan lain sebagainya, yang akhir-akhir ini kerap menelan pil pahit kekecewaan.
Unfollow semua akun portal berita
Kita tahu prinsip bad news is good news. Sejak zaman Jokowi masih polos, Prabowo dan SBY masih bocah ingusan, serta Boediono saat itu entah di mana, berita yang sedap dijual bersumber dari peristiwa yang membuat kehadiran setan tak lagi berguna. Para wartawan percaya, kekalahan Roma dari Bayern München akan lebih aduhai jika ditulis dengan istilah “dikebumikan”, “digunduli”, atau “babak-belur”, dan “luluh lantak”.
Skor 1-7, hemat saya, hanya perlu ditulis dengan paket hemat seperti koran kuning Lampu Merah, misalnya: Alfatihah! Tim yang Mengklaim Dirinya Serigala Ternyata Cuma Kerupuk, Ramai Saat Dimakan Urusan Gizi Lain Lagi.
Yang enak ya memang enak, makanlah dengan lahap
Politik Indonesia modern, terutama yang dibangun sejak Eyang Harto, meyakini bahwa mengungkit-ungkit masa lalu cuma pekerjaan orang yang terlalu banyak berpikir. Mengusut pembantaian ratusan ribu orang dianggapnya sebagai kegiatan mencari-cari keuntungan, dan pepatah “sing uwis ya uwis”—yang berlalu biarlah berlalu—untuk problem bangsa diletakkan juga untuk persoalan indvidual macam orang pacaran, terus putus, kemudian jadian lagi, terus nggak deg-degan, lalu merasa hampa seperti yang dialami pemred Mojok. Jadi, warisan Eyang Harto itu benar di satu sisi, tapi keliru besar di sisi lain.
Nah, karena bagi saya kekalahan Roma adalah persoalan pribadi, saya kira Puthut mesti mempraktikkan laku “sing uwis ya uwis.” Kalau Roma terus-menerus kalah, apa boleh bikin, lihat poin selanjutnya.
Perbanyak minum kopi kurangi sakit gigi
Bukan Prabowo kalau tidak delusional. Dianggap pengamat kalah pilpres, dinyatakan KO oleh pelbagai survei politik terpercaya, bahkan oleh KPU, tapi ia tetap setia memperjuangkan kemenangan yang diyakininya. Itu bagus bagi anak-anak muda yang masih menganggap mantan sebagai pacar, seperti yang dilakukan Fatimah Zahrah. Tapi tidak bagus bagi kesehatan.
Uniknya, dalam kasus maha penting ini, secara kesehatan Puthut adalah anak kesayangan Tuhan yang 100 persen baik-baik saja. Karena itu tidak apalah, saya izinkan ia bersikap delusional; bahwa skor 1-7 itu bukan perkara sepele, makanya ia sampai bikin wawancara imajiner.
Buka koran Minggu dan cari lowongan
Klub-klub selain Roma masih butuh fans yang penuh dedikasi seperti Puthut, jadi ada baiknya ia menimbang untuk pindah ke lain klub. Sama halnya jika pemred Mojok pengin pindah ke lain hati. Tapi ia perlu ingat lagi lagu Kla Project: Tak bisa Ke Lain Hati.
Saran saya, jangan pindah ke Barcelona. Sebab Barca tak butuh dibela. Ia tetap ada dan berlipat ganda.
Dalami lagi filsafat Yunani Kuno
Camkan pesan Antonio Gramsci ini: “Kita memerlukan pesimisme dari otak sekaligus optimisme dari tekad.” Artinya, bila Roma kalah telak lagi: tak apa, setidaknya saya sudah mengutip Gramsci, biar terkesan hobi baca kayak selebtwat Arman Dhani.