Sejak tulisan wawancara bersama wafer Khong Guan beberapa waktu yang lalu terbit, sosok-sosok yang berkaitan dengan Khong Guan satu per satu kemudian mulai menghubungi saya secara personal. Mereka mengirimkan pesan kepada saya, intinya seragam, meminta saya agar mewawancarai mereka.
Saya tak tahu, kenapa mereka bisa menjadi sangat ngebet dan obsesif untuk diwawancarai oleh media yang amat tidak kredibel macam Mojok, namun dugaan saya, wawancara menjadi ajang eskapis bagi mereka untuk mencurahkan isi hati dan perasaan mereka. Terlebih setelah mereka membaca wawancara saya dengan wafer Khong Guan dan mengira si wafer kini menjadi lebih ringan hidupnya karena telah menumpahkan segala uneg-unegnya.
Saya pribadi sebenarnya lebih menyarankan kepada mereka untuk mendatangi Uya Kuya saja agar dihipnotis dan kemudian mengakui apa yang ingin mereka katakan, namun sial, belakangan baru saya tahu kalau ternyata Uya Kuya sekarang sudah jarang main hipnotis-hipnotisan lagi.
Tak ada pilihan, saya pun terpaksa menerima permintaan mereka. Tentu tidak semua, hanya beberapa.
Dan yang mula-mula saya amat tertarik untuk mewawancarainya saat ini adalah sosok yang satu ini: rengginang.
Sebagai sosok yang paling sering menjadi olok-olokan terkait keberadaan kaleng Khong Guan, saya pikir, rengginang layak untuk diberi tempat untuk berkeluh-kesah. Dan pada posisi itulah, saya berusaha menyediakannya.
Melalui perantara seorang sahabat, kami bertemu di rumah kawan saya di bilangan Ngaglik. Dalam pertemuan yang berlangsung tak lebih dari 45 menit itu, saya mencoba mengorek apa saja luka batin yang selama ini dia alami.
Apa kabar, Bung?
Alhamdulillah. Baik. Saya masih tetap renyah dan gurih.
Saya yakin, Bung pasti tahu ke mana arah wawancara saya kali ini, dan saya pikir, itulah arah yang memang ingin Bung tuju, bukan?
Ini berkaitan dengan guyonan kaleng Khong Guan keparat itu, bukan?
Tentu saja, memangnya apa lagi?
Syukurlah. Seperti dugaan Mas, saya memang ingin berkeluh banyak tentang itu. Hal yang dalam beberapa tahun terakhir ini cukup membuat saya amat menderita.
Ini memang perubahan yang sebenarnya sudah saya duga. Mas tentu tahu, dulu kami lebih sering ditempatkan di toples kaca yang transparan, namun seiring dengan munculnya Khong Guan, kaleng mereka memang dianggap lebih praktis dan lebih ringan, selain itu juga lebih aman karena kalau jatuh tak akan pecah, sehingga agak masuk akal jika kami kemudian sering ditempatkan di dalamnya sebagai kawan ngemil. Saya sudah sadar dengan konsekuensi itu. Hanya saja, saya tak menyangka bahwa kelak efeknya akan semenyakitkan dan semenderita ini
Saya belum pernah menjadi rengginang, dan oleh sebab itu, saya amat penasaran, sebenarnya penderitaan macam apa yang Bung alami karena guyonan “Kaleng Khong Guan isi rengginang” itu?
Begini. Menjadi rengginang itu tak seburuk yang banyak orang pikirkan.
Ya, saya paham betul itu. Saya juga tak pernah menganggap rengginang sebagai sesuatu yang buruk, kok.
Bagus. Saya harap Mas mempertahankan sikap itu. Yang menjadi kegelisahan saya sebenarnya adalah tren guyonan kaleng Khong Guan itu sendiri. Saya sebenarnya tak pernah dendam dengan kaleng Khong Guan, toh seperti yang saya katakan tadi, saya sebenarnya sudah lama sering ditempatkan di dalam kaleng Khong Guan. Ini hal yang lumrah sejak dulu. Sama lumrahnya dengan orang menggunakan kaleng susu bendera sebagai wadah takar beras atau kaleng cat avian sebagai gayung untuk cebok.
Awalnya memang biasa-biasa saja. Namun lama kelamaan, guyonan kaleng Khong Guan isi rengginang itu entah kenapa menjadi semakin sering diperbincangkan oleh masyarakat. Utamanya di era media sosial.
Dalam posisi itulah saya menjadi mangkel, sebab kehadiran saya kemudian lekat dengan praktik penipuan dan pengecohan.
Dalam posisi ini, kegelisahan Bung tampaknya memang sangat bisa dimengerti.
Nah, yang lebih menyebalkan itu adalah, citra saya kemudian dianggap lebih rendah dari biskuit Khong Guan. Orang-orang merasa kecewa saat kaleng Khong Guan dibuka ternyata isinya bukan biskuit Khong Guan, melainkan saya. Ini kan menjadi semiotik sederhana, bahwa ada gerakan kultural masif yang ingin merendahkan cita rasa saya sebagai cemilan.
Menurut Bung, itu tidak adil?
Tentu saja. Rengginang itu punya cita rasa yang tinggi. Pun dengan biskuit Khong Guan. Kami sama-sama punya cita rasa tersendiri, cita rasa yang tentu saja tidak bisa disandingkan. Tidak apple to apple. Saya kelompok gurih, sedangkan mereka kelompok manis. Kami punya posisi yang setara sebenarnya. Namun guyonan keparat itulah yang kemudian membuat posisi saya menjadi inferior.
Dan Bung perlu melawan hal tersebut?
Ya. Ini bukan tentang saya pribadi, namun juga tentang kawan-kawan saya seperti gendar, peyek, slondok, kontolir, criping, dan kawan-kawan saya lainnya satu genus yang juga ikut merasakan kejengkelan yang sama.
Kami sudah memutuskan untuk berserikat dan membentuk semacam kolektif kerja sederhana untuk mewujudkan perlawanan atas isu ini. Bagi kami, itu adalah jalan pedang yang harus kami tempuh. Akan kami lawan sampai titik mlempem penghabisan.
Apa bentuk perlawanan yang Bung, dan mungkin juga kawan-kawan Bung lakukan?
Banyak. Kami sering melakukan kerja-kerja advokasi dan terus aktif menyuarakan isu ini melalui berbagai kanal. Harapan kami sebenarnya sederhana, yaitu agar orang-orang mulai berhenti menggunakan guyonan Kaleng Khong Guan isi rengginang.
Saya setuju dengan itu. Saya pribadi sebenarnya juga menganggap guyonan itu sudah terlalu basi dan membosankan. Sama membosankannya dengan guyonan “Bersatu kita teguh bercerai kawin lagi.”
Itulah, Mas. Melalui wawancara ini pun, saya sebenarnya juga berharap agar Mas ikut menyuarakan isu ini. Setidaknya setelah wawancara ini terbit, kesadaran orang-orang untuk tidak lagi menggunakan guyonan garing itu semakin meningkat.
Bangsa ini bergerak sangat cepat. Teknologi sudah sangat maju. Kita bahkan sudah dalam proses membuat silicon valley sendiri, Sudah seyogianya guyonan rendah macam itu tidak mereduksi kemajuan-kemajuan peradaban yang sedang kita tuju.
Baik. Akan saya bantu semaksimal mungkin, akan saya diseminasikan wawancara ini seluas-luasnya. Semoga saja harapan Bung dan kawan-kawan Bung bisa terwujud.
Terima kasih, Mas. Sungguh, saya sangat bahagia mendengarnya. Saya berharap konflik ini selesai dan semua pihak bisa saling mawas diri. Ini bukan hanya tentang saya dan Khong Guan. Ini tentang kesadaran kelas. Sekarang mungkin yang jadi guyonan adalah “Kaleng Khong Guan isi rengginang”, namun bukan mustahil di masa depan yang muncul adalah guyonan “Toples rengginang isi Khong Guan”. Ini harus menjadi perhatian kita semua.
Isu ketimpangan kelas harus menjadi isu bersama. Dunia akan indah kalau semua sadar akan kesetaraan. Di mata Tuhan, semua cemilan itu sama, yang membedakan hanya iman dan taqwanya. Mau biksuit lah, rengginang lah, geblek lah, sagon lah, semuanya sama. Lak yo begitu tho, Mas?
Betul, Bung. Sepakat. Sing penting podo-podo iso dinggo surungan mabuk, Bung.
Nah, itu. Cocok.