Sekian lama aku menunggu
Untuk kedatanganmu…
—Rita Sugiarto & Rhoma Irama, “Menunggu”
Di hari biasa, saya sudah akan duduk dan mulai membuat judul atau setidaknya mengupayakan paragraf pertama untuk kolom ini pada Rabu malam. Sebab, biasanya, redaktur mulai akan jadi cerewet di Kamis pagi. Namun, untuk pekan ini, saya sengaja tak ingin memulai lebih cepat. Bahkan sampai Kamis malam, saya malah mengajak teman untuk nongkrong ngopi. Saya menunggu sesuatu terjadi di Jumat pagi. Dan saya berharap saya akan menuliskan itu. Tidak tentang jendela atau pintu atau beranda; tidak tentang ayam dan tahinya; tak juga rengekan menjengkelkan yang diulang-ulang tentang penulis dan menulis.
Ini tentang sepakbola. Persisnya, tentang gelar yang saya tunggu tak kurang dari tiga perempat usia saya.
***
Setelah begitu optimistis dan kemudian terbanting di pekan terakhir pada musim lalu, tak pernah pendukung Liverpool semantap dan sesemangat musim ini. Dimulai dengan gelar Liga Champions, salah satunya dilewati dengan keajaiban di Anfield melawan Barcelona itu, lalu Piala Dunia Antarklub, kemudian Piala Super Eropa, Liverpool dan para pendukungnya menatap musim 2019-20 secerah warna gigi pelatihnya. Menggilas siapa pun sejak musim dimulai, Liverpool “seperti mesin yang tengah perkasa-perkasanya”, demikian kata Barney Ronay di The Guardian. Sebelum Natal semua orang sudah bicara tentang gelar Liga. Dan karena itu, di awal tahun saya mulai dirayapi perasaan menyesal sebab tak membuat catatan yang lengkap tentang musim (yang akan) bersejarah ini dan akan melewatkan kesempatan membuat Fever Pitch versi saya sendiri.
Lalu kekalahan itu datang juga. Dari Watford, tim yang sedang berjuang melawan pasir isap degradasi, pada pekan ke-28, ketika gelar hanya tinggal sejangkauan dan rekor invincible milik Arsenal sudah di depan mata. Itu seharusnya bukan apa-apa, normal semata, toh poin sudah banyak, jarak sudah jauh, tapi penggemar Liverpool—tim yang 30 tahun tak juara Liga—tak bisa dibegitukan. Kami sabar, tapi saat bersamaan kami juga rapuh. Tepukan kecil di pundak itu membuat seluruh badan gemetaran. Dan beberapa hari kemudian Atletico Madrid memberikan pukulan susulan, lebih keras dan lebih telak, di babak tos-tosan Liga Champions. Kemudian wabah menghentikan paksa kompetisi.
Jangankan para penggemar yang jelata, rapuh, dan putus asa macam kami, Jurgen Klopp sendiri, orang yang bisa memancarkan optimisme cukup hanya dengan ketawa, bahkan sempat khawatir bahwa gelar Liga yang sudah dekat ini akan menguap. Apalagi sempat muncul wacana untuk menghentikan kompetisi dengan status “null and void” (batal), sebagaimana yang terjadi di Liga Belanda—dan beberapa pecundang tampaknya diam-diam mendukungnya. Tapi bahkan ketika Liga Inggris akhirnya disepakati untuk dilanjutkan, kekhawatiran itu tak serta-merta berhenti. Kami berpuluh tahun mendukung tim yang berkali-kali gagal di masa-masa yang seharusnya tak mungkin gagal, yang loyo ketika seharusnya kuat, yang tak berdaya ketika sedang perkasa, yang terjatuh bahkan tanpa didorong. Yang sedikit menenangkan—hanya sedikit, Liverpool sedang memimpin 23 poin dari pesaing terdekatnya. Gelar itu berjarak sejauh enam poin saja.
Dan kekhawatiran itu mengapung lagi. Liverpool bermain buruk, bahkan pantas kalah, ketika melakoni pertandingan pertama pasca-karantina melawan musuh sekota, Everton. Imbang dengan Everton adalah salah satu sebab kegagalan musim lalu—selain tentu saja satu-satunya kekalahan dari Man. City yang akhirnya juara. Beruntung Liverpool mendapati dirinya kembali di pertandingan berikutnya. Palace disikat 4-0 di Anfield, dengan gol-gol hebat yang rutin. Tinggal dua poin!
Masih ada tujuh pertandingan. Artinya, jika seluruh pemain Liverpool tiba-tiba menjadi goblok, dan Klopp hanya bisa cengar-cengir, lalu kalah dalam enam pertandingan berikutnya, dan baru menang di pertandingan terakhir melawan Newcastle, Liverpool tetap akan juara. Tapi tak mungkin begitu.
(Tak mungkin, katamu? Untuk saya, itu bisa saja terjadi, bahkan bisa lebih buruk. Tak ada harapan lain, juara ini harus lebih cepat dipastikan. Setelah tertunda dua bulan, jangan lagi tertunda lebih lama. Plisss… jangan.)
Liverpool yang mengalahkan Palace (dengan tendangan bebas Trent, gol serangan balik Salah, tembakan dari tengahnya Fabinho, dan penyelesaian khas Mane) pasti akan memberikan gelar itu, secepatnya—seburuk-buruknya di pekan ke-33 saat melawan Villa. Tapi, kalau bisa lebih cepat, kenapa tidak?
City akan menghadapi Chelsea di kandangnya pada tengah pekan. Saya tahu ada harapan untuk itu. Bukan saja karena timnya Lampard punya kemampuan untuk menghadapi tim-tim besar, ditambah dengan kebutuhan objektif mereka untuk memantapkan diri di empat besar, tapi terutama karena tim ini punya riwayat merusak para calon runner-up. (Mungkin jiwa tengil dan degil Mourinho masih tertinggal di sana.) Di tangan merekalah enam tahun lalu, timnya Brendan Rogers, tim Liverpool yang pernah paling dekat dengan gelar, dihancurkan. Tidak, ini bukan penebusan dosa untuk Chelsea, bukan juga sedikit kebaikan; hanya secuil harapan bahwa mereka benar-benar berjuang untuk diri mereka sendiri. Ini doa untuk mereka. Dan ya, sedikit untuk kami.
TVRI, oleh sebab keruwetan yang mereka bikin sendiri, telah memutuskan untuk tak melanjutkan siaran Liga Inggris secara gratis. Meski siarannya buruk (sering tampak seperti streaming dengan data lemot, dengan gambar terputus-putus atau melompat-lompat, nyaris bergantung pada belas kasih pemilik lisensi resmi, dan didominasi oleh pertandingan-pertandingan tak penting), dari situlah selama ini saya menggantungkan diri menonton Liga Inggris di tahun-tahun terakhir. Dan ketika malam itu tak menemukan pertandingan Chelsea vs Man. City di layar televisi, saya putuskan untuk tak ngoyo. Utas-utas siaran sepakbola gratisan berbahasa Arab itu sudah dihabisi, lagi pula kalaupun ketemu iklan pop-up-nya busuk betul. Jadi, sudahlah. Namun, saya merasa harus menunggu. Anggap ini sebuah ritus seorang hamba yang mendamba salah satu doa yang paling lama tak terkabulkan. Saya putuskan untuk melek sampai dini hari, meskipun tak melakukan apa-apa—sekadar membaca sekalipun. Ketika pertandingan sudah dimulai, saya menyimak perkembangan pertandingan dari “Minute by Minute” The Guardian. Saya merasa santai. Saya bahkan sempat memutar pengajian untuk jadi pemapas waktu. Di sekitar menit ke-25, di Stanford Bridge belum terjadi apa-apa, kecuali dominasi City—seperti biasa. Dan saya mulai percaya, besok tim saya akan juara.
Ya, saya masih harus menunggu. Tapi saya kira saya bisa tidur dulu.
***
Tiga puluh tahun…! Jika ia adalah pesepakbola, ia hanya sedikit saja lebih muda dari Lionel Messi.
Tidak, saya tak menunggu selama itu, tak seperti kebanyakan pendukung Liverpool. Saya bahkan mungkin tak terlalu mirip dengan kebanyakan pendukung Liverpool. Sepertinya.
Menyerupai nyaris semua pencinta sepakbola di Indonesia, saya diciptakan dengan kutukan untuk tak mungkin bermonogami. Cinta kami hampir pasti selalu terbagi. Bahkan pencinta sepakbola paling setia sekali pun setidaknya akan selalu memiliki satu tim lokal dan satu tim Eropa/dunia di hatinya. Sebagaimana seorang pemuja timnas Indonesia selalu mencadangkan hatinya untuk salah satu timnas besar di Eropa Barat atau Amerika Latin, saya sulit membayangkan seorang Aremania atau Bobotoh atau Bonek atau Jakmania yang cuma menjadi penonton netral saat menonton Liga Champions. Tapi bahkan itu kadang tidak cukup. Sudah menjadi kelaziman, setiap orang punya tim-tim “cadangan”, dengan alasan yang bisa bermacam-macam.
Sebenarnya itu tak cuma dialami oleh pencinta sepakbola Indonesia. Nick Hornby, novelis Inggris yang dikenal sebagai pendukung fanatik Arsenal karena memoarnya, Fever Pitch, sebenarnya tak sesetia itu juga. Seperti diceritakan dengan sedikit rasa bersalah di memoarnya, ketika ia kuliah di Cambridge dan tak bisa setiap pekan menonton Arsenal, ia mulai menjadi pendukung tim lokal kecil dari Divisi Empat, Cambridge United. Dan sejak itu ada dua klub di hatinya, meskipun berbeda kasta.
Saya lebih buruk dari itu semua, termasuk dari Hornby. Liverpool, bagi saya, bukan saja saya duakan; ia bahkan bukan yang pertama. Tapi jelas ia bukan tim cadangan untuk saya. Sama sekali tidak! Tim cadangan tak akan sesakit ini.
Sebelum terjatuh dalam satu atau dua pilihan, saya jatuh cinta secara menyeluruh dengan sepakbola. Semua hal tentang sepakbola memukau saya, dari arah mana saja. Tapi sejak itu pula saya sudah punya timnas Indonesia di dada kiri dan timnas Argentina di rusuk kanan. Berbekal cerita-cerita hebat tentang Niac Mitra dari Bapak, saya menjadi pendukung tim penerusnya, Mitra Surabaya, di awal usia remaja. Lalu, oleh karena perjuangan menonton yang mengesankan dan kekalahan yang tak disangka di final Liga Champions 1995, saya tiba-tiba saja sudah menjadi pendukung AC Milan saat mereka justru sedang terpuruk. Milan, tanpa ragu, adalah tim internasional pertama saya.
Dukungan kepada AC Milan membuat saya membenci Juventus, tim yang sangat dominan pada pertengahan ‘90-an, tak hanya di Italia, tapi juga di Eropa. Saya bahkan bisa menjadi pendukung dadakan Ajax, tim yang mengalahkan Milan pada tahun saya memutuskan mulai mencintai Milan, ketika tim itu menghadapi Juve di final Liga Champions tahun berikutnya, dan kalah. Ketika Dortmund mengalahkan Juve setahun kemudian, saya tentu saja juga mendukung Dortmund—gol Lars Ricken dan wajah belianya yang bahagia itu sungguh menyenangkan dan menenangkan. Dan hal yang sama juga saya lakukan terhadap Madrid, saat mereka lagi-lagi menghadapi Juve di final edisi 1998. Dan saat itu saya sudah tertaut dengan klub yang baru menjadi juara Eropa lagi setelah 32 tahun itu. Patut diduga, pindahnya Capello, mantan pelatih Milan, ke Madrid dua musim sebelumnya jadi penyebabnya. Ketika Capello hanya bertahan semusim di Bernabeu, hati saya tertinggal di klub itu untuk seterusnya. Dan ketika mereka mengalahkan Juventus dengan gol tunggal Pedja, saya sudah jadi seorang Madridista yang buta.
Lalu di mana letak Liverpool di hati saya—dan kapan? Ironisnya, saya harus memulainya dari MU.
Liga Inggris muncul di televisi kita agak lebih belakangan, menyusul Liga Jerman dan terutama pusat dunia di masa itu, Liga Italia. Dan itu memengaruhi urut-urutan ini. Saya mulai mengikuti laporan-laporan berkait Liga Ingris di Siaran Bahasa Indonesia BBC London setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Saat itu kira-kira sudah musim ketiga Liga Primer. Saya sudah mendengar tentang dominasi baru MU saat itu. Maka, ketika Blackburn (dengan Shearer dan Sutton-nya) sedang memimpin, dan akhirnya juara, saya memberikan sorakan saya untuk tim itu. Ketika musim berikutnya Liga Inggris telah secara rutin tayang di televisi Indonesia, keplok itu saya berikan untuk Newcastle, dengan Kevin Keegan dan David Ginola-nya. Pada saat yang kurang lebih sama, dengan dorongan yang murni seorang penggemar muda sepakbola, saya memajang poster tim Arsenal di ruang tamu rumah saya.
Apakah sejauh ini, semua tentang “Asal Bukan United”? Mungkin saja. Toh pada saat yang sama saya juga sedang melakukan “Asal Bukan Juve”. Dan saya kira ini normal-normal saja. Lalu, sekali lagi, di mana Liverpool?
Tentu saja saya juga mulai mengikuti tim asuhan Roy Evans itu. Saya sudah membaca tentang anak-anak muda sok gaya yang diejek sebagai Spice Boys di tim itu: Robbie Fowler, Jamie Redknapp, David James, Jason McAteer, Stan Collymore, dan Steve McManaman. Belum ada apa-apa di sana. Mereka memang ada di urutan tiga, tapi mereka tampak tak terlalu berbahaya. Sampai kemudian Euro ’96 berlangsung dengan mengesankan.
Banyak kenangan dan nama abadi dari event yang berbarengan dengan tahun masuknya PLN ke desa kami ini. Matthias Sammer terbaik, Bierhoff ikonik, Karel Poborsky fenomenal, Radek Bejbl unik, Paul Gazza gila, tapi saya selesai dan menonton nyaris seluruh pentandingan dengan nama Steve “Macca” McManaman di kepala.
Di tahun-tahun itu, saya mudah jatuh cinta dengan para pemain sayap, posisi yang saya sukai saat bermain sepakbola. Karena itu, bahkan saya tak bisa menolak untuk mencintai Andrei Kanchelskis dan penggantinya, Ryan Giggs, meski mereka adalah para pemain vital bagi awal mula bangkitnya MU, tim yang paling tidak saya sukai. Lalu kenapa saya menjatuhkan pilihan kepada Macca? Saya hanya punya dua penjelasan murahan dan gampangan ala orang jatuh cinta: 1) ia lebih keren; 2) ia lebih tampan dan lebih elegan. Tak ada statistika di sana, dan tak perlu.
Macca kemudian pergi ke klub saya yang lain, Madrid, dan itu sangat membahagiakan. Ia memenangkan trofi Liga yang tak didapatkannya di klub pertamanya, lalu memenangkan dua Liga Champions. Tapi, cinta saya pada Macca tinggal menetap di Anfield. Dan saya tak kemana-mana lagi setelah itu.
Saya sudah sepenuhnya berada di belakang Liverpool ketika Roy Evans digantikan Gerard Houllier—orang yang, ironisnya, menyarankan Cantona untuk bermain di Liga Inggris. Dan kesakitan-kesakitan itu pun dimulai dari sana.
Jadi jelas, bukan 30 tahun. 23 atau setidaknya 24 mungkin lebih tepat. Oleh karena itu, saya kira saya tak sama menderitanya dengan orang-orang yang memuja Liverpool sejak era kejayaannya—dulu. (Saya tak bisa membayangkan lima-enam tahun pertama yang mesti dilalui mereka, ketika Fergie dan Cantona dan para Manchunian menyabet hampir semua piala dan menyanyikan ejekan.) Tapi, bukan berarti saya tak kalah menderitanya. 24 tahun tetap tak pendek, apalagi jika Anda penggemar Liverpool. Setidaknya, di antara tim-tim yang saya sukai, Liverpool adalah tim yang paling sempurna bagi sisi masokhistis saya. Timnas Indonesia dan timnas Argentina memberi rasa frustrasi setidaknya dua tahun sekali, tapi Liverpool sanggup memberikan derita di setiap akhir pekan, di sepanjang tahun, selama berpuluh tahun.
***
Kalau boleh memilih, saya ingin merayakan gelar tim saya seperti City merayakan juaranya di musim 2010/2011: gol menit terakhir di pertandingan terakhir, juara karena selisih gol dari lawan yang paling dibenci, perayaan yang epik, Agueroooo Moment yang lain, dada sesak oleh rasa gembira dan tangisan lega, dan menari di atas luka hati tetangga.
Kalau bisa berandai-andai, seharusnya ini adalah gelar Liga kedua yang beruntun, setelah gelar di musim kemarin. Dan karena sudah mulai terbiasa dengan gelar, gelar musim ini ditunggu dengan perasaan yang lebih kasual, lebih santai, tak terlalu banyak momen grogi, tak ada lagi ketakutan memancang harapan, tak perlu lagi meragukan diri.
Kalau mau yang ideal, seharusnya tak ada wabah, dan tak ada jeda kompetisi. Suporter memenuhi setiap rongga stadion; lenguhan kecewa dan sorakan gembira mereka asli, bukan rekaan; emosi mereka spontan, bukan rekaman; gemuruh nyanyian mereka melobangi langit di atas Anfield; tinju Klopp mencipta listrik dan menyengat tak hanya 54 ribu Kopites, tapi juga jutaan pendukung Liverpool di seluruh dunia. Mungkin akan ada satu-dua kekalahan berikutnya setelah Watford, termasuk dari pesaing terdekatnya. Tak harus saat menyisakan tujuh laga, asal tetap juara. Dan perayaan ini semestinya terjadi sebulan lebih awal.
Tapi, sudahlah. Tak ada pilihan, pengandaian, atau hal-hal ideal bagi tim yang 30 tahun menderita. (Jika bisa memilih, seharusnya tak selama ini; jika bisa berandai-andai, semestinya Hollier dan Benitez bisa mendapat setidaknya satu gelar Liga; dan kalau mau yang ideal, gelar Liga Inggris milik Gerrard seharusnya lebih banyak dibanding punya Chicharito Hernandez.) Gelar juara itu akhirnya tiba. Penderitaan itu menemukan obat pereda. Penantian itu ternyata punya akhir. Puasa itu rupanya ada manjing-nya. Jadi, apa pun bentuknya, bagaimana pun caranya, kapan pun tibanya, mari disambut saja. Nikmati selagi bisa. Jika gembira, bahagia, terharu, keranjingan, edan, atau diksi-diksi meluap-luap yang lain tetap tak mewakili, maka mari kita sebut saja dengan lebih sederhana: lega. Dan, saya kira, itu adalah perasaan paling indah di sepakbola.
Untuk pendukung tim lain, terutama mereka yang paling menderita oleh pesta para pendukung Liverpool, mungkin ini giliran Anda untuk menunggu. Mungkin akan segera, tapi bisa juga sedikit lebih lama. Atau sangat lama. Semoga tidak untuk selamanya.
Sembari menunggu, coba nikmati bagian penutup lagu “Menunggu” dari Bang Haji berikut ini:
Kini kudatang padamu, senyumlah
Sambutlah kedatanganku…
BACA JUGA Posisi dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.