Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Kolom

Sikap Islam terhadap ‘Syariat’ Agama Lain

Ulil Abshar Abdalla oleh Ulil Abshar Abdalla
17 Mei 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sikap memandang agama Islam “mengungguli” agama-agama lain tidak jadi soal jika merupakan “sikap personal”. Masalah yang terjadi tak seperti itu.

Dalam penjelasan al-Ghazali mengenai doktrin kenabian, kita baca penjelasan berikut: “Fa-nasakha bi syari‘atihi al-syara’i‘a illa ma qarrarahu minha” (Tuhan me-nasakh/menghapus melalui syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad syariat-syariat agama lain sebelumnya, kecuali yang masih diakui berlaku).

Inilah yang disebut dengan doktrin “super-sesionisme,” penghapusan atau amandemen terhadap ajaran agama lama oleh agama yang datang belakangan.

Akidah ini sekarang mungkin kurang terlalu “relevan,” tetapi asumsi-asumsi yang ada di baliknya tetap perlu kita diskusikan karena masih mempengaruhi cara berpikir sebagian umat. Asumsi itu, antara lain, ialah: bahwa Islam adalah agama yang paling  “unggul” di atas agama manapun, dan kerena itu syariat-nya me-nasakh atau menghapus syariat agama-agama sebelumnya.

Di sini terselip asumsi yang sering disebut sebagai triumfalisme: sikap yang memandang agama sendiri “mengungguli” agama-agama lain. Asumsi ini tidak menjadi soal jika merupakan “sikap personal” yang hanya disimpan sebagai keyakinan bagi diri-sendiri.

Tetapi ini akan jadi soal jika diterjemahkan secara sosial dalam bentuk “sikap” untuk “menang-menangan” terhadap penganut agama-agama lain—kecenderungan yang secara faktual benar-benar terjadi dalam beberapa kasus riil.

Di zaman ketika politik identitas menjadi trend di seluruh dunia, pandangan teologis yang cenderung triumfalistik yang kita jumpai dalam banyak agama (terutama agama-agama semitik), harus dipahami ulang. Jika tidak, pandangan semacam ini bisa bermasalah.

Tugas kita sebagai Muslim, antara lian, adalah ikut mendorong munculnya peradaban baru yang melintasi sekat-sekat agama, peradaban yang menjunjung persaudaraan kemanusiaan dan dialog lintas-kepercayaan. Teologi yang triumfalistik kurang mendukung usaha ke arah ini.

Ada dua hal yang ingin saya soroti terkait dengan doktrin penghapusan syariat ini. Pertama, Apa persisnya syariat agama sebelum Islam di sini? Agama apakah yang dimaksudkan di sana? Yang kedua: bagaimana memahami doktrin ini secara proporsional agar tidak berujung pada sikap triumfalistik?

Mengenai isu yang pertama: tampaknya yang dimaksud syariat agama “sebelum” Islam adalah syariat agama Yahudi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa agama-agama lain juga termasuk di dalamnya. Kenapa Yahudi? Sebab, di antara seluruh agama yang muncul sebelum Islam dan secara historis ada kaitan dengannya, hanyalah agama Yahudi yang memiliki tradisi hukum syariat yang sangat kuat sebagaimana dalam Islam.

Agama Kristen jelas mengikuti “jalan yang berbeda,” terutama “Pauline Christianity,” yaitu agama Kristen sebagaimana “ditafsir” oleh Paulus. Sebagaimana kita tahu, Kristen secara tegas membedakan diri dengan Yahudi dengan tidak mengikuti lagi apa yang disebut sebagai “Hukum Musa”. Kehadiran “Perjanjan Baru” diangap telah menggantikan (supercede) “Perjanjian Lama.” Kita bisa mengatakan bahwa Kristen adalah kelanjutan dari tradisi keyahudian minus syariat.

Tradisi pembahasan hukum yang “ndakik-dakik” sebagaimana kita kenal dalam fikih Islam, misalnya, juga dikenal, dalam bentuk yang kurang lebih persis sama, dalam tradisi Yahudi – apa yang disebut dengan tradisi rabbinik (Catatan: Yang berminat, bisa membaca studi-studi yang dilakukan oleh Prof. Jacob Neusner yang banyak mengkaji perbandingan antara “fikih” Islam dan “fikih Yahudi”). Karena itu, dari segi tradisi hukum, Islam lebih dekat kepada Yahudi ketimbang Kristen.

Bagi saya, tidak ada yang aneh, bahkan wajar, dalam doktrin penghapusan syariat agama pra-Islam ini. Pengertian doktrin ini menjadi jelas jika kita pahami dalam kerangka berikut: Tentu saja syariat yang diikuti oleh orang-orang Yahudi dengan sendirinya tidak berlaku bagi umat Islam.

Hal serupa sudah dilakukan oleh Kristen sebelumnya dengan cara yang jauh lebih radikal dengan, seperti saya sebutkan sebelumnya, penghapusan Hukum Taurat setelah kedatangan Perjanjian Baru. Hukum-hukum Taurat yang berkaitan dengan hari Sabbath dan kosher (hukum halal-haram dalam makanan), misalnya, dianggap tak berlaku lagi.

Iklan

Yang menarik, syariat Islam tidak menghapus seluruh Hukum Taurat. Beberapa hal di sana masih dipertahankan. Al-Ghazali sendiri menjelaskan dalam kutipan yang sudah saya sebut di awal tulisan ini: “illa ma qarrarahu minha” – kecuali syariat-syariat dari agama sebelum Islam yang masih dianggap berlaku. Contoh Hukum Taurat yang masih dipertahankan dalam Islam adalah: sunat bagi laki-laki, tidak memakan daging babi, bangkai, dan darah.

Dengan mengatakan ini, bukan berarti Hukum Taurat sebagai “tradisi keagamaan yang hidup” dihapuskan seluruhnya oleh kedatangan Islam. Tentu itu tidak mungkin. Hukum Taurat jelas masih berlaku bagi orang-orang Yahudi hingga sekarang. Kanjeng Nabi juga tidak pernah menghalangi orang-orang Yahudi untuk terus mempertahankan Hukum Taurat dalam kehidupan sehari-hari. Islam menghormati doktrin dan syariat agama lain.

Yang perlu kita garis bawahi juga dalam akidah kenabian dalam Islam ialah kepercayaan bahwa kenabian Muhammad adalah kelanjutan dari nabi-nabi sebelumnya. Dari segi pokok ajaran (yaitu tauhid), Islam tidak membawa hal baru, melainkan meneruskan saja apa yang sudah dibawa oleh nabi-nabi sebelum Islam.

Meski ada beberapa elemen dalam syariat sebelum Islam yang dihapus, tetapi ada juga elemen-elemen lain yang tetap dipertahankan. Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk memutus total tradisi-tradisi yang ada, asal masih sesuai dengan spirit ajaran Islam.

Bukankah filosofi ini telah dipraktekkan oleh Wali Sanga di tanah Nusantara?


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Terakhir diperbarui pada 17 Mei 2020 oleh

Tags: agama Islamal-ghazaliWisata Akidah
Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla

Cendikiawan muslim.

Artikel Terkait

Kalis Mardiasih dalam Pusaran Isu Perempuan dan Islam
Video

Kalis Mardiasih dalam Pusaran Isu Perempuan dan Islam

8 Agustus 2020
Kolom

Masa Depan Agama-agama Dunia

23 Mei 2020
Kolom

Argumen Keberadaan Tuhan untuk ‘New Atheists’

22 Mei 2020
Kolom

Kita Tak Bisa Lagi Beragama secara Solipsistik

21 Mei 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.